Tapi lihatlah sekarang, pangeran yang dicintainya sudah pergi meninggalkannya begitu saja, menggandeng perempuan lain dengan benih yang tertanam di dalam perutnya. Pangeran tidak mengingatnya, jadi mana mungkin dia masih mencintainya?
Saat itulah tanpa Ia sadari, tubuhnya mulai terpecah belah, menjadi gelembung-gelembung sabun, memenuhi udara dan dengan cepat meletup. Secepat itulah keberadaannya lenyap. Tidak ada yang mengenalinya di kota itu, tidak ada yang menyadari keberadaannya, begitu juga dengan hilangnya dia dari dunia ini.
Aku menutup buku itu dan menarik napas panjang. Ini bukan pertama kalinya aku membaca buku itu, tapi untuk pertama kalinya, aku merasakan badai yang kuat dalam diriku. Kurasa, saat ini aku merasa begitu resah. Aku terseret dalam arus yang kuat, hingga hampir tak menyadari kehadirannya.
Dia menarik kursi di seberang meja ini sambil tersenyum seperti biasa. Ah, apa yang harus kulakukan? Aku benar-benar menyukai caranya tersenyum padaku. Kurasa aku benar-benar menyukainya, atau harusnya kukatakan dengan sangat vulgar bahwa aku begitu mencintai pria yang ada di hadapanku saat ini?
“Maaf karena kamu harus menungguku begitu lama. Aku tidak menyangka mencari taksi akan sesulit ini saat sedang turun hujan. Maksudnya aku tahu memang begitu biasanya, tapi hari ini benar-benar parah.” Jelasnya.
Seperti sang Putri Duyung yang tetap mencintai sang pangeran setelah menunggu bertahun-tahun lamanya. Aku tetap tidak bisa mengenyahkan perasaan ini, seberapa seringpun dia membuatku menunggu, lagi dan lagi. Apalah arti beberapa menit untuk menunggu jika pada akhirnya tergantikan dengan kehadirannya. Menunggu bukanlah sebuah masalah besar.
Aku tersenyum, “Aku tahu, jadi tidak perlu terlalu kaupikirkan. Kau tidak mau memesan minuman dulu?”
“Ah benar juga. Kau sudah makan? Mau kupesankan makanan?” Katanya sambil menatapku lekat-lekat. Seperti anak anjing yang setiap waktu ingin kusentuh dan kulindungi setiap saat.
Menatap matanya seperti ini membuatku jantungku tak bisa berhenti berdegup kencang. Mungkin inilah yang dirasakan si Putri Duyung saat menatap kedua mata pangeran. Kupikir, aku akan tetap mengingat matanya yang bulat dan berbinar-binar saat menatapku seperti ini.
“Aku sudah makan sebelum ke sini, jadi aku belum merasa lapar.” Jawabku mencoba menghilangkan kegugupanku dengan menyeruput es kopi.