Mohon tunggu...
Mia Ismed
Mia Ismed Mohon Tunggu... Guru - berproses menjadi apa saja

penyuka kopi susu yang hoby otak atik naskah drama. pernah nangkring di universitas negeri yogyakarta angkatan 2000. berprofesi sebagai kuli di PT. macul endonesa bagian dapor

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sangu Batulak

24 Desember 2024   15:38 Diperbarui: 24 Desember 2024   15:38 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sangu batulak poto by Mia Ismed 

 

"Cil, lakasi tolongiakan ulun. Ulun balakas." Suara Perempuan itu sedikit berteriak dengan nafas tersengal-sengal.

Kur sumangat... terlihat seorang bocah kecil dalam gendongan. Suara sapatu wanita muda berperawakan ceking itu seperti nada Allegro, berpadu dengan suara jangkrik yang bertengger di semak-semak jalan setapak menuju keluar dari parkiran hotel.

Jujur orderan pelanggan malam itu membuatku was-was. Hanya modal yakin lillahitaalla, tawakal karena Allah mencari rejeki halal kuberanikan menembus gelapnya malam. "Ini sangat berisiko, Jum. Hati-hati! Jangan asal terima orderan orang! Ini tengah malam!" pekikku dalam hati.

***

Kurang lebih dua jam kupejamkan mata setelah menyelesaikan gunungan baju setrikaan ampun ibu guru yang akan diambil baisukan. Handphoneku berdering berkali-kali. Badanku yang renta karena keadaan harus perlahan menjangkau handphone yang berada di atas meja kecil di sudut kamar. Kulihat jam menunjukan pukul dua dini hari. Ada beberapa notifikasi panggilan masuk dan puluhan pesan whatsapp. Maklum nomorku bisa dibilang milik banyak orang yang harus standby dua puluh empat jam. Aku tak punya keahlian apa-apa, bermodalkan motor butut peninggalan mantan suamiku, aku menjual jasa ojek rumahan di luar aplikasi modern. Berawal dari rutinitas mengantarkan anak ke sekolah, secara kebetulan bertemu dengan ibu Marunda Tobing. Beliau pegawai polres yang sering kuwalahan antar jemput putranya yang masih kelas satu SD. Sebagai pegawai kantoran, ibu Marunda tentu banyak hal yang perlu dikerjakan di tempat tugas. Itu sebabnya beliau memintaku untuk antar jemput putranya, hingga teman-teman ibu marunda turut serta menyimpan nomorku sebagai nomor darurat untuk memakai jasa ojek dan tenaga serabutan. Deringan telpon berulang kembali, dari arah seberang terdengar suara perempuan yang tidak sabar ingin segera dijemput.

"Cil tolong antarkan ulun ke batas kota. Alamat sudah ulun kirim ke Whatsapp pian. Cepat ya Cil, ulun buru-buru!." Belum sempat kujawab apapun, Wanita itu bergegas menutup teleponnya.

Wanita muda dengan tergesa menaiki motorku. Wajahnya yang tegang tertangkap lampu jalanan. Cahaya itu mengabarkan padaku bahwa dia sedang tidak baik-baik saja.

"Cil, agak cepat ya!."

Tak banyak yang perlu kutanyakan. Hanya saja mataku yang tua ini, menelisik pelangganku di balik spion. Terlihat jelas wanita itu sangat panik. Sesekali ia menengok ke belakang, dan ke samping. Rambutnya terurai sebahu dipermainkan angin malam. Ntah siapakah gerangan yang ia takutkan hingga selarut ini ia harus membawa putri kecilnya keluar dari hotel melati itu.

"Maaf sebelumnya, mbaknya minta antar kemana ya tadi?." Aku meyakinkan wanita itu dengan melirik kearah spion.

"Hmm...Pian antar saja ke Pelabuhan very, ya."

"Siap, berarti gak jadi ke batas kota ya, mbak?" Aku mencoba mengingatkan kembali pesanan awal lewat pesan whatsapp bahwa wanita itu ingin diantar ke batas kota.

Wanita itu pura-pura tidak mendengar. Anak yang digendongnya terbangun. Wanita itu menenangkan anaknya agar tidur kembali. Lampu sorot pelabuhan makin dekat, Pelabuhan penyeberangan itu sunyi, terlihat dua mobil bus antar kota yang terjebak kemalaman hingga harus bermalam dan menunggu kapal pertama esok pagi yang akan membawa mereka ke pulau seberang.

"Cil, ulun bagasakan. Ulun minta tolong banar lawan pian. Ulun betitip anak. Ulun kada lawas, dua tiga hari bulik lagi ka Batulicin." Wanita itu melepaskan gendongan anaknya. Anak itu diletakannya ke pangkuanku yang masih duduk di atas motor.

"Loh mbak, kok jadi dititipkan ke saya, bagaimana ini?." Tanganku reflek memeluk bocah yang pulas itu. Bocah polos dengan rambut keriting manis sekali.

"Ulun yakin, pian urang baik, Cil. Ini baju dan bekal anak ulun." Suara wanita itu parau, ada isak tangis yang mencekat. Ia tergesa-gesa membagikan lukanya yang tercecer dipangkuanku. Aku tertegun beberapa saat, dipangkuanku terlihat sosok bidadari mungil yang pulas. Barangkali bocah itu sedang bermimpi dalam dekapan kedua orang tuanya, menikmati sepotong eskrim dengan gaun merah jambu dan menyanyikan lagu merdu "kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa". Aku paling benci dengan pemandangan ini yang membuat mataku basah dan keibuanku selalu ingin menjadi ibu bagi semesta. Terlihat tas batik berukuran sedang sudah tersandar di bawah stang motorku.

"Ya Allah, Yarobbi, Jumaiah kau orang lemah yang tidak bisa menolak. Sudah cukupkah kau menyakiti dirimu sendiri, hidupmu susah. Kau miskin! Lihat, sekarang kau tampung lagi anak orang yang tak kau kenal. Berhentilah menyiksa dirimu sendiri. Ini tidak masuk akal, Jum!" Bisikku kembali makin keras.

"Kupandangi bocah mungil yang tak berdosa itu. Ada rasa yang menusuk, sangat pedih. Ingatanku mengelana pada tigabelas tahun silam. Tentang arti merelakan. Melepaskan bapak dari bocah mungil yang ada dipangkuanku kala itu. Aku melihat putra kecilku pada bocah perempuan ini. Anak perempuan yang dilahirkan malam untukku. Entahlah aku bingung memaknai perasaan ini. Siapakah perempuan itu? Mengapa ia meninggalkan bocah semanis ini kepadaku? Apakah perempuan itu diutus malaikat yang datang dari doa-doa masa laluku?.

Mataku nanar, bayangan cerita kelam mengepung ingatanku. Dulu aku sering diteror rasa bersalah. Bersalah sebagai perempuan yang tidak mampu memberikan keturunan untuk suamiku. Lantaran sudah tahun kesepuluh tidak ada seorang bayipun lahir dari rahimku. Suamiku mulai goyah dengan biduk rumah tanggaku. Sebagai karyawan swasta di Angsana, perusahaan menerapkan aturan bagi setiap karyawan yang jauh harus bersedia tinggal di mess. Setiap dua pekan kami menghabiskan waktu bersama. Keadaan mulai berubah pada tahun kesebelas. Suamiku mulai jarang pulang, lagi-lagi alasan utamanya perusahaan menerapkan aturan baru dengan izin cuti tiga bulan sekali. Sebagai istri yang baik, aku selalu menunggu dengan sabar dan segala permakluman.

Suamiku sangat merindukan anak perempuan. Berbagai cara kami usahakan untuk medapatkan momongan. Ini ujian terberat bagiku. Aku selalu meyakinkan suamiku, bahwa kita perlu waktu. Jika Allah menghendaki, insyaallah suatu saat nanti kami akan diberikan momongan. Itulah keyakinanku, kuserahkan segala kegundahanku kepadaNya. Beruntung aku tinggal di pasar sabtu yang tidak jauh dari masjid Al Mujahiddin. Setiap malam Jumat ada kajian agama rutin bersama ustadz Mutarom yang banyak memberiku penguatan.

"Setiap manusia akan diuji dengan kadar kemampuannya masing-masing. Ujian harta, ujian jabatan, ujian anak, ujian istri, ujian suami, kemiskinan dan sebagainya. Yakinlah, pada setiap ujian ada hal baik yang disampaikan Allah untuk kita. Apakah kita mengharapkan pertolongan hanya kepada Allah semata atau kepada manusia. Bahkan ada orang yang putus asa dari persoalan hidup hingga ia berpaling dari pertolongan Allah. Ia lebih memilih menghamba kepada setan untuk memenuhi segala keinginannya. Hanya orang yang berakal, yang mampu memetik hikmah pada setiap ujian yang singgah dalam kehidupan kita. Tetaplah berprasangka baik, sabar dan sholat. Menyandarkan diri hanya kepada Allah, zat yang maha memiliki." Pesan ustadz Mutarom yang selalu terngiang di benakku.

Tahun kesebelas, bulan November badanku terasa ada yang berubah. Aku mulai tidak bisa makan nasi dan mencium bebauan makanan tertentu. Awalnya aku menganggap biasa saja. Atas desakan iparku, akhirnya kuperiksakan kondisiku ke bidan Rukayah. Qudarullah , aku hamil. Kabar kehamilan itu membuatku penuh sukacita, tapi tidak dengan suamiku. Semua tampak biasa saja seakan tidak pernah terjadi apa-apa.

Putra pertamaku lahir dengan normal dibantu oleh bidan Rukayah di Puskesdes. Suamiku tidak bisa mendampingi karena belum sampai masa cuti. Tuhan memberiku lebih. Aku melahirkan anak kembar laki-laki. Namun sehari setelah persalinan, aku mengalami pendarahan hebat. Iparku panik, dibantu bidan Rukayah aku dilarikan ke rumah sakit Andi Abdurahman Noor tanpa sepengetahuan suamiku. Segala sesuatu atas kehendak Allah, disibaknya tabir rahasia suamiku selama ini. Saat aku di rawat beberapa hari di rumah sakit, dari kejauhan tak sengaja mataku melihat pemandangan yang memilukan. Suamiku bersama perempuan muda sedang berada di ruang tunggu obgyn. Mereka tampak Bahagia. Perut perempuan itu membuncit. Tangan suamiku menggenggam erat tangan wanita itu dengan tatapan cinta. Aku yang sebelumnya mendengar desas-desus pernikahan siri suamiku membuatku semakin yakin bahwa hari itu tuhan menjawabnya dengan tuntas.

Kelahiran putra pertamaku adalah awal kujalani hidup dari nol. Perceraian terjadi dan aku menjadi single parent. Satu hal yang membuatku tidak habis pikir, suamiku memutarbalikan fakta setelah kutanyakan semua hal tentang wanita di ruang obgyn kala itu. Tuduhan yang paling kejam, aku dianggap berselingkuh dengan laki-laki lain hingga hamil. Ia tidak mengakui putraku sebagai anak kandungnya. Semua asset rumahtanggaku diambil paksa. Aku yang tak berdaya meninggalkan rumah dan semua kenangan pernikahanku. Aku tinggal di rumah kontrakan kecil sebelah pasar Ampera. Ya Allah, ya robb mengapa kepahitan itu terlintas kembali malam ini.

Tubuh mungil itu menggeliat. Angin malam semakin menusuk tulang. Kubuka perlahan isi tas batik yang tersandar di stang motorku dengan harapan aku menemukan selimut untuk membalut tubuh mungil dipangkuanku. Aku harus segera pulang. Tak sengaja kumenemukan secarik kertas dengan satu lembar uang seratus ribu rupiah.

"Assalamualaikum orang baik. Ulun Yanti istri kedua yang hidup sebatangkara. Seminggu yang lalu hubungan kami hancur. Ulun nggak punya siapa-sapa. Ulun harus segera meninggalkan kota ini. Namun, ada hal yang tak bisa ulun ceritakan kepada keluarga ulun di kampung. Mereka nggak tau kalau ulun sudah menikah dan menjadi istri kedua. ulun bingung harus menitipkan putri kecilku KhairunNissa dengan siapa. Ulun nggak ridho jika anak ini tinggal bersama bapak dan ibu tiri. Acil, ulun mohon titip anak ulun. Semoga Allah membalas kebaikan pian. Suatu saat nanti jika takdir mempertemukan Nissa dengan bapak kandungnya, ulun ridho jika Nissa tetap bersama pian sebagai ibunya.

Dari ibu kandung KhairunNissa

***

"Makan yang banyak, Naklah. Semoga Allah memudahkan belajar anak-anak mama hari ini."

"Amin." Sahut mereka serentak.

Terlihat, Rahman, Rahim dan Wahyu duduk di atas tikar purun melingkari makanan pagi. Nasi hangat dengan lauk telur dadar dan ikan asin dengan cacapan asam. Mereka makan sangat lahap. Ada rasa syukur yang tak bisa diungkapkan. Rahman dan Rahim kini sudah sekolah di Madrasah Tsanawiyah Darul Azhar. Sedangkan Wahyu masih duduk di kelas tiga di Madrasah Ibtidaiyah. Wahyu bocah kecil yang saat ini berusia sembilan tahun adalah anak almarhum adikku. Sejak usia dua tahun ayahnya meninggal. Setahun setelah kepergian suaminya, Ibunya menikah lagi dan tinggal di Sulawesi. Sejak itulah Wahyu dititipkan ibunya ke rumah ini. Anak yatim adiku yang sudah tenang di alam keabadian. Aku yang lugu dan barangkali banyak orang yang memandang aku janda miskin, aku tidak pernah khawatir sedikitpun tentang kehidupanku. Allah selalu mencukupkan rizki untuk aku dan anak-anakku.

"Nissa makan juga ya sama, Ibu. Anak pintar nanti sekolah juga sama kaya kakak." "Mama...mama."

"Inggeh, mama lagi cari uang buat dek Nissa. Nissa tinggal sama ibu ya."

"Mah, dek Nissa cantik kaya Bapak ya." Celetuk Rahman sambil meneguk air putih.

"Hust... ada-ada saja pian, Nak."

"Serius mah, itu coba mata dan mulutnya. Mirip kaya poto bapak." Tambah Rahim menimpali.

"Sudah-sudah, ayo dihabiskan makananya. Nanti kakak terlambat sekolah." "Assalamualaikum mamah, dek Nissa. Kakak sekolah dulu ya." Mereka mencium

punggung tanganku, bergegas ke sekolah dengan bersepeda.

Nissa melambaikan tangannya. Rahman dan Rahim sangat menyayangi Nissa seperti adik kandungnya sendiri. Jika mereka sekolah, aktifitas kumulai dengan membereskan pekerjaanku di rumah ibu Marunda. Nissa yang masih balita membuatku harus ekstra membawanya turut serta dalam setiap pekerjaanku. Sepulang sekolah Rahman dan Rahim menggantikan posisiku untuk menjaga Nissa, dan aku mengojek dan kerja serabutan lainnya. Hari itu ibu Marunda menghubungiku pukul tujuh malam. Entah mengapa tidak biasanya, beliau memanggilku malam-malam. Padahal yang kuingat siang tadi semua

pekerjaanku sudah tuntas kujalankan semuanya.

"Jum, sudah hampir satu tahun ini Nissa tinggal bersamamu. Apakah ibu atau bapaknya menghubungimu?".

"Wah tidak ada, Bu. Bahkan nomor handphone ibunya sudah tidak bisa dihubungi lagi semenjak malam itu." Aku berusaha menjelaskan yang sebenarnya.

"Jum, saya dapat laporan seminggu yang lalu. Ada laporan pencarian orang hilang masuk ke pengaduan di Polsek Simpang Empat. Apakah benar ini poto Nissa?" Ibu Marunda menyodorkan selembaran kertas poto balita yang telah diprint.

"Iya ini poto Nissa, Bu."

"Sepertinya Nissa sedang dilakukan pencarian oleh keluarganya. Kamu mau tau siapa yang mengadukan berita kehilangan?" Ibu Marunda menatapku penuh makna.

"Siapa, Bu? Apakah ada keluarganya yang mencari keberadaan Nissa?"

"Iya ada. Bapaknya tepatnya Jum. Ini laki-laki yang mengaku bapak dari anak ini?" ibu Marunda menyodorkan poto profil yang ada di whatsapp itu.

Mataku sedikit mengerucut untuk menelisik wajah yang ada di layar hp itu. Lelaki itu berperawakan besar dengan cambang yang agak lebat. Dari sorot matanya, lelaki itu tidak asing dalam memoriku.

"Mas Hamka?" Reflek bibirku menyebut nama laki-laki yang meninggalkanku beberapa tahun lalu.

"Kau kenal dengan lelaki ini, Jum." Ibu Marunda mendengar nama yang kusebutkan.

"Oh maaf tidak Bu, saya tidak kenal." Aku berusaha menutupi kekalutan hatiku.

Kupandangi Nissa yang sedang bermain dengan Gisel putri kedua ibu Marunda.

"Apakah Nissa darah daging mas Hamka? Lalu apakah ia menikah lagi dengan wanita lain

setelah pernikahannya yang kedua?" hatiku berkecamuk hebat.

"Jum, kok malah melamun. Sepertinya kamu kenal dengan lelaki ini, ya?. Kamu jujur saja nggak apa-apa. Lihat aku, keluarga Marunda sudah menganggap Jumaiah sebagai bagain dari keluarga. Jadi tolong, jujurlah!."

Aku yang gugup dan tidak tau harus bagaimana mengakui jika bapak Nissa adalah suami tercinta yang sudah lama berpaling. Tangan Ibu Marunda memegang erat tanganku. Akhirnya hatiku luluh untuk mengatakan yang sebenarnya. Aku mengangguk perlahan.

"Dia mantan suami saya, Bu." Suaraku lirih penuh beban.

"Lalu, apakah ibunya Nissa mengenalmu sebelumnya, hingga ia meninggalkan anaknya bersamamu, Jum.?"

"Nggak Bu, saya nggak kenal. Wanita muda itu hatinya hancur. Ia tidak tau harus meminta tolong dengan siapa karena dia tidak mempunyai keluarga. "

"Sekarang apa rencanamu, Jum. Apakah kau akan menyerahkan anak ini ke Bapak

kandungnya?"

"Nggak Bu, saya tidak akan menyerahkan Nissa kepada siapapun. Saya permisi dulu, Bu."

Aku bergegas menggendong Nissa pulang. Bocah itu kupeluk makin erat. Matanya yang bulat memandangiku tak berkedip. Ada hal yang menusuk hatiku lebih keras. Ternyata firasat kedua putraku sangat tajam. Berulang kali ia mengatakan bahwa Nissa cantik seperti bapak. Rahman dan Rahim anak yang lahir tanpa sosok ayahnya. Ia hanya mengenal dari poto pernikahan yang sengaja saya abadikan sejak pernikahanku. Poto itu berukuran 20R yang sengaja kupajang di kamar. Aku hanya ingin anak-anaku tetap mengenal dan melihat sosok bapaknya meski berupa gambar tak bergerak. Saya selalu memberikan pengertian kepada mereka bahwa ayahnya sangat menyayanginya. Ayahnya sedang bekerja di luar pulau dan entah berapa lama ia bisa kembali ke Batulicin. Beberapa kali mereka meminta nomor bapaknya kepadaku, namun aku yang memang sudah belasan tahun ini kehilangan kontaknya akhirnya harus berbohong bahwa bapaknya tidak menggunakan Hp karena bekerja di pulau yang sangat jauh dari sinyal. Entahlah, apakah yang kulakukan ini benar atau salah. Aku hanya tidak menginginkan anak-anaku tidak membenci bapaknya.

"Rahman, Rahim, dan Nissa kalian satu darah. Di tubuh kalian mengalir deras darah Hamka. Semua kembali kepangkuan mama. Mama ikhlas dengan segala ketentuan Allah. Seperti kata ustadz Mutarom, jika kita miskin harta kita bisa bersedekah dengan hati yang ikhlas untuk menerima qadha dan qadar Allah. Anak-anak baik diberikan Allah dengan tunai untuk ibumu ini. Kalian adalah harta yang tidak bisa ditebus dengan apapun."

                                                                                                                  ***                                                       

*) sangu batulak : bekal untuk ke akhirat

      

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun