Air muka, Nyai pun tersungging tersenyum riang. Tanda mengerti. Kemudian menyambungnya, meminta bukti dengan menyelidiknya.Â
"Betulkah kiranya demikian adanya nak, Nyo? Kau sebut anakku itu Cantik?. Andai betul, coba ulangi biar aku ikut dengar segala pujianmu yang serba-jujur itu. Pintanya pada Minke.Â
Jantung terasa teremas-remas dan kepala Minke seolah terseduh air panas menghadapi situasi demikian, mulanya. Namun naluri terpelajarnya sangat membantunya dan memberanikannya.
"Betul. Maaa." Jawab Minke.Â
Nah, Nyo. Coba kau ulangi sekali lagi. Pinta Nyai Ontosoroh.Â
"Baik Ma". Dengan memandang Annelis, Minke berkata "Betapa Indahnya hari ini bisa berhadapan langsung dengan Dewi yang cantik, cantik serba segala tiada tandingannya. Akan Beruntunglah dan betapa bahagia kiranya yang bisa menjadi pujaan hatinya" Gopoh jawab Minke dengan sedikit tambahan.
"Naah ... Begitu Ann. Minke memang Jujurn! kau itu memang sangat cantik. Siapapun yang melihatmu pasti akan hilang kendali dan patut bilang demikian". Nyai Ontosoroh meyakinkan putrinya.Â
Annelis yang kekanak-kanakan pun, mencubit mamanya dan tersipu Malu. "Baiklah, masih ada yg perlu dikerjakan lagi di kebun, mama ke belakang dulu. "ucap mama.Â
Kalian duduklah tenang-tenang di sini, nikmati kembali melanjutkan berceritanya". Nyai Pun pergi meninggalkan.Â
Saat Minke dan Annelis, menyusulnya ke Belakang rumah. Melihat - lihat sekitar. Mereka mesti melewati jembatan penyeberangan dari bambu, untuk bisa sampai ke kebunnya, Nyai.Â
Ketika melewati Jembatan tersebut, dan Minke mendahuluinya untuk memberikan uluran tangan untuk membantunya, saat itu jembatan sangat licin sekali habis tersiram hujan. Ketika Annelis hampir jatuh. Minke memegang tangannya erat-erat dan menangkapnya. Dan mereka saling berpandangan satu dengan lainnya. Kemudian, suatu kenakalan juga keberaniannha sebagai seorang lelaki jantan. Minke menciup pipinya tanpa izin.Â