"Hmm...Pian antar saja ke Pelabuhan very, ya."
"Siap, berarti gak jadi ke batas kota ya, mbak?" Aku mencoba mengingatkan kembali pesanan awal lewat pesan whatsapp bahwa wanita itu ingin diantar ke batas kota.
Wanita itu pura-pura tidak mendengar. Anak yang digendongnya terbangun. Wanita itu menenangkan anaknya agar tidur kembali. Lampu sorot pelabuhan makin dekat, Pelabuhan penyeberangan itu sunyi, terlihat dua mobil bus antar kota yang terjebak kemalaman hingga harus bermalam dan menunggu kapal pertama esok pagi yang akan membawa mereka ke pulau seberang.
"Cil, ulun bagasakan. Ulun minta tolong banar lawan pian. Ulun betitip anak. Ulun kada lawas, dua tiga hari bulik lagi ka Batulicin." Wanita itu melepaskan gendongan anaknya. Anak itu diletakannya ke pangkuanku yang masih duduk di atas motor.
"Loh mbak, kok jadi dititipkan ke saya, bagaimana ini?." Tanganku reflek memeluk bocah yang pulas itu. Bocah polos dengan rambut keriting manis sekali.
"Ulun yakin, pian urang baik, Cil. Ini baju dan bekal anak ulun." Suara wanita itu parau, ada isak tangis yang mencekat. Ia tergesa-gesa membagikan lukanya yang tercecer dipangkuanku. Aku tertegun beberapa saat, dipangkuanku terlihat sosok bidadari mungil yang pulas. Barangkali bocah itu sedang bermimpi dalam dekapan kedua orang tuanya, menikmati sepotong eskrim dengan gaun merah jambu dan menyanyikan lagu merdu "kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa". Aku paling benci dengan pemandangan ini yang membuat mataku basah dan keibuanku selalu ingin menjadi ibu bagi semesta. Terlihat tas batik berukuran sedang sudah tersandar di bawah stang motorku.
"Ya Allah, Yarobbi, Jumaiah kau orang lemah yang tidak bisa menolak. Sudah cukupkah kau menyakiti dirimu sendiri, hidupmu susah. Kau miskin! Lihat, sekarang kau tampung lagi anak orang yang tak kau kenal. Berhentilah menyiksa dirimu sendiri. Ini tidak masuk akal, Jum!" Bisikku kembali makin keras.
"Kupandangi bocah mungil yang tak berdosa itu. Ada rasa yang menusuk, sangat pedih. Ingatanku mengelana pada tigabelas tahun silam. Tentang arti merelakan. Melepaskan bapak dari bocah mungil yang ada dipangkuanku kala itu. Aku melihat putra kecilku pada bocah perempuan ini. Anak perempuan yang dilahirkan malam untukku. Entahlah aku bingung memaknai perasaan ini. Siapakah perempuan itu? Mengapa ia meninggalkan bocah semanis ini kepadaku? Apakah perempuan itu diutus malaikat yang datang dari doa-doa masa laluku?.
Mataku nanar, bayangan cerita kelam mengepung ingatanku. Dulu aku sering diteror rasa bersalah. Bersalah sebagai perempuan yang tidak mampu memberikan keturunan untuk suamiku. Lantaran sudah tahun kesepuluh tidak ada seorang bayipun lahir dari rahimku. Suamiku mulai goyah dengan biduk rumah tanggaku. Sebagai karyawan swasta di Angsana, perusahaan menerapkan aturan bagi setiap karyawan yang jauh harus bersedia tinggal di mess. Setiap dua pekan kami menghabiskan waktu bersama. Keadaan mulai berubah pada tahun kesebelas. Suamiku mulai jarang pulang, lagi-lagi alasan utamanya perusahaan menerapkan aturan baru dengan izin cuti tiga bulan sekali. Sebagai istri yang baik, aku selalu menunggu dengan sabar dan segala permakluman.
Suamiku sangat merindukan anak perempuan. Berbagai cara kami usahakan untuk medapatkan momongan. Ini ujian terberat bagiku. Aku selalu meyakinkan suamiku, bahwa kita perlu waktu. Jika Allah menghendaki, insyaallah suatu saat nanti kami akan diberikan momongan. Itulah keyakinanku, kuserahkan segala kegundahanku kepadaNya. Beruntung aku tinggal di pasar sabtu yang tidak jauh dari masjid Al Mujahiddin. Setiap malam Jumat ada kajian agama rutin bersama ustadz Mutarom yang banyak memberiku penguatan.
"Setiap manusia akan diuji dengan kadar kemampuannya masing-masing. Ujian harta, ujian jabatan, ujian anak, ujian istri, ujian suami, kemiskinan dan sebagainya. Yakinlah, pada setiap ujian ada hal baik yang disampaikan Allah untuk kita. Apakah kita mengharapkan pertolongan hanya kepada Allah semata atau kepada manusia. Bahkan ada orang yang putus asa dari persoalan hidup hingga ia berpaling dari pertolongan Allah. Ia lebih memilih menghamba kepada setan untuk memenuhi segala keinginannya. Hanya orang yang berakal, yang mampu memetik hikmah pada setiap ujian yang singgah dalam kehidupan kita. Tetaplah berprasangka baik, sabar dan sholat. Menyandarkan diri hanya kepada Allah, zat yang maha memiliki." Pesan ustadz Mutarom yang selalu terngiang di benakku.