Mohon tunggu...
Mia Ismed
Mia Ismed Mohon Tunggu... Guru - berproses menjadi apa saja

penyuka kopi susu yang hoby otak atik naskah drama. pernah nangkring di universitas negeri yogyakarta angkatan 2000. berprofesi sebagai kuli di PT. macul endonesa bagian dapor

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sangu Batulak

24 Desember 2024   15:38 Diperbarui: 24 Desember 2024   15:38 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun kesebelas, bulan November badanku terasa ada yang berubah. Aku mulai tidak bisa makan nasi dan mencium bebauan makanan tertentu. Awalnya aku menganggap biasa saja. Atas desakan iparku, akhirnya kuperiksakan kondisiku ke bidan Rukayah. Qudarullah , aku hamil. Kabar kehamilan itu membuatku penuh sukacita, tapi tidak dengan suamiku. Semua tampak biasa saja seakan tidak pernah terjadi apa-apa.

Putra pertamaku lahir dengan normal dibantu oleh bidan Rukayah di Puskesdes. Suamiku tidak bisa mendampingi karena belum sampai masa cuti. Tuhan memberiku lebih. Aku melahirkan anak kembar laki-laki. Namun sehari setelah persalinan, aku mengalami pendarahan hebat. Iparku panik, dibantu bidan Rukayah aku dilarikan ke rumah sakit Andi Abdurahman Noor tanpa sepengetahuan suamiku. Segala sesuatu atas kehendak Allah, disibaknya tabir rahasia suamiku selama ini. Saat aku di rawat beberapa hari di rumah sakit, dari kejauhan tak sengaja mataku melihat pemandangan yang memilukan. Suamiku bersama perempuan muda sedang berada di ruang tunggu obgyn. Mereka tampak Bahagia. Perut perempuan itu membuncit. Tangan suamiku menggenggam erat tangan wanita itu dengan tatapan cinta. Aku yang sebelumnya mendengar desas-desus pernikahan siri suamiku membuatku semakin yakin bahwa hari itu tuhan menjawabnya dengan tuntas.

Kelahiran putra pertamaku adalah awal kujalani hidup dari nol. Perceraian terjadi dan aku menjadi single parent. Satu hal yang membuatku tidak habis pikir, suamiku memutarbalikan fakta setelah kutanyakan semua hal tentang wanita di ruang obgyn kala itu. Tuduhan yang paling kejam, aku dianggap berselingkuh dengan laki-laki lain hingga hamil. Ia tidak mengakui putraku sebagai anak kandungnya. Semua asset rumahtanggaku diambil paksa. Aku yang tak berdaya meninggalkan rumah dan semua kenangan pernikahanku. Aku tinggal di rumah kontrakan kecil sebelah pasar Ampera. Ya Allah, ya robb mengapa kepahitan itu terlintas kembali malam ini.

Tubuh mungil itu menggeliat. Angin malam semakin menusuk tulang. Kubuka perlahan isi tas batik yang tersandar di stang motorku dengan harapan aku menemukan selimut untuk membalut tubuh mungil dipangkuanku. Aku harus segera pulang. Tak sengaja kumenemukan secarik kertas dengan satu lembar uang seratus ribu rupiah.

"Assalamualaikum orang baik. Ulun Yanti istri kedua yang hidup sebatangkara. Seminggu yang lalu hubungan kami hancur. Ulun nggak punya siapa-sapa. Ulun harus segera meninggalkan kota ini. Namun, ada hal yang tak bisa ulun ceritakan kepada keluarga ulun di kampung. Mereka nggak tau kalau ulun sudah menikah dan menjadi istri kedua. ulun bingung harus menitipkan putri kecilku KhairunNissa dengan siapa. Ulun nggak ridho jika anak ini tinggal bersama bapak dan ibu tiri. Acil, ulun mohon titip anak ulun. Semoga Allah membalas kebaikan pian. Suatu saat nanti jika takdir mempertemukan Nissa dengan bapak kandungnya, ulun ridho jika Nissa tetap bersama pian sebagai ibunya.

Dari ibu kandung KhairunNissa

***

"Makan yang banyak, Naklah. Semoga Allah memudahkan belajar anak-anak mama hari ini."

"Amin." Sahut mereka serentak.

Terlihat, Rahman, Rahim dan Wahyu duduk di atas tikar purun melingkari makanan pagi. Nasi hangat dengan lauk telur dadar dan ikan asin dengan cacapan asam. Mereka makan sangat lahap. Ada rasa syukur yang tak bisa diungkapkan. Rahman dan Rahim kini sudah sekolah di Madrasah Tsanawiyah Darul Azhar. Sedangkan Wahyu masih duduk di kelas tiga di Madrasah Ibtidaiyah. Wahyu bocah kecil yang saat ini berusia sembilan tahun adalah anak almarhum adikku. Sejak usia dua tahun ayahnya meninggal. Setahun setelah kepergian suaminya, Ibunya menikah lagi dan tinggal di Sulawesi. Sejak itulah Wahyu dititipkan ibunya ke rumah ini. Anak yatim adiku yang sudah tenang di alam keabadian. Aku yang lugu dan barangkali banyak orang yang memandang aku janda miskin, aku tidak pernah khawatir sedikitpun tentang kehidupanku. Allah selalu mencukupkan rizki untuk aku dan anak-anakku.

"Nissa makan juga ya sama, Ibu. Anak pintar nanti sekolah juga sama kaya kakak." "Mama...mama."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun