Aku hanya tersenyum mengabaikan pesannya di messenger itu. Kulihat harian kota berjajar rapi disudut ruangan caf. Ntah apa yang kurasakan sore itu. Kakiku berayun begitu saja mendekati kertas buram. Tak ada kerjaan dan ah bosan sekali. Kubolakbalik media masa itu tak ada sesuatu yang menarik. Tapi mataku mulai tertuju pada halaman kelima di kolom seni. Sebuah monolog yang mencantumkan nama lelaki langit.
Melawan Lupa "Aku Anak Ibu Pertiwi Tulen"
Lelaki Langit
Ketika kita masih saling beradu nyali untuk membuktikan darah kita asli pribumi atau sudah terkontaminasi darah asing lantaran aku berewokan berkulit putih dan bermata biru barang kali kau menganggapku tak berhak tinggal di negeri ini. aku dengan lantang akan mengatakan aku adalah anak pribumi tulen. Darahku masih merah tak terkontaminasi dengan birunya laut atau putihnya susu.
Atau kau juga masih ragukan kebangsaanku apakah aku dari golongan makluk asing dari mars atau sebangsa makluk langit yang dihantarkan meteor jatuh dan kamu berpikir aku adalah bangsa alien yang dikirim piring terbang dari angkasa raya. Jawabku tetap tegas. Aku adalah anak pribumi tulen yang lahir di negeri kaya rempah-rempah.
Aku manusia yang hanya suka makan nasi bukan daging saudara sendiri. Ketika kau juga mungkin berpikir aku suka keringat asin yang diperas tukang angkut buruh pasar, atau menggadaikan legam tubuh pak tani menghalau panas dipersawahan dengan menggantikan berasnya dengan roti, mohon maaf aku tak suka roti. aku akan katakan aku pribumi tulen yang doyan makan nasi.
Ketika hidup terkotak-kotak karena merasa darah yang tak sama merah atau baju yang tak sama ukuran atau mungkin keringat yang tak sama bau itu yang menjadi dalih kau tak berhak hidup di negeri ini, memakan bahkan kencing. Aku akan mengatakan aku anak ibu pertiwi tulen aku masih punya sungai dan kebun-kebun sayur.
 .....................................................................................................
Tepuk jidat dibuatnya. Aku sangat mengagumi tulisan-tulisan langit.
***
Hujan mulai merambat. Seperti biasa jika tak ada kerjaan kuhabiskan waktuku di caf Blue yang tak jauh dari apartemenku. Beberapa menit lalu Mario menghubungiku. Teman yang dia ceritakan sudah mendarat di soekarno hatta. Itu barangkali yang membuatku punya alas an kuat untuk memilih caf itu. Â