Mohon tunggu...
MICHO HAFANDI 121221166
MICHO HAFANDI 121221166 Mohon Tunggu... Akuntan - Karyawan Swasta

DOSEN : Prof. Dr. Apollo Daito, M.Si.Ak JURUSAN : Akuntansi Matkul : Akutansi Perpajakan Fakultas : Ekonomi Dan Bisnis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Rekonsiliasi

18 Juli 2024   10:52 Diperbarui: 18 Juli 2024   10:57 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Micho Hafandi ( 121221166 )

UNIVERSITAS DIAN NUSANTARA

JURUSAN : AKUTANSI

NAMA DOSEN : Prof. Dr. Apollo Daito, M. Si. Ak

Pajak Penghasilan (PPh) Badan adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh badan usaha dalam satu tahun pajak. Berikut adalah penjelasan dan contoh terkait cara menghitung PPh Badan di Indonesia.

Langkah-langkah Menghitung PPh Badan

  • Menentukan Penghasilan Bruto:
  • Mengurangi Biaya-biaya (Biaya yang Diakui)
  • Menghitung Laba Kena Pajak
  • Menentukan Tarif Pajak
  • Menghitung PPh Badan Terutang

Contoh Perhitungan PPh Badan

Misalkan PT ABC memiliki data keuangan sebagai berikut:

  • Penghasilan Bruto: Rp 5.000.000.000
  • Biaya yang Diakui: Rp 3.000.000.000

1. Menghitung Laba Kena Pajak

   Laba Kena Pajak = Penghasilan Bruto - Biaya yang Diakui

   Laba Kena Pajak = Rp 5.000.000.000 - Rp 3.000.000.000 = Rp 2.000.000.000

2. Menghitung PPh Badan Terutang:

   PPh Badan Terutang = Laba Kena Pajak \times Tarif Pajak

   PPh Badan Terutang = Rp 2.000.000.000 \times 22\% = Rp 440.000.000

Jadi, PPh Badan yang terutang oleh PT ABC untuk tahun pajak tersebut adalah Rp 440.000.000.

MODUL PROF. APOLLO
MODUL PROF. APOLLO

PP No. 23 Tahun 2018 mengatur tentang Pajak Penghasilan (PPh) final bagi wajib pajak orang pribadi dan badan tertentu yang memiliki peredaran bruto tertentu. Peraturan ini khusus ditujukan bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam satu tahun pajak. Berikut adalah cara perhitungan dan contoh untuk UMKM sesuai dengan PP 23 Tahun 2018.

MODUL PROF.APOLLO
MODUL PROF.APOLLO

Cara Menghitung PPh Final UMKM

1. Menentukan Peredaran Bruto:

  •    Peredaran bruto adalah total pendapatan kotor yang diperoleh UMKM dalam satu bulan.

2. Menghitung PPh Final:

  •    Tarif PPh Final untuk UMKM berdasarkan PP 23 Tahun 2018 adalah 0,5% dari peredaran bruto.

Contoh Perhitungan PPh Final UMKM

Misalkan Toko XYZ adalah sebuah UMKM dengan peredaran bruto bulan Januari sebesar Rp 100.000.000.

1. Menentukan Peredaran Bruto:

  •    Peredaran bruto bulan Januari: Rp 100.000.000

2. Menghitung PPh Final:

  •    PPh Final = Peredaran Bruto \times Tarif PPh Final
  •    PPh Final = Rp 100.000.000 \times 0,5\% = Rp 500.000

Jadi, PPh Final yang harus dibayarkan oleh Toko XYZ untuk bulan Januari adalah Rp 500.000.

Jangka Waktu Penggunaan Tarif Final: Penggunaan tarif PPh Final 0,5% ini berlaku maksimal selama 3 tahun bagi wajib pajak badan berbentuk Perseroan Terbatas (PT), 4 tahun bagi wajib pajak badan berbentuk koperasi, CV, atau firma, dan 7 tahun bagi wajib pajak orang pribadi.

Pelaporan dan Pembayaran: PPh Final dibayarkan setiap bulan dan harus dilaporkan melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Final.

Pemenuhan Kewajiban Pajak Lain: Wajib pajak tetap harus memenuhi kewajiban pajak lainnya sesuai dengan peraturan yang berlaku.

MODUL PROF.APOLLO
MODUL PROF.APOLLO

Untuk mencari laba bersih setelah koreksi fiskal, perlu melakukan beberapa langkah. Koreksi fiskal adalah penyesuaian yang dilakukan terhadap laba akuntansi (komersial) untuk menghasilkan laba kena pajak sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku. Berikut adalah langkah-langkah untuk mencari laba bersih setelah koreksi fiskal:

Langkah-langkah Mencari Laba Bersih Setelah Koreksi Fiskal

1. Menentukan Laba Bersih Komersial:

  • Laba bersih komersial adalah laba yang dihasilkan berdasarkan pembukuan akuntansi perusahaan sebelum dilakukan penyesuaian fiskal.

2. Mengidentifikasi dan Melakukan Koreksi Fiskal:

  • Koreksi fiskal terdiri dari koreksi positif dan koreksi negatif.
  • Koreksi positif adalah penambahan terhadap laba bersih komersial karena ada biaya yang diakui secara komersial tetapi tidak boleh diakui secara fiskal (misalnya, biaya entertainment yang melebihi batas yang diizinkan oleh peraturan perpajakan).
  • Koreksi negatif adalah pengurangan terhadap laba bersih komersial karena ada penghasilan yang diakui secara komersial tetapi tidak dikenakan pajak atau pengeluaran yang tidak diakui secara komersial tetapi diakui secara fiskal (misalnya, penghasilan bunga yang dikenakan pajak final).

3. Menghitung Laba Kena Pajak:

  •  Laba kena pajak diperoleh dengan menambahkan koreksi positif dan mengurangi koreksi negatif dari laba bersih komersial.

4. Menghitung PPh Terutang:

  •  Hitung pajak terutang berdasarkan tarif pajak yang berlaku. Misalnya, tarif pajak badan di Indonesia adalah 22%.

5. Menghitung Laba Bersih Setelah Pajak:

 Laba bersih setelah pajak diperoleh dengan mengurangi laba kena pajak dengan PPh terutang.

MODUL PROF.APOLLO
MODUL PROF.APOLLO

Definisi dan Contoh Koreksi Fiskal

Untuk menghitung besarnya Pajak Penghasilan (PPh) Terutang, Wajib Pajak harus terlebih dahulu mengetahui besarnya Penghasilan Kena Pajak (PhKP). PhKP merupakan penghasilan neto secara fiskal yang mungkin tidak sama dengan penghasilan neto (laba) secara komersial (pembukuan). Hal ini disebabkan oleh perbedaan metode pengakuan pendapatan dan biaya secara komersial dan fiskal. Secara komersial, pengakuan pendapatan dan biaya mengacu pada Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK), sedangkan secara fiskal, pengakuan pendapatan dan biaya didasarkan pada peraturan perundang-undangan perpajakan.

Koreksi Fiskal

Koreksi Fiskal dapat dibedakan menjadi:

1. Koreksi Fiskal Positif

  • Koreksi fiskal yang mengakibatkan bertambahnya jumlah PPh terutang. Laba fiskal menjadi meningkat akibat dari berkurangnya biaya yang dapat dikurangkan (deductible) dan meningkatnya penghasilan yang tidak dikenakan pajak.
  • Contoh: Koreksi biaya penelitian di luar negeri yang tidak boleh dikurangkan secara fiskal.

2. Koreksi Fiskal Negatif

  • Koreksi fiskal yang mengakibatkan berkurangnya jumlah PPh terutang. Laba fiskal menjadi menurun akibat dari bertambahnya biaya yang dapat dikurangkan dan menurunnya penghasilan yang tidak dikenakan pajak.
  • Contoh: Koreksi penghasilan yang bersifat final, seperti bunga deposito yang sudah dikenakan PPh Final.

MODUL PROF.APOLLO
MODUL PROF.APOLLO

Penyesuaian Fiskal Positif

Definisi:

Penyesuaian fiskal positif adalah penyesuaian yang mengakibatkan bertambahnya laba fiskal (penghasilan kena pajak) karena adanya biaya-biaya yang diakui secara komersial tetapi tidak diakui atau tidak dapat dikurangkan secara fiskal berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku.

Contoh:

1. Biaya Hiburan:

  • Dalam laporan keuangan komersial, perusahaan mungkin mengakui biaya hiburan secara penuh. Namun, berdasarkan peraturan perpajakan, hanya sebagian dari biaya tersebut yang dapat dikurangkan. Bagian yang tidak dapat dikurangkan akan menjadi penyesuaian fiskal positif.
  • Misalnya, biaya hiburan yang diakui sebesar Rp 200.000.000, tetapi hanya Rp 150.000.000 yang dapat dikurangkan secara fiskal. Maka, Rp 50.000.000 adalah koreksi fiskal positif.

2. Biaya Penelitian dan Pengembangan di Luar Negeri:

  • Biaya penelitian yang dilakukan di luar negeri tidak dapat dikurangkan secara fiskal meskipun diakui secara komersial. Jika perusahaan mengeluarkan biaya penelitian di luar negeri sebesar Rp 100.000.000, seluruh jumlah ini akan menjadi penyesuaian fiskal positif.

3. Pembayaran kepada Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa:

  • Jika pembayaran kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa (misalnya, afiliasi) tidak memenuhi ketentuan kewajaran harga transfer (transfer pricing), maka biaya tersebut tidak dapat dikurangkan secara fiskal.

Penyesuaian Fiskal Negatif

Definisi:

Penyesuaian fiskal negatif adalah penyesuaian yang mengakibatkan berkurangnya laba fiskal (penghasilan kena pajak) karena adanya penghasilan atau pendapatan yang diakui secara komersial tetapi tidak dikenakan pajak atau dikenakan pajak secara final berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku.

Contoh:

1. Penghasilan yang Sudah Dikenakan Pajak Final:

  • Beberapa jenis penghasilan seperti bunga deposito, dividen dari dalam negeri, atau penghasilan dari sewa tanah dan bangunan mungkin sudah dikenakan pajak final. Penghasilan ini tidak perlu dikenakan pajak lagi dalam penghitungan laba fiskal.
  • Misalnya, perusahaan menerima bunga deposito sebesar Rp 50.000.000 yang sudah dikenakan pajak final. Penghasilan ini harus dikoreksi negatif dalam perhitungan laba fiskal.

2. Penghasilan yang Tidak Termasuk Objek Pajak:

  • Penghasilan tertentu mungkin tidak termasuk objek pajak menurut peraturan perpajakan. Penghasilan ini perlu dikurangi dari laba komersial.
  • Contoh: Hibah atau bantuan yang diterima oleh perusahaan dan bukan merupakan objek pajak.

3. Biaya yang Dapat Dikurangkan secara Fiskal tetapi Tidak Diakui secara Komersial:

  • Ada biaya tertentu yang diperbolehkan untuk dikurangkan secara fiskal meskipun tidak diakui dalam laporan keuangan komersial. Biaya ini akan menjadi penyesuaian fiskal negatif.
  • Contoh: Penyusutan aset yang berbeda antara perhitungan komersial dan fiskal.

MODUL PROF. APOLLO
MODUL PROF. APOLLO

Pengertian Rekonsiliasi Fiskal

Rekonsiliasi fiskal adalah proses penyesuaian antara laporan keuangan komersial dengan ketentuan perpajakan yang berlaku untuk menentukan penghasilan kena pajak yang sebenarnya. Rekonsiliasi ini diperlukan karena adanya perbedaan prinsip dan aturan yang digunakan dalam laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal.

Latar Belakang Pentingnya Rekonsiliasi Fiskal

1. Perbedaan Standar Akuntansi dan Peraturan Perpajakan:

  • Laporan keuangan komersial disusun berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang berlaku, yang bertujuan untuk memberikan informasi yang relevan dan andal bagi pemangku kepentingan (stakeholders) seperti investor, kreditor, dan manajemen.
  • Laporan keuangan fiskal disusun berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku, yang bertujuan untuk menghitung kewajiban pajak dengan benar dan sesuai dengan ketentuan hukum.

2. Perbedaan dalam Pengakuan Pendapatan dan Biaya:

  • Dalam akuntansi komersial, pendapatan dan biaya diakui berdasarkan prinsip akrual dan materialitas.
  • Dalam perpajakan, beberapa jenis pendapatan mungkin dikenakan pajak secara final, sementara beberapa biaya mungkin tidak diakui sebagai pengurang pajak (non-deductible).

3. Perbedaan dalam Metode Penyusutan dan Amortisasi:

  • Perusahaan dapat menggunakan metode penyusutan yang berbeda untuk tujuan komersial dan fiskal. Misalnya, metode penyusutan garis lurus (straight-line) mungkin digunakan dalam laporan keuangan komersial, sedangkan metode penyusutan dipercepat (accelerated depreciation) mungkin diperlukan oleh peraturan perpajakan.

4. Perbedaan dalam Perlakuan atas Transaksi Tertentu:

  • Beberapa transaksi seperti biaya penelitian dan pengembangan, biaya hiburan, dan pembayaran kepada pihak yang memiliki hubungan istimewa mungkin memiliki perlakuan yang berbeda antara akuntansi komersial dan fiskal. 

MODUL PROF.APOLLO
MODUL PROF.APOLLO

Dari Gambar Tersebut Dapat Di Lihat Mengapa Rekonsiliasi Fiskal Diperlukan?

1. Perbedaan Prinsip Akuntansi:

  • Laporan keuangan komersial disusun berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang bertujuan memberikan informasi yang relevan bagi para pemangku kepentingan.
  • Laporan keuangan fiskal disusun berdasarkan peraturan perpajakan yang bertujuan menghitung kewajiban pajak dengan benar.

2. Perbedaan Pengakuan Pendapatan dan Biaya:

  • Pendapatan dan biaya diakui berdasarkan prinsip akrual dalam akuntansi komersial.
  • Dalam perpajakan, beberapa jenis pendapatan dikenakan pajak secara final, dan beberapa biaya tidak dapat dikurangkan (non-deductible).

3. Perbedaan dalam Metode Penyusutan dan Amortisasi:

  • Metode penyusutan yang digunakan dalam laporan keuangan komersial mungkin berbeda dengan yang disyaratkan oleh peraturan perpajakan.

4. Perbedaan Perlakuan Transaksi Tertentu:

  •  Biaya penelitian dan pengembangan, biaya hiburan, dan transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa mungkin diperlakukan berbeda dalam akuntansi komersial dan perpajakan.

MODUL PROF.APOLLO
MODUL PROF.APOLLO

Format Rekonsiliasi Fiskal

Rekonsiliasi fiskal adalah proses penting untuk memastikan bahwa laporan keuangan komersial perusahaan sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Berikut ini adalah format umum yang digunakan dalam rekonsiliasi fiskal:

Format Rekonsiliasi Fiskal

1. Laba Bersih Komersial:

  •  Dimulai dengan laba bersih sebelum pajak yang tercantum dalam laporan keuangan komersial.

2. Koreksi Fiskal Positif:

 Tambahkan biaya-biaya yang tidak dapat dikurangkan (non-deductible expenses) menurut ketentuan perpajakan.

 Contoh:

  • Biaya representasi yang melebihi batas yang diizinkan.
  • Biaya pribadi yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha.
  • Biaya penelitian di luar negeri yang tidak diakui secara fiskal.

3. Koreksi Fiskal Negatif:

  Kurangi pendapatan yang sudah dikenakan pajak final atau tidak termasuk objek pajak.

  Contoh:

  • Bunga deposito yang sudah dikenakan PPh Final.
  • Dividen dari dalam negeri yang sudah dikenakan PPh Final.
  • Hibah atau sumbangan yang bukan objek pajak.

4. Laba Kena Pajak:

  •    Hasil setelah penyesuaian koreksi fiskal positif dan negatif.

MODUL PROF. APOLLO
MODUL PROF. APOLLO

Penghasilan yang Menjadi Objek Pajak (Taxable Income)

Penghasilan yang menjadi objek pajak adalah semua penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku. Penghasilan ini meliputi:

1. Penghasilan dari Pekerjaan: Gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan.

2. Penghasilan dari Usaha dan Kegiatan: Penghasilan dari usaha yang dijalankan oleh Wajib Pajak, baik usaha perdagangan, jasa, maupun industri.

3. Penghasilan dari Modal: Dividen, bunga, royalti, dan sewa.

4. Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Harta: Penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta, seperti tanah dan bangunan, saham, dan surat berharga lainnya.

5. Penghasilan Lainnya: 

  • Penghasilan lain seperti hadiah, penghargaan, dan lain-lain yang termasuk dalam penghasilan yang dikenakan pajak.
  • Penghasilan yang Pajaknya Dikenakan PPh Bersifat Final

Penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Final adalah jenis penghasilan tertentu yang pajaknya sudah dipotong atau dibayarkan pada saat penghasilan tersebut diterima atau diperoleh. Pajak yang sudah dipotong atau dibayarkan bersifat final dan tidak dapat dikreditkan atau diperhitungkan lagi dalam penghitungan Pajak Penghasilan pada akhir tahun pajak. Beberapa contoh penghasilan yang dikenakan PPh Final di Indonesia adalah:

1. Bunga Deposito dan Tabungan: Penghasilan berupa bunga dari deposito dan tabungan di bank, baik di dalam negeri maupun luar negeri, dikenakan PPh Final.

2. Dividen dari Dalam Negeri: Dividen yang diterima oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dikenakan PPh Final.

3. Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Harta Tanah dan/atau Bangunan:

  • Penghasilan dari penjualan atau pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenakan PPh Final.

4. Penghasilan dari Sewa Tanah dan/atau Bangunan:

  • Penghasilan dari sewa tanah dan/atau bangunan dikenakan PPh Final.

5. Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi:

  • Penghasilan yang diterima oleh penyedia jasa konstruksi dari pelaksanaan pekerjaan konstruksi dikenakan PPh Final.

6. Penghasilan dari Hadiah Undian:

  • Penghasilan yang diperoleh dari hadiah undian dikenakan PPh Final.

MODUL PROF.APOLLO
MODUL PROF.APOLLO

Penghasilan yang bukan objek pajak, atau non-taxable income, adalah pendapatan yang tidak dikenakan pajak oleh pemerintah. Di banyak negara, ini bisa mencakup beberapa jenis pendapatan seperti:

1. Pengembalian Pajak: Beberapa jenis pengembalian pajak mungkin tidak dikenakan pajak kembali.

2. Bantuan Kemanusiaan: Dalam beberapa kasus, bantuan sosial atau bantuan kemanusiaan mungkin dikecualikan dari pajak.

3. Hadiah dan Warisan: Di beberapa yurisdiksi, hadiah atau warisan tertentu mungkin tidak dikenakan pajak.

4. Tambahan Kesejahteraan: Tambahan untuk kesejahteraan, seperti uang pensiun atau uang anak, mungkin tidak dikenakan pajak.

5. Beasiswa: Beasiswa pendidikan sering kali tidak dikenakan pajak, terutama jika digunakan untuk pendidikan atau biaya terkait lainnya.

Penting untuk memeriksa peraturan lokal karena definisi penghasilan non-objek pajak dapat bervariasi dari satu negara ke negara lainnya.

MODUL PROF.APOLLO
MODUL PROF.APOLLO

Pemilihan metode penyusutan aktiva tetap dan amortisasi atas aktiva tidak berwujud tergantung pada beberapa faktor, termasuk sifat aktiva, kebijakan akuntansi perusahaan, dan peraturan yang berlaku. Berikut adalah beberapa metode umum yang digunakan:

Penyusutan Aktiva Tetap

1. Metode Garis Lurus (Straight-Line Method)

  •  Penyusutan dihitung dengan membagi biaya aktiva dikurangi nilai residu dengan umur manfaatnya.
  •  Cocok untuk aktiva yang manfaat ekonomisnya dianggap sama sepanjang umur ekonomisnya.
  •  Formula: (Biaya Aktiva - Nilai Residu) / Umur Manfaat

2. Metode Saldo Menurun (Declining Balance Method)

  •   Penyusutan dihitung berdasarkan persentase tetap dari nilai buku aktiva yang semakin menurun setiap tahun.
  •   Cocok untuk aktiva yang manfaat ekonomisnya menurun seiring waktu.
  •   Formula: Nilai Buku Awal Tahun x Persentase Penyusutan

3. Metode Unit Produksi (Units of Production Method)

  •   Penyusutan dihitung berdasarkan penggunaan atau output yang dihasilkan oleh aktiva tersebut.
  •   Cocok untuk aktiva yang penyusutannya berhubungan langsung dengan jumlah produksi atau jam operasional.
  •   Formula: (Biaya Aktiva - Nilai Residu) x (Produksi Tahun Berjalan / Total Produksi Estimasi)

Amortisasi Aktiva Tidak Berwujud

1. Metode Garis Lurus (Straight-Line Method)

  •  Amortisasi dihitung dengan membagi biaya aktiva tidak berwujud dengan umur manfaatnya.
  •  Metode ini paling sederhana dan sering digunakan.
  •  Formula: Biaya Aktiva / Umur Manfaat

2. Metode Unit Produksi (Units of Production Method)

  •  Amortisasi dihitung berdasarkan penggunaan atau manfaat yang dihasilkan oleh aktiva tidak berwujud.
  •  Cocok untuk aktiva tidak berwujud yang manfaat ekonomisnya dapat diukur dengan output tertentu.
  •  Formula: (Biaya Aktiva / Total Produksi Estimasi) x Produksi Tahun Berjalan

3. Metode Pengurangan Nilai (Impairment Method)

  •  Jika aktiva tidak berwujud dianggap mengalami penurunan nilai, amortisasi dihitung berdasarkan penurunan nilai tersebut.
  •  Memerlukan penilaian periodik untuk menentukan apakah ada penurunan nilai yang signifikan.

MODUL PROF.APOLLO
MODUL PROF.APOLLO

Pasal 11 Ayat 6 UU HPP

Pasal ini mengatur tentang metode dan tarif penyusutan yang diperbolehkan untuk tujuan perpajakan. Tarif penyusutan ditentukan berdasarkan jenis aktiva tetap dan kelompok umur manfaatnya.

Kelompok 2 (Umur Manfaat 8 Tahun):

   - Tarif Garis Lurus: 12.5% per tahun.

   - Tarif Saldo Menurun: 25% per tahun.

Terdapat banyak cara untuk megoptimalkan kesejahteraan karyawan, dengan memanfaatkan peluang efisiensi beban pajak yang berkaitan dengan pengeluaran biaya berikut ini:

1. PPh Pasal 21 Karyawan

Pilihan terhadap metode PPh Pasal 21 karyawan dapat berupa:

  • Bila beban PPh Pasal 21 sepenuhnya menjadi tanggungan karyawan (dalam hal ini perusahaan hanya menjadi perantara pemotong PPh Pasal 21. Dalam laporan laba rugi perusahaan tidak akan terlihat biaya PPh Pasal 21)
  • Bila karyawan diberi tunjangan PPh Pasal 21, tunjangan ini tercantum dalam slip gaji pegawai dan SPT PPh Pasal 21 karyawan (form 1720)
  • Bila PPh Pasal 21 ditanggung oleh perusahaan, bukan sebagai tunjangan PPh Pasal 21, dan karena itu merupakan kenikmatan dan tidak boleh dibebankan sebagai biaya.

Perumahan untuk karyawan

  • Penempatan rumah dinas yang:
  • Dibeli/dibuat
  • Disewa
  • Memberikan penggantian limbah
  • Memberikan tunjangan perumahan

Perlakuan Perpajakannya:

  • Bentuk natura tidak dapat jadi biaya
  • Diberikan dalam bentuk uang dapat dijadikan biaya


REFERENSI

https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6920753/rekonsiliasi-adalah-pengertian-proses-faktor-faktor-dan-contohnya

https://bppkad.blorakab.go.id/rekonsiliasi-untuk-mewujudkan-data-dan-informasi-keuangan-yang-relevan-dan-akurat/

https://www.online-pajak.com/tentang-ppn-efaktur/rekonsiliasi-bank

https://datacenter.ortax.org/ortax/aturan/show/16535

file:///C:/Users/USER/Downloads/MODUL%20K14_%20Rekonsiliasi%20(1).pdf

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun