"Jum, kok malah melamun. Sepertinya kamu kenal dengan lelaki ini, ya?. Kamu jujur saja nggak apa-apa. Lihat aku, keluarga Marunda sudah menganggap Jumaiah sebagai bagain dari keluarga. Jadi tolong, jujurlah!."
Aku yang gugup dan tidak tau harus bagaimana mengakui jika bapak Nissa adalah suami tercinta yang sudah lama berpaling. Tangan Ibu Marunda memegang erat tanganku. Akhirnya hatiku luluh untuk mengatakan yang sebenarnya. Aku mengangguk perlahan.
"Dia mantan suami saya, Bu." Suaraku lirih penuh beban.
"Lalu, apakah ibunya Nissa mengenalmu sebelumnya, hingga ia meninggalkan anaknya bersamamu, Jum.?"
"Nggak Bu, saya nggak kenal. Wanita muda itu hatinya hancur. Ia tidak tau harus meminta tolong dengan siapa karena dia tidak mempunyai keluarga. "
"Sekarang apa rencanamu, Jum. Apakah kau akan menyerahkan anak ini ke Bapak
kandungnya?"
"Nggak Bu, saya tidak akan menyerahkan Nissa kepada siapapun. Saya permisi dulu, Bu."
Aku bergegas menggendong Nissa pulang. Bocah itu kupeluk makin erat. Matanya yang bulat memandangiku tak berkedip. Ada hal yang menusuk hatiku lebih keras. Ternyata firasat kedua putraku sangat tajam. Berulang kali ia mengatakan bahwa Nissa cantik seperti bapak. Rahman dan Rahim anak yang lahir tanpa sosok ayahnya. Ia hanya mengenal dari poto pernikahan yang sengaja saya abadikan sejak pernikahanku. Poto itu berukuran 20R yang sengaja kupajang di kamar. Aku hanya ingin anak-anaku tetap mengenal dan melihat sosok bapaknya meski berupa gambar tak bergerak. Saya selalu memberikan pengertian kepada mereka bahwa ayahnya sangat menyayanginya. Ayahnya sedang bekerja di luar pulau dan entah berapa lama ia bisa kembali ke Batulicin. Beberapa kali mereka meminta nomor bapaknya kepadaku, namun aku yang memang sudah belasan tahun ini kehilangan kontaknya akhirnya harus berbohong bahwa bapaknya tidak menggunakan Hp karena bekerja di pulau yang sangat jauh dari sinyal. Entahlah, apakah yang kulakukan ini benar atau salah. Aku hanya tidak menginginkan anak-anaku tidak membenci bapaknya.
"Rahman, Rahim, dan Nissa kalian satu darah. Di tubuh kalian mengalir deras darah Hamka. Semua kembali kepangkuan mama. Mama ikhlas dengan segala ketentuan Allah. Seperti kata ustadz Mutarom, jika kita miskin harta kita bisa bersedekah dengan hati yang ikhlas untuk menerima qadha dan qadar Allah. Anak-anak baik diberikan Allah dengan tunai untuk ibumu ini. Kalian adalah harta yang tidak bisa ditebus dengan apapun."
                                                         ***                            Â