Mohon tunggu...
Mia Rosmayanti
Mia Rosmayanti Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Menulislah dan jangan mati.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kado Istimewa

14 Mei 2022   10:23 Diperbarui: 14 Mei 2022   10:59 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustration by A Swinger of Birches via Tumblr

Di bawah panyung yang mengembang, aku menyusuri jalan yang sudah kulalui berulang kali. Hujan tak kunjung berhenti di hari yang sangat spesial ini, aku yakin banyak pasangan yang saat ini memasang wajah muram karena gagal melakukan kencan hari ini. Bagaimana tidak? Mereka pasti sudah saling mempersiapan kado satu sama lain untuk diberikan. Seperti yang kulakukan saat ini.

Jalanan tidak seramai biasanya. Aku berjalan sembari mengintip-intip setiap wajah yang tertutup payung-payung dengan berbagai motif dan warna, setiap orang berjalan dengan cepat, bahkan sebagian dari mereka terlihat berlari-lari kecil. Mereka menunduk, memperhatikan langkah mereka betul-betul agar tidak basah, seolah takut kakinya akan berubah menjadi ekor jika sampai terkena air hujan.

Ini adalah hal yang paling kusukai saat hujan- kota yang terlihat begitu senyap, serta orang-orang yang sibuk dengan diri sendiri. Dengan begitu, tidak ada yang peduli dengan aku dan segala hal yang begitu merepotkan untuk dibawa kedua tanganku. Bagaimanapun juga, hari ini adalah hari yang istimewa untukku.

Aku melihat sebuah kafe yang letaknya tepat di sudut perempatan jalan ini. Tempatnya kecil dan tidak mencolok, bahkan bisa dibilang, tidak banyak orang yang tahu kalau bangunan dengan chat berwarna krem yang mulai berlumut di beberapa bagian itu ada. Orang-orang yang melihatnya, pasti akan mengabaikan tempat ini dan berlalu begitu saja. Karena itulah, jika bisa bertemu dengan seseorang yang kebetulan cocok denganmu, bisa dikatakan itu adalah sebuah anugrah.

Tidak beberapa lama aku sudah berada di depan dan tanpa ragu-ragu mendorong pintunya. Penjaga kafe yang tentu saja sudah kukenal betul wajah dan namanya itu menyapaku dengan ramah seperti biasa. Tentu saja aku yakin dia juga sangat familiar denganku, sebagaimana aku mengenalnya.

Aku duduk di sudut kafe yang paling dekat dengan sebuah rak buku kecil, seperti biasanya. Aku paling menyukainya, dari sudut itu aku bisa mencium aroma buku yang mulai menguning, atau mengintip orang-orang yang berlalu lalang di luar kafe seperti tak menyadari keberadaan kafe ini dan aku yang berada di dalamnya.

Setelah meletakan semua bawaanku, aku bangkit untuk memesan es kopi seperti biasa. Hal lain yang kusuka dari kafe ini adalah aku tidak perlu bingung ingin memilih kopi apa saat hendak memesan es kopi. Hanya ada satu jenis kopi yang disediakan, dan rasanya pun familiar. Sejujurnya aku merasa kewalahan saat harus memilih kopi apa yang harus kuminum. Aku sama sekali tidak mengerti tentang kopi, macam cara menyajikan segelas kopi, dan lain sebagainya. Terlalu banyak pilihan dan itu membuatku merasa sangat tertekan.

Tak butuh waktu lama untuk mendapatkan pesananku, karena itulah aku memilih menunggu dan membawanya sendiri ke mejaku. Aku duduk lalu, meminum sedikit es kopiku, lalu meraih ponsel. Ah, sudah lebih dari tiga puluh menit dari waktu yang dijanjikan. Tidak masalah, toh selama ini memang selalu begitu. Mau seberapa lambat pun aku datang pada sebuah pertemuan, aku akan selalu menjadi orang yang menunggunya. Tidak ada yang berubah.

Kuletakkan ponselku, lalu memilih untuk menelusuri rak kecil yang tergantung di dinding. Tidak ada yang berubah, koleksinya masih sama seperti terakhir kali aku datang ke tempat ini. Aku mengambil buku dengan sampul maroon dan huruf-huruf yang ditulis dengan tinta kuning keemasan: The Litte Mermaid.

Buku itu kini sudah berada dalam genggam dan jangkauan pandangku. Aku membaca kata demi kata yang ada di dalamnya dengan sangat teliti, seperti orang yang baru pertama kali membaca sebuah buku yang sangat indah. Ini bukan pertama kalinya aku membaca buku itu. Ini adalah buku dongeng biasa yang menceritakan kisah cinta dari seorang Putri Duyung.

Dikisahkan seeorang Putri Duyung kecil dan seorang pangeran saling jatuh cinta. Saat itu mereka memutuskan untuk bertemu di sudut paling rahasia di pantai itu. Mereka terus bertemu, menghabiskan waktu waktu yang menyenangkan, hingga suatu hari sang pangeran berhenti datang ke tempat di mana seharusnya mereka bertemu,

 

Sang Putri Duyung menunggu dan terus menunggu bertahun-tahun lamanya, berharap sang pangeran akan datang menemuinya lagi suatu hari nanti. Nyatanya hal itu tidak pernah terjadi. Setelah sekian lama menunggu dan tak menghasilkan apapun, akhirnya dia membuat sebuah keputusan paling gila yang pernah dibuatnya. Dia akan naik ke daratan, menemui pangeran itu.

 

Yang jadi masalah adalah dia membutuhkan sepasang kaki untuk berjalan di atas darat. Untuk itu, Ia menemui penyihir paling jahat di lautan untuk menukar ekornya dengan sepasang kaki manusia. Saat itu penyihir meminta suara Putri Duyung itu sebagai syarat dan imbalan atas mantra yang akan Ia rapalkan untuk mewujudkan keinginan Putri Duyung yang sedang jatuh cinta.

 

Putri Duyung itu menyanggupi permintaan sang penyihir, lalu bergegas naik ke daratan dengan suara yang sudah sepenuhnya menghilang. Dia pikir, apalah arti sebuah suara jika dibandingkan kebahagiaan yang akan Ia dapatkan untuk menebus kerinduannya selama bertahun-tahun dengan pertemuannya nanti.

 

Tidak hanya kehilangan suara, sesampainya di darat pun dia harus merasakan sakit yang luar biasa untuk mendapatkan kakinya. Ekornya yang indah itu harus terbelah sedikit demi sedikit hingga akhirnya berubah menjadi sepasang kaki manusia yang diinginkan. Setelah itu, Putri Duyung itu juga masih harus berulang kali terjatuh, menghantam bebatuan sekitar pantai saat membiasakan dirinya berjalan menggunakan sepasang kaki. Karena itulah, dia harus tergores di hampir seluruh bagian tubuhnya.

 

Meskipun begitu, dia tetap berjalan, melewati kerumunan orang dengan terseok-seok, mencari keberadaan sang pangeran. Di tengah terik dan kulit yang terasa terbakar, dia menabrak seseorang. Sebelum Ia benar-benar terjatuh, sebuah tangan meraih tubuhnya. Untuk pertama kalinya, Ia merasakan jantungnya berdegup begitu kencang.

 

Ia menatap wajah pemilik tangan itu. Mengikuti tiap garis yang membingkai wajah dengan sempurna, lalu terseret pada kedua bola matanya. Dadanya berdesir, dia tak mungkin melupakan tatapan itu. Sepasang mata berwarna hijau zambrud yang Ia ridukan selama  ini. Dia berhasil menemukan pangerannya.

 

Sang pangeran tersenyum ramah seperti biasa, menanyakan keadaan Putri Duyung. Ia ingin berteriak kepada pangeran, berkata bahwa Ia begitu meridukannya, tapi tidak ada suara yang bisa keluar. Ah, dia bahkan lupa kalau dia sudah menukar suaranya. Meskipun begitu, dia tetap Bahagia, berharap pangeran akan memanggil namanya sekali lagi dan memeluknya dengan erat.

 

Sia-sia, hal itu tak pernah terjadi. Sang pangeran tidak pernah memeluk ataupun memanggil namanya. Pangeran itu justru terlihat kebingungan lantaran setiap pertanyaannya tak ada yang terjawab dari mulut sang Putri Duyung. Saat itu juga seorang wanita dengan penampakan yang begitu molek menghampiri pangeran.

 

Dia bisa merasakan getaran lembut dari keduanya. Deg! Wanita itu bahkan berkata kalau bayi yang ada di perutnya begitu merindukan ayahandanya. Sang duyung melirik ke arah perut wanita itu, memang benar, jika di lihat secara sepintas hal itu tidak begitu terlihat, tapi kini Ia bisa melihat dengan jelas perut membesar yang terletak di bawah balutan pakaian berlapis-lapis itu. Menyadari hal itu, detak jantungnya tiba-tiba berhenti.

 

Ia tak tahu, bahwa itu adalah tanda bahaya untuknya. Bagi seorang Putri Duyung yang naik ke daratan, detak jantung adalah sesuatu yang sangat penting. Karena alasan cinta yang membuatnya meninggalkan laut, hanya cinta dari orang yang dicintainya lah yang bisa membuat jantungnya tetap berdegup.

 

Tapi lihatlah sekarang, pangeran yang dicintainya sudah pergi meninggalkannya begitu saja, menggandeng perempuan lain dengan benih yang tertanam di dalam perutnya. Pangeran tidak mengingatnya, jadi mana mungkin dia masih mencintainya?

 

Saat itulah tanpa Ia sadari, tubuhnya mulai terpecah belah, menjadi gelembung-gelembung sabun, memenuhi udara dan dengan cepat meletup. Secepat itulah keberadaannya lenyap. Tidak ada yang mengenalinya di kota itu, tidak ada yang menyadari keberadaannya, begitu juga dengan hilangnya dia dari dunia ini.

Aku menutup buku itu dan menarik napas panjang. Ini bukan pertama kalinya aku membaca buku itu, tapi untuk pertama kalinya, aku merasakan badai yang kuat dalam diriku. Kurasa, saat ini aku merasa begitu resah. Aku terseret dalam arus yang kuat, hingga hampir tak menyadari kehadirannya.

Dia menarik kursi di seberang meja ini sambil tersenyum seperti biasa. Ah, apa yang harus kulakukan? Aku benar-benar menyukai caranya tersenyum padaku. Kurasa aku benar-benar menyukainya, atau harusnya kukatakan dengan sangat vulgar bahwa aku begitu mencintai pria yang ada di hadapanku saat ini?

“Maaf karena kamu harus menungguku begitu lama. Aku tidak menyangka mencari taksi akan sesulit ini saat sedang turun hujan. Maksudnya aku tahu memang begitu biasanya, tapi hari ini benar-benar parah.” Jelasnya.

Seperti sang Putri Duyung yang tetap mencintai sang pangeran setelah menunggu bertahun-tahun lamanya. Aku tetap tidak bisa mengenyahkan perasaan ini, seberapa seringpun dia membuatku menunggu, lagi dan lagi. Apalah arti beberapa menit untuk menunggu jika pada akhirnya tergantikan dengan kehadirannya. Menunggu bukanlah sebuah masalah besar.

Aku tersenyum, “Aku tahu, jadi tidak perlu terlalu kaupikirkan. Kau tidak mau memesan minuman dulu?”

“Ah benar juga. Kau sudah makan? Mau kupesankan makanan?” Katanya sambil menatapku lekat-lekat. Seperti anak anjing yang setiap waktu ingin kusentuh dan kulindungi setiap saat.

Menatap matanya seperti ini membuatku jantungku tak bisa berhenti berdegup kencang. Mungkin inilah yang dirasakan si Putri Duyung saat menatap kedua mata pangeran. Kupikir, aku akan tetap mengingat matanya yang bulat dan berbinar-binar saat menatapku seperti ini.

“Aku sudah makan sebelum ke sini, jadi aku belum merasa lapar.” Jawabku mencoba menghilangkan kegugupanku dengan menyeruput es kopi.

Dia tampak kecewa, “Hey, ayolah. Aku tahu kamu tidak makan sesedikit itu. Kau bahkan bisa menghabiskan setiap kali kita memesan makanan dalam sekali kencan.”

“Berhentilah membuatku jadi terdengar begitu rakus.” Aku melotot ke arahnya.

“Aahahah, baiklah. Aku akan memesan minuman saja. Aku sudah menawarkannya padamu, ya. Kalau kamu tiba-tiba lapar, jangan pernah membuat drama, seolah-olah aku tidak perhatian padamu hingga membuatmu kelaparan.”

Dia mengucapkan kalimat itu dengan cara yang sangat khas dan menghibur. Aku terkekeh. Aku tahu aku tidak akan pernah mengalahkannya dalam hal ini.

“Aku tahu, aku tahu. Kalau begitu pesankan aku segelas es kopi lagi saja, kamu yang bayar kali ini.” Kataku menyerah.

“Wah, kamu sedang mencoba menguras uangku sekarang? Baik, dimengerti. Aku menyukainya. Aku akan membelikan sebanyak apapun es kopi yang kamu inginkan hari ini, my birthday girl.”

Aku merasa ada sesuatu yang menggelitik perut saat mendengarnya mengatakan hal itu. Dia mengatakannya dengan nada yang amat khas. Dia biasa mengatakan hal itu untuk mencoba terlihat keren dan membuatku terkesan. Tentu saja, aku tahu dia tidak benar-benar berniat melakukannya.

“Berhentilah melebih-lebihkannya. Kamu tahu aku bisa meminum lebih banyak es kopi, jauh lebih banyak yang bisa kamu pikirkan saat ini. Berhentilah membuang-buang uangmu atau kamu akan menyesalinya nanti.” Aku mencoba mencibirnya sealami mungkin. Seperti biasa, saat aku mulai tidak bisa menahan diriku dengan segala kekonyolannya.

“Wahhh… Kamu benar-benar melukai harga diriku sekarang. Baiklah, hanya ada segelas es kopi saja untukmu hari ini.” Ucapnya sembari bangkit dari tempat duduk. Meninggalkanku.

Postur tubuhnya dari kejauhan banar-benar memanjakan mataku. Bagaimana mungkin dia memiliki postur sebagus itu meskipun sangat membenci olahraga. Ditambah dengan tengkuk seindah itu, wah aku benar-benar iri dibuatnya.

Tak lama kemudian, Ia sudah membalik badannya sembari membawa nampan berisi dua gelas es kopi. Ia berjalan ke arahku, persis seperti hari kencan pertama kami. Dia berjalan dengan langkah yang terlihat begitu canggung namun terlihat memikat pada waktu bersamaan.

“Es kopi Anda sudah datang, Nona Pelanggan. Selamat menikmati.” Katanya sambil menyodorkan salah satu gelas dari nampan itu ke arahku.

Aku menerimanya, lalu menggeser gelas pertamaku yang  kosong tak bersisa, “Aku rasa kamu akan jadi pelayan paling buruk jika bekerja di kafe. Jadi kusarankan untuk tidak melakukannya atau kamu akan membuat bosmu mendapat komplain setiap hari.”

Dia menggeleng-geleng ke arahku, “Wah… aku masih takjub dengan bagaimana kamu mengatakan hal-hal seperti itu dengan begitu santainya. Kenapa aku yang begitu lembut dan penyayang ini bisa betah berpacaran dengan wanita bermulut jahat seperti ini?”

“Entahlah, aku sendiri juga heran kamu bisa bertahan sejauh ini, tapi bukankah mengatakan dirimu sendiri begitu lembut dan penyayang itu agak berlebihan?” Kataku menyipitkan mataku untuk menggodanya.

“Lihat? Kau mulai melukaiku lagi sekarang.”

Ia mengatakan hal itu sambil menyentuh dada sebelah kirinya, lalu membuat ekspresi kesakitan yang justru terlihat konyol di mataku. Dan entah bagaimana, hal itu membuat kami berdua terkekeh di waktu bersamaan.

“Bagaimana kabarmu akhir-akhir ini?”

Aku mengangguk-angguk kecil, sambil memainkan sedotan di gelas es kopiku, “Kau menanyakannya seolah kita tidak pernah berbicara satu sama lain. Kamu tahu bagaimana hari-hariku. Kita selalu membicarakannya setiap hari.”

“Benarkah? Tapi kenapa yang kuingat sejauh ini hanya jawaban dinginmu? Dan juga, mengatakan kabarmu baik setiap waktu, bukankah agak berlebihan juga? Seperti robot saja.” Dia cepat-cepat menyeruput minumannya setelah mengucapkan hal itu.

“Begitukah? Aku benar-benar tidak tahu sudah melakukan hal itu selama ini.” Kataku sambil memaksakan diri untuk tetap tersenyum. Sejujurnya kalimat itu sedikit membuatku tersinggung.

“Yah lupakan saja, lagi pula keberadaanmu saja sudah menjadi anugerah tersendiri. Ah, aku lupa mengatakannya padamu, hari ini kamu terlihat sangat cantik. Apakah seperti ini aura orang yang sedang berulang tahun?” Dia memiringkan kepalanya sedikit, aku tahu dia sedang memperhatikan setiap bagian dari diriku saat ini.

“Tidak perlu berlebihan. Aku hanya mengubah gaya make-upku. Bagaimana menurutmu? Apakah terlihat cocok denganku?” Tanyaku sambil megedipkan mata berkali-kali, bersemangat mendengar tanggapan darinya.

Dia mengamatiku sekali lagi, lalu mengangguk-anggukan kepalanya, “Menurutku sangat cocok denganmu. Dengan begini orang yang tidak mengenalmu pasti akan berpikir kalau kau adalah wanita paling romatis di dunia, dan mereka akan iri karena akulah yang saat ini duduk berhadap-hadapan denganmu. Mereka pasti akan berpikir kita adalah pasangan paling bahagia.”

“Ya! Berhentilah mengolok-olokku seperti ini. Aku benar-benar terdengar seperti pemeran jahat sekarang.” Kataku dengan nada tersinggung sekaligus frustrasi.

“Baiklah. Maafkan aku.” Ucapnya sambil memberikan bungkukan kecil khasnya saat sedang meminta maaf.

Aku meraih tas yang kubawa dari tadi ke pangkuanku, mengeluarkan isinya, lalu meletakkan lagi tasnya ke bawah kakiku. Kuletakkan kotak makan berukuran kecil itu di atas meja, lalu menjodorkan ke arahnya.

Dia menatapku ragu-ragu, “apa ini?”

“Hadiah valentine. Aku tidak bisa membuatkanmu coklat dengan berbentuk hati seperti film-film romantis, jadi aku membuat masakan sederhana untukmu. Jika dipikir-pikir, aku belum pernah melakukannya.” Kataku mengecilkan suara.

Itu benar. Ini adalah pertama kalinya aku mencoba memasak untuk orang lain. Aku tidak memperhatikan diriku sedemikian rupa, jadi tidak banyak makanan yang bisa kubuat. Meskipun begitu, aku sudah melakukan yang kubisa. Walaupun tidak sebesar pengorbanan Putri Duyung yang rela menahan sakit demi mendapatkan sepasang kaki impiannya, tapi aku tahu, aku sudah berusaha melakukan yang terbaik kali ini.

“Masakan yang dibuat sendiri oleh Rayana. Boleh kumakan sekarang?” Dia mengatakan hal itu dengan tatapan berkilat, penuh harap.

Aku mengangguk, “nikmatilah, jadi aku bisa membawa kembali kotak bekalnya sekalian saat pulang.”

Ia membuka tutup kotak makan itu perlahan-lahan. Aku bisa melihat asap masih mengepul nasi kare di dalamnya. Kurasa, aku memilih kotak makan yang tepat. Dengan begitu aku bisa memastikan Ia menyantap masakanku selagi masih hangat.

Dia meraih sendok yang sudah kusediakan bersamaan dengan kotak makan itu. Ia menyendok makanan itu, memasukannya ke mulut, perlahan-lahan mengunyahknya, lalu menelannya dengan susah payah. Ia mengulang step demi stepnya tanpa berbicara apapun, hingga isi dari kotak itu tak lagi tersisa.

Aku suka menatapnya seperti ini. Melihatnya menutup kotak makan kosong, meletakkan sendok di atasnya, lalu menyodorkannya kembali ke arahku dengan sikap yang terlihat canggung. Entah kapan terakhir kali aku menikmati pemandangan seperti ini.

“Aku sangat menikmatinya. Terima kasih atas makannya, itu benar-benar enak.” Suaranya terdengar tidak setegas sebelumnya, aku tahu dia sedang lebih emosial saat ini.

Kutatap kotak makan di hadapanku sejanak, lalu meraihnya, kembali memasukkannya dalam wadah yang kubawa tadi. Aku rasa ini pertama kalinya aku merasa amat sangat bahagia seperti ini. Melihat seseorang memakan hasil kerja kerasku dan memujinya meski aku sendiri tahu kemampuanku dalam memasak bisa dibilang sangat kurang. Aku tetap menyukainya.

Kini, dia kembali menyodorkan sesuatu padaku.  Sebuah amplop kecil berwarna cokelat polos, tanpa ornamen apapun. Dia bilang, itu untuk hadiah ulang tahunku. Aku menerimanya dengan jantung berdebar.

“Aku tahu kamu tidak akan bersedia menyimpan barang apa pun dariku, jadi kupikir ingin memberikan surat itu. Jika kamu mau, kamu bisa membakar itu setelah selesai membacanya.”

Mendengar itu, aku benar-benar merasa tersentuh. Dia benar-benar memikirkan segalanya untuk membuatku merasa nyaman. Aku benar-benar bersyukur karena dialah orang yang ada di hadapanku saat ini, bukan orang lain.

“Apakah hubungan kita benar-benar berakhir hari ini? Apakah kita tidak bisa terus menjadi sepasang kekasih saja?”

Atmosfer dalam ruangan ini menjadi lebih berat dari sebelumnya. Tentu saja kami berdua datang untuk hal ini, tapi aku tidak tahu bahwa suasanya akan berubah lebih sendu seperti ini.

“Eum! Semuanya terlalu menyakitkan dan akan makin parah dari waktu ke waktu. Aku tidak bisa melanjutkannya.” Jawabku.

“Apakah kamu tidak bisa memberiku sebuah kesempatan?”

“Mencintai seseorang terlalu menyakitkan untukku. Aku sedih sepanjang waktu, aku benar-benar tidak menyukai perasaan itu.”

“Aku bisa membuatmu bahagia. Aku akan melakukan apa saja.”

Percakapan itu berjalan dengan cepat. Rasanya aku bahkan belum sempat mengambil napas untuk menjawab pertanyaannya. Jadi aku mengambil jeda sejenak, membiarkan semua yang kurasakan mengalir begitu saja.

“Biarkan aku mengakhirinya selagi ini masih berbentuk kesedihan. Aku tidak ingin membiarkannya berubah menjadi kemarahan dan berakhir membencimu seumur hidupku. Maafkan aku, ini terlalu melelahkan.”

Aku tidak mengerti mengapa aku menangis. Perasaanku saat ini begitu sulit dijelaskan. Aku tidak bisa menghentikan tangisanku. Yang kupikirkan saat ini hanyalah aku tidak ingin menghilang menjadi gelembung sabun seperti cerita Putri Duyung yang kubaca.

“Kenapa kamu menangis, bukankah itu bagianku? Jika ada yang melihat, mereka pasti berpikir bahwa aku yang memutuskanmu.”

“Entahlah. Aku juga tidak tahu kenapa aku harus menangis seperti ini. Padahal jelas-jelas aku yang minta putus denganmu.” Kataku dengan suara bergetar.

Dia bangkit dari tempat duduknya, berpindah ke sebelahku. Aku bisa merasakan kehangatannya menjalar ke seluruh tubuhku melalui pelukan itu. Aku tahu, aku adalah orang yang paling tahu bahwa pria ini benar-benar tulus padaku.

“Kamu sedang kesakitan, Ray. Karena itulah kamu menangis.” Katanya sembari menepuk-nepuk pundakku dengan lembut.

Kami berpelukan seperti itu cukup lama. Sesekali dia membelai rambutku. Aku bisa merasakan napasnya yang memburu, aku tahu dia sedang mencoba mengendalikan dirinya juga. Aku tahu, aku bukanlah satu-satunya orang yang kesakitan saat ini.

Ia melepaskan pelukannya. Mengusap air mataku dengan tangan kosong. Aku bisa merasakan semua yang Ia rasakan melalui jari-jari tangannya yang menyentuhku.

“Kalau begitu aku akan pergi sekarang.” Ucapnya.

Aku hanya bisa mengangguk. Pikiranku benar-benar kosong, aku menghindari tatapan matanya saat ini karena aku tahu, aku akan goyah dibuatnya. Aku tidak boleh goyah atau aku akan kembali mengulangi kesalahan yang sama lagi, seperti yang sudah-sudah.

“Aku ingin mengatakan ini untuk yang terakhir kalinya. Buatlah suara saat menangis. Kau harus mengeluarkan semuanya, tidak baik menyembunyikan perasaanmu terus menerus. Kau tidak layak menanggung semuanya sendirian seperti itu.”

Dia diam sejenak, lalu melanjutkan ucapannya, “Itu saja yang ingin kukatakan. Aku pergi sekarang. Jaga kesehatanmu.”

Aku mengangguk, lalu menatapnya yang berjalan lurus keluar kafe tanpa sekalipun menoleh ke belakang. Begitulah aku benar-benar kehilangan sosok dirinya dan aku kafe ini kembali sunyi. Seperti Putri Duyung yang menatap punggung sang pengeran pergi bersama istri tercintanya.

Aku bisa merasakan bahwa keberadaanku di tempat ini juga makin menipis. Kini, hanya ada aku dan seorang pelayan kafe yang melayaniku membeli segelas es kopi saat datang kemari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun