"Inggeh, mama lagi cari uang buat dek Nissa. Nissa tinggal sama ibu ya."
"Mah, dek Nissa cantik kaya Bapak ya." Celetuk Rahman sambil meneguk air putih.
"Hust... ada-ada saja pian, Nak."
"Serius mah, itu coba mata dan mulutnya. Mirip kaya poto bapak." Tambah Rahim menimpali.
"Sudah-sudah, ayo dihabiskan makananya. Nanti kakak terlambat sekolah." "Assalamualaikum mamah, dek Nissa. Kakak sekolah dulu ya." Mereka mencium
punggung tanganku, bergegas ke sekolah dengan bersepeda.
Nissa melambaikan tangannya. Rahman dan Rahim sangat menyayangi Nissa seperti adik kandungnya sendiri. Jika mereka sekolah, aktifitas kumulai dengan membereskan pekerjaanku di rumah ibu Marunda. Nissa yang masih balita membuatku harus ekstra membawanya turut serta dalam setiap pekerjaanku. Sepulang sekolah Rahman dan Rahim menggantikan posisiku untuk menjaga Nissa, dan aku mengojek dan kerja serabutan lainnya. Hari itu ibu Marunda menghubungiku pukul tujuh malam. Entah mengapa tidak biasanya, beliau memanggilku malam-malam. Padahal yang kuingat siang tadi semua
pekerjaanku sudah tuntas kujalankan semuanya.
"Jum, sudah hampir satu tahun ini Nissa tinggal bersamamu. Apakah ibu atau bapaknya menghubungimu?".
"Wah tidak ada, Bu. Bahkan nomor handphone ibunya sudah tidak bisa dihubungi lagi semenjak malam itu." Aku berusaha menjelaskan yang sebenarnya.
"Jum, saya dapat laporan seminggu yang lalu. Ada laporan pencarian orang hilang masuk ke pengaduan di Polsek Simpang Empat. Apakah benar ini poto Nissa?" Ibu Marunda menyodorkan selembaran kertas poto balita yang telah diprint.