Mohon tunggu...
M Fajarun Amin
M Fajarun Amin Mohon Tunggu... Penulis - Hanya Manusia

Menginginkan Indonesia Raya Lahir Batin selamanya.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Sudah Cocok-kah Iqbal Mainkan Karakter Si Jantan Tulen Minke?

29 Juni 2019   13:41 Diperbarui: 30 Juni 2019   14:04 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puji Syukur kepada Tuhan YME dengan perasaan hampir penuh lega. Penantian nan panjang, berliku dan berdarah tanpa keluar darah penulisnya. hingga wafatnya... Akhirnya. Beberapa hari ke depan ini, sekitar Agustus tepatnya. Kita semua patut bersyukur. Mesti. Sangat mesti. Dengan  sepenuh-penuhnya rasa syukur. 

Sebuah Maha Karya Fenomena Karya Sastrawan Novel Terbesar Tanah Air, yg berjudul "BUMI MANUSIA" akan digubah dan ditayangkan juga oleh satu diantara sutradara terbaik Indonesia, Mas Hanung Bramantyo dkk. 

Sebuah perjuangan besar dan bernyali super dari pemuda hebat yg terpanggil hatinya atas nama kemanusiaan universal, mahakarya anak didik revolusi yang menolak segala bentuk ketidakadilan. 

Mengutip kata bijak penulis novel ini. "Bilamana sudah tiada lagi keberanian menghadapi kemungkinan segala, lantas apalagi harganya hidup kita ini ? ".

Padanan kata sastra jempolan sarat penuh makna yang padat. Yang kiranya masihlah sangat relevan pada segala situasi hingga saat ini. 

Pasalnya, maha karya fenomena yg sudah dialih bahasakan ke- 43 bahasa di dunia ini. Dan telah menjadi bacaan wajib mahasiswa sastra Indonesia. Terdengar agung sekali gaungnya di luar negeri, namun disayangkan, sangat kempislah kokoknya di dalam negeri. Juga Tidak begitu populer ditelinga beberapa kalangan mahasiswa Indonesia. 

Hal itu bisa dimaklumi dengan ketenangan dan kesehatan pikiran. Bilamana kita tarik mundur, Mengingat latar belakang penulisnya yang menjadi oposisi politik paling lantang bersuara pada rezim kala itu yang pedas dan tajam menyoroti dan menguliti kebijakan-kebijakannya yang dinilai kurang berpihak pada rakyat. 

Kemudian dengan desas-desus propaganda yang dilekatkan padanya karena penulisnya terlibat aktif sebagai pucuk pimpinan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), karya ini konon dilabelkan oleh rezim saat itu sebagai jembatan mengenalkan nilai-nilai Marxisme-Lenin ke Indonesia melalui sastra yang mesti disterilkan di Bumi Indonesia.

Bahkan penulisnya sempat di buang ke perasingan (Pulau Buru) tanpa diadili menurut beberapa literatur dan cerita adiknya Mas (Soesilo Toer). 

Hikmah dan Berkah yang dipetik atas pembuangan dan pelecehan kemanusiaan tersebut. Hingga akhirnya, tokoh sastrawan pentolan Indonesia ini; Bung Pram pun berhasil melahirkan Tetralogi Buru pusakanya; Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Memang sangat pahit dan pedih kiranya rasanya, dikaruniai pembuangan lahir batin tanpa diadili. Yang akhirnya melahirkan karya intelektual sastra besar luar biasa tanpa tandingan ini di zamannya. Bahkan, konon sempat ingin dinobatkan sebagai penerima Nobel Prize Award kepenulisan kreatif sebelum dijegal oleh kawannya sendiri yang kurang senang atas prestasinya.

Bagi yang tidak tuntas atau belum pernah coba menyelami 4 novelnya yang saling terkait satu dengan lainnya. Mungkin sekilas akan mudah tercipta gambaran mencekam mengerikan yang mengilukan hati dan mengacaukan pikiran kita atas propaganda tersebut. Namun, ada baiknya. Silakan buktikan saja sendiri dengan pengadilan etis logika di kepala kita masing-masing atas segala informasi yang beredar sejauh ini.

Saya yakin. Terpelajar dengan nalar kritis yang hidup dan sehat dimanapun dengan keterampilan otak yang sering dilatih. Tidak mungkinlah kiranya, pernah bisa mudah percaya pada sebuah opini pembenaran atas dasar kepentingan tanpa dibuktikan oleh fakta yang bersifat empirik dan rasional. 

BUMI MANUSIA. Bukanlah sebuah pelampiasan atas pelecehan yang dihadiahkan rezim lalu padanya semata. Mungkin memang ada benarnya juga, Selain dimotivasi atas itu, sebagai alat bersuara atas mulut yang dijahit dan karakter pribadi yang dimatikan. Karya ini ialah sebuah potret kisah perjuangan revolusi masyarakat Indonesia membidani kemerdekaan lahir batin bangsa ini yang dimotori oleh terpelajar yang gagah berani. Seorang calon dokter Belanda, yang  kemudian berubah haluan menjadi jurnalis dan aktifis pergerakan kemerdekaan yang diceritakan pada tetralogi lanjutannya; BUMI MANUSIA --> Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca.

Fokus perawian dalam BUMI MANUSIA ini ialah menggambarkan tentang kisah romantisme remaja penuh harmonis namun terpaksa berakhir tragis dan juga kisah terpelajar yang menolak tradisi feodalisme dan penganiayaan keadilan Belanda pada Pribumi Indonesia. Tanpa peduli, baik lawan Belanda itu seorang terpelajar pendidikan tinggi atau rendahan ataupun tidak terpelajar sama sekali. Tidak peduli lah. Selama menyangkut kepentingan Belanda. Tidak peduli. Mestilah lawan Belanda itu digebuk dan ditekuk habis.

Baiklah. Pada intinya, Beberapa hari ke depan, kita akan menyaksikan Film Fenomena ini untuk ditayangkan di bioskop tercinta. Ada beberapa kalangan yang meragukan karakter Iqbal yang masih kekanakan dengan karakter khas suaranya yang cempreng, berbeda dengan pedalaman Minke sebagai gambaran Satria Jawa dengan suara beratnya. Meskipun sesama seusia Kawula. Mari saja cocokkan bersama.

Karakter Minke. 

1. Cerdas Intelektualnya dan kokoh Kepribadiannya.

Iqbaal Ramadhan Foto: Dok. Instagram
Iqbaal Ramadhan Foto: Dok. Instagram
Kala itu. Sebagai bagian dari segelintir anak muda Pribumi Indonesia yang bernasib agak lebih mujur. Berkesempatan Menikmati pendidikan terbaik di zamannya, sekolah H.B.S! Hogere Burgere School cabang Surabaya, sekolah para anak ningrat / pejabat pribumi dan anak-anak Belanda saja yang bisa dan boleh untuk akses menikmatinya dengan lebih leluasa. Konon selebihnya jangan harap, apalagi pribumi? Kelompok pinggiran secara status sosial untuk situasi itu menurut pandangan umum yang berlaku. Kala itu.

Sebagai pertimbangan Belanda. Mengingat tidak bolehlah kiranya banyak terpelajar cerdas yang lahir di Indonesia (khawatir menjadi bumerang untuk penjajahan Belanda nantinya). Karena saat itu ialah Eropa saja yang mendorong banyaknya penggunaan akal sebagai usaha untuk bisa sampai memahami dan mengembangkan Ilmu dan Pengetahuan modern secara nyata. Tanpa mengabaikan penggunaan moral / akhlak. 

Sebuah kejarangan yang mungkin terjadi. Dalam diri dan Pribadi-nya, Minke. Mengalir deras darah Pribumi Indonesia, dengan watak, wajah dan pedalaman Jawa dan Indonesia Tulen, tetapi Isi kepalanya berisikan wawasan Eropa yang serba-luas juga kemampuan meneropong pemandangan dunia yang dinamis. Tidak hanya sesempit kampung halaman sendiri sejauh pandang diterjangkan.

2. Tindakannya, Sejantan bibir atau ucapannya. 

(twitter.com/falconpictures_)
(twitter.com/falconpictures_)
Seminggu tersisa akan menghadapi tahun Ajaran baru di H.B.S. Minke ditantang oleh kawan yang nantinya menjadi musuh abadinya sejati. Seorang kawula lelaki berdarah dan berwatak Eropa yang hanya pandai menghina, melecehkan, mengecilkan dan menjahati orang lain yang lebih serba-lemah (Pribumi) menurutnya. 

Meskipun sama-sama sedang belajar di HBS. Pria albino ini, Robert Surhoff namanya. Wajah dan Pedalamannya, Eropa tulen. Sangatlah tulen bukan sekedar peranakan campuran.

Tantangan terbaik yang disarangkan kepada Minke ialah harus mampu menaklukan dara peranakan Belanda dengan segala kemampuan Eropa yang ia telah terima di HBS dan kombinasi dengan budaya kepribumi-an-nya yang kaya melimpah ruah.

Suatu ketika, ia mendapat undangan dari kerabatnya yang bernama Robert Mellema (kakak Annelis Mellema) utk datang ke rumahnya, di Wonokromo Buitenzorg, Surabaya. 

Menyanggupi tantangan sahabatnya dengan segala kemungkinan baik buruknya yang sudah dihitung akan dihadapinya. Minke selalu-lah bertindak sesuai dengan kalkulasi perhitungan sebagai dasar tindakan, jarang sekali kiranya bertindak asal sembarang, inilah satu di antara banyak karakter terpelajar sejati yang perlu dikagumi siapa pun. Mesti.

Tepatnya, awal Saat pertama jumpanya untuk pertama kalinya di rumahnya Annelis, daerah Wonokromo Buitenzorg. Rumah sang Hartawan Besar Belanda. Tuan Mellema. Minke dihadapkan berdua saja untuk sekedar mengobrol ringan di sisi bagian belakang rumahnya, karena akibat tidak bisa mengikuti topik pembicaraan seru sepakbola antara sahabatnya, yakni Robert Surhoff dan kakak Annelis Robert Mellema. 

Banyak sekali percakapan yang terjadi, sekilas muncullah kejantanan sejatinya yang tidak bisa ditindasnya. Mengingat didikan Eropa yang Luhur, selalulah mengajarkan pada anak didiknya untuk selalu bersikap jujur pada segala perasaan dan tindakan. Tanpa kuat menahannya, seketika terlompatlah. Kata-kata yang membuat pipinya Annelis Merah Merona seperti buah Tomat segar hampir matang.

"Tuhan... Betapa cantiknya seorang Dewi dihadapku kali ini, sungguh cantik. Sungguuuh.  Benar - benar cantik, tiada tanding". Gumam Minke pada Annelis. 

Dengan karakternya yang kekanakan. Sikap kekanakan Annelis dalam menyikapinya ialah dipanggilnya sang Mamanya yang sedang berada di belakang ruangan. Seorang Nyai yang memiliki kepribadian utuh terpelajar, meskipun tak pernah ia rasakan bersekolah, namun pengetahuan dan kepribadiannya sangat menakjubkan. Untuk ukuran Pribumi di zamannya, saat itu. 

Mama datang. Menegur sopan dan bertanya, 

"apakah ada keributan yang sedang terjadi antara kalian?" Tanya, Nyai Ontosoroh menyelidik dengan hormat dan penuh wibawa. 

"Tidak Ma, hanya Minke masa bilang aku cantik?". Jawab Annelis

Air muka, Nyai pun tersungging tersenyum riang. Tanda mengerti. Kemudian menyambungnya, meminta bukti dengan menyelidiknya. 

"Betulkah kiranya demikian adanya nak, Nyo? Kau sebut anakku itu Cantik?. Andai betul, coba ulangi biar aku ikut dengar segala pujianmu yang serba-jujur itu. Pintanya pada Minke. 

Jantung terasa teremas-remas dan kepala Minke seolah terseduh air panas menghadapi situasi demikian, mulanya. Namun naluri terpelajarnya sangat membantunya dan memberanikannya.

"Betul. Maaa." Jawab Minke. 

Nah, Nyo. Coba kau ulangi sekali lagi. Pinta Nyai Ontosoroh. 

"Baik Ma". Dengan memandang Annelis, Minke berkata "Betapa Indahnya hari ini bisa berhadapan langsung dengan Dewi yang cantik, cantik serba segala tiada tandingannya. Akan Beruntunglah dan betapa bahagia kiranya yang bisa menjadi pujaan hatinya" Gopoh jawab Minke dengan sedikit tambahan.

"Naah ... Begitu Ann. Minke memang Jujurn! kau itu memang sangat cantik. Siapapun yang melihatmu pasti akan hilang kendali dan patut bilang demikian". Nyai Ontosoroh meyakinkan putrinya. 

Annelis yang kekanak-kanakan pun, mencubit mamanya dan tersipu Malu. "Baiklah, masih ada yg perlu dikerjakan lagi di kebun, mama ke belakang dulu. "ucap mama. 

Kalian duduklah tenang-tenang di sini, nikmati kembali melanjutkan berceritanya". Nyai Pun pergi meninggalkan. 

Saat Minke dan Annelis, menyusulnya ke Belakang rumah. Melihat - lihat sekitar. Mereka mesti melewati jembatan penyeberangan dari bambu, untuk bisa sampai ke kebunnya, Nyai. 

Ketika melewati Jembatan tersebut, dan Minke mendahuluinya untuk memberikan uluran tangan untuk membantunya, saat itu jembatan sangat licin sekali habis tersiram hujan. Ketika Annelis hampir jatuh. Minke memegang tangannya erat-erat dan menangkapnya. Dan mereka saling berpandangan satu dengan lainnya. Kemudian, suatu kenakalan juga keberaniannha sebagai seorang lelaki jantan. Minke menciup pipinya tanpa izin. 

Annelis pun terdiam sejuta bahasa tanpa makna dan tanpa kata. Tampak marah, mesti sebetulnya hatinya sangat senang berbunga-bunga. Sebuah potret kepribadian, wanita yang cantik fisik tapi rapuh pedalamannya. 

Annelis pun pergi meninggalkannya, mengacuhkan Minke. Juga, Minke setelah minta maaf pun berpamit bersama Suurhof, pulang. 

Usai bertemu pertama kalinya dengan Annelis di rumahnya. 

Beberapa waktu pun berselang, diketahui Kabar. Kabar duka datang dari Wonokromo. Diketahui sebuah warta, Annelis sedang menderita sakit, sakit hebat akibat suatu gejolak perasaan dalam dirinya yang tak kuasa ia kendalikan. Sebuah rasa rindu, bertemu seorang yang ia cintai barangkali. 

Nyai pun gelisah atas kondisi puteri kesayangannya yang sangat rapuh pedalamannya itu. Akhirnya ia bersurat untuk mengharapkan kehadiran Minke, berkenan meluangkan waktu menjenguk Annelis kiranya. 

Saat kedatangannya, Annelis pun langsung pulih seketika. 

Menyadari hal itu, Minke diminta Nyai untuk tinggal beberapa waktu mendampingi Annelis hingga pulih total. 

Ditunaikanlah, permintaan itu oleh Minke.

Sekian lama tinggal di rumah seorang Nyai. Tanpa ikatan hubungan yang jelas, beredar meluas kabar burung tersebut hingga mematuk telinga Ayahandanya sebagai Bupati B.

Minke pun dijemput Paksa dengan bantuan Polisi, untuk pulang ke rumahnya di B. Setelah mendengarkan nasihat-nasihat Ayahandanya. Ia beranikam diri, meminta restu Ayahanda dan Ibundanya untuk mempersunting pujaan hatinya itu, Annelis. Sebagai obat penghapus curiga sosial tetangga.

Dan, yap. Cerita akhirnya, Annelis pun dinikahnya secara adat dan direstui oleh Ibundanya saja, sedangkan Ayahnya tidak datang. Pernikahan itu diakui secara Islam, ke-adatan dan tradisi, Tetapi ditolak mentah secara Hukum Belanda. Dan mesti berpisah secara paksa karena persoalan perebutan Hak Waris atas kematian Ayahnya Annelis. Hartawan Tuan Mellema.

3. Menolak Tradisi Feodal yang berlebihan.

Kultur yang berlaku di lingkungan keluarga Minke sangatlah kental pada tradisi feodalisme. 

Bahwa pemimpin atau lelaki (budaya patriarki) masih dijunjung setinggi mungkin. Seorang rakyat biasa akan mendapati malapetaka, bialamana tidak beringsut-ingsut menggelesot sambil menyembah bila ingin berjumpa dengan Raja / Pemimpinnya. 

Saat itu, sesampainya ia dijemput paksa pulang oleh pesuruh Ayahandanya. Minke baru menyadari bahwa ia dibawa pulang ke rumah oleh Polisi cabang Buitenzorg yang menjemputnya hanya bermodal Surat Pemanggilan Pemeriksaan. 

Sesuai adat yang ada. Minke patut kiranya beringsut-ingsut dan bergelesot sambil menyembah memohon karunia saat menghadap Ayahandanya. Namun, hal konyol itu tidak ia lakukan. Ia tolak segala aturan adat yang menolak persamaan nilai kemanusiaan sesama manusia. Ia beri hormat pada Ayahandanya sepatutnya saja. Sesuai kadar antara Ayah dan Anak. 

Ayahanda Minke pun datang. Dan berucap. Sudah tak kenal adat ya kau Nak, sekarang. Datang sudah tidak beri hormat sepatut adat pada umumnya lagi. Sudah cukup besar Kau nampaknya sekarang, Jantan. Sini mendekat. Tidak usah beri Ayahandamu lagi hormat. Kau sudah lupa arat tradisi moyangmy sendiri, nampaknya. Sudahlah. Sini mendekat. Pinta Ayahandanya. 

Dengan sedikit membungkuk kepala, ia beri salam pada Ayahandanya dan duduk setara dengan Ayahandanya di kursi Kebupatian. Dan mendiskusikan persoalan-persoalan tentang Hubungannya dengan Nyai Ontosoroh. Menurut warta yang berhamburan beredar tak terkendali.

Tepat. Minke kiranya Betul-betul sudah menjadi anak didik revolusi Prancis 100% utuh yang memajukan Persamaan atas dasar kemanusiaan. Semua makhluk Tuhan (Allah Swt) mulia. Merah, hitam, putih, kuning, coklat. Sama saja, untuk ukuran kemanusiaan.

4. Bela kehormatan Keluarga dan Kebenaran sampai Mati sekalipun.

Murid Akhir H.B.S yang menjadi kesayang gurunya ini, Juffrow Magda Petters. Mendapatkan beragam ujian beratnya. 

Pertama kali, ia mesti menanggung penyiksaan sosial di sekolah H.B.S. Karena teman-temannya menganggap ia bermain dengan Seorang Nyai, di luar pernikahan resmi baik secara adat / secara hukum. 

Hal tersebut, bermula. Saat Minke setiap hari diantar jemput Oleh Darsam (bodyguard Nyai Ontosoroh) dengan dokar Emas yang serba-mewah saat itu. Bahkan kepala sekolahnya pun kalah saing secara sosial (matter). 

Angin hembusan kebencian ini pada Minke. Dikobarkan oleh sahabat yang mengenalkannya dengan Annelis pertama kali. Robert Suurhoff. Ia memfitnah begitu keji dan kejam. Juga Suurhoff pun mengadu kepada Kepala Sekolahnya yang berwatak Belanda karena keturunan Eropanya. 

Mengetahui perbuatan Minke yang dilaporkan oleh Suurhoff dengan informasi yang sudah dimodifikasinya. Terbitlah surat Pemecatan Minke sebagai sisaa H.B.S. Karena dinilai tak bermoral. 

Seorang gurunya yang juga tau persis pedalamannya Minke ini. Juffrow Magda Petters, tidak dengan mudah bisa meyakini informasi tersebut mentah-mentah. 

Ia mengetahui Minke punya alasan yang sangat kuat untuk bisa menjelaskannya secara tepat. Pendapat gurunya ini tidak serta merta hadir begitu saja, pasalnya Minke ialah anak didik yang sangat cerdas. Bahkan ia sudah mampu menulis tentang hal - hal yang terjadi di beberapa koran harian yang ia bacai tiap hari dengan menggunakan nama samarannya, Max Havelaar.

Keyakinan Juffrow Magda Petters tidak bisa ditawar dan ia pun sangat membela murid kesayangannya itu. Dalam sidang internal di sekolah H.B.S. ia pun meminta untuk menunda pemecatan Minke sebagai siswa.  Syukurnya hal itu pun dikabulkannya. 

Minke pun menyikapi dengan sikap biasa saja atas sikap teman-temannya yang 180 beroposisi dari biasanya. Namun, ia hanya mengandung perasaan heran berat tiada tara yang ia pikul kemana-mana tubuhnya melangkah. 

Usai menyatakan kesiapannya menghadiri pemanggilan pihak sekolah pada Minke. Minke pun menjelaskan dan membantah fitnah-fitnah yang dituduhkan padanya. Bahwa ia bermain dengan seorang Nyai atau Gundik / wanita simpanan Laki-Laki Eropa di tanah air kala itu. 

Ia bantah semua tuduhan tersebut. Dan berhasil meyakinkannya. Namun, persoalan yang ia hadapi selanjutnya ialah ia diminta untuk segera pindah dari rumah Nyai Ontosoroh tersebut secepat mungkin. Guna menjaga kehormatan keluarga Kebupatiannya dan nama Baik H.B.S cabang Surabaya. 

Dua pilihan yang diberikan pada Minke. Kau tinggalkan tempat itu atau Kau nikahi Putrinya yang menjadi kekasihmu itu. Ini demi kebaikan bersama Minke. Tutup kepala sekolahnya. 

Sepanjang kepulangannya ia timbang-timbang segala baik buruknya atas pilihan tersebut. Bila ia tinggalkan Annelis, ada kemungkinan buruknya Annelis akan jatuh sakit parah kembali. Bila ia nikahi Annelis, apa ia akan dapat restu Ayahandanya yang menginginkan ia beristrikan pribumi untuk mendapinginya sebagai Bupati yang ayahnya telah rencanakan untuknya. 

Keputusan besar yang menandai perjuangan besarnya hari esok pun ia ambil dengan segala kemungkinan risiko baik buruknya. Karakter terpelajar, harus berani hadapi segala. Muncul secara kokoh dalam kepalanya. Sebagai siswa H.B.S, putra seorang Bupati B dan berprofesi praktis sebagai penulis koran. Mengambil keputusan terbesarnya dalam hidup dan kehidupannya tersebut.

Setelah menikahi Annelis secara adat. 

Ia menikmati kehidupannya yang bahagia. Di usia yang seujung jagung itu. Tapi tidak bagi terpelajar Minke. Ia tahu itu keputusan yang tidak sembarang dibuat olehnya.

Tinggal di Rumah Wonokromo, Buitenzorg Surabaya bersama keluarga Nyai. Nampaknya membuat kakak Annelis tidak begitu senang akan kehadirannya tersebut. Robert Mellema ialah kakak yang pernah memperkosa Annelis saat di kebun kala itu, dan ia pun menaruh dendam untuk bisa membunuh Minke melalui tangan Celurit Darsam (bodyguard Nyai Ontosoroh). 

Mengetahui niat buruk Robert tersebut pada Tuan Muda Minke. Darsam pun marah besar dan ingin sekali menebas leher Robert Mellema. Sebab, Darsam sudah mengangkat sumpah akan membinasakan siapapun yang berani mengganggu ketenangan dan merebut kebahagiaan Nyai juga putrinya itu.

Sejak itu, Robert tidak kembali lagi ke rumah dan menetap di rumah plesir Abah Tjong (Penjual Jasa Seks sebelah rumahnya). Yang mana ternyata ia bersama Ayahnya, Mr. Mellema. Pada suatu hari ditemukan Ayahnya wafat karena penyakit seksual yang mengidapnya. Kematiannya pun memberikan perasaan was-was bagi Nyai. 

Sebab permikahannya yang tidak resmi. Mr. Mellema ialah orang yang cerdas dan sangat berwibawa kala itu, menjadi guru pribadi Nyai yang tidak sekolah. Kemudian ia mendadak hilang kepribadiannya secara permanen saat didatangi oleh Anak Kandungnya dari Netherland yang menuding dirinya tidak bertanggungjawab atas Nasib Ibu dan Anaknya tersebut. Mr. Mellema pun menjadi Gila dan tidak waras atas peristiwa tersebut. 

6 bulan lebih atas kematiannya. Ir. Maurits Mellema (Putra Kandung Mr. Mellema), melakukan gugatan hak waris di Pengadilan Negeri yang berhaluan Eropa kala itu. Nyai ontosoroh yang sngat kokoh pribadinya itu tidak akan sanggup menghadapi gugatan Hak Waris yang menantangnya itu. 

Yang bisa menghadapinya untuk gugatan Waris ialah Robert Mellema dan Annelis Mellema saja. Mengingat pertalian darah yang ada pada mereka bertiga. Tidak tepat kiranya pada Nyai Ontosoroh karena ia hanya seorang Gundik bagi Ayahnya, Mr. Mellema. Hukum Belanda pun mengakui itu. 

Annelis yang berpedalaman rapuh tidak punya keberanian menghadapinya tanpa kegagahan Minke, suaminya. 

Pergelaran Sidang pertama digelar. Pertarungan antara Belanda dengan Pribumi (Minke dan Nyai Ontosoroh). 

Orang sudah bisa menebak. Segala keadilan yang diadilkan dalam sistem yang diciptakan kolonial, mestilah selalu merugikan pribumi. Tidak boleh tidak. Hakim pun menjadi subjektif, hilang objektifitas kehakimannya dan cenderung pada Ir. Maurits Mellema membela kepentingannya dan kepentingan status sosial keunggulan Eropa atas Pribumi. Semua mesti membuktikan kesalahan Pribumi. Dan hanya Pribumi saja yang boleh disalahkan dan dilecehkan. Makhluk kelas rendahan. Pikirnya.

Robert tidak muncul karena takut atas Darsam yang akan menebasnya. Sang Nyai dan Minke sajalah yang keras menolak pelecehan kemanusiaan dalam mahkamah mencari keadilan. Nyai yang kokoh kepribadiannya itu pun, mengalami kegentaran juga menghadapi tekanan - tekanan dari pengadilan dan pemberitaan media yang tidak berpihak pada pribumi. 

Minke yang seorang terpelajar sejaligus jurnalis dengan nama Max Havelaarnya pun. Punya keyakinan. Pribumi pun bisa melawan. Kita akan lawan Ma, sekuat yang kita mampu. Segala risiko baik buruk Minke siap menanggungnya. Ia ingat kata-kata gurunya saat di H.B.S. Seorang terpelajar, haruslah sudah adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatannya. Mengingat hal itu, Minke. Melakukan tanding opini yang berimbang, informasi yang begitu keji terus beredar merendahkan martabat keluarga Nyai dan Keluarga Ayahandanya selaku Bupati B. Yang mengatakan Anak Bupati B menikahi perempuan di bawah umur menurut hukum Belanda. Tapi benar secara Islam dan Adat.

Putusan sidang Pun keluar. Annelis dipaksa ambil alih asuh oleh kakak kandungnya sendiri. Ir. Maurits Mellema dan menolak hukum Islam dan adat. Tidak mengakui Minke sebagai suaminya Annelis. Secara tidak langsung. Ir. Maurit ingin mengambil seluruh harta milik Ayahnya yang sebenarnya ialah buah kerja keras Nyai dan Annelis saja. Tidak Robert juga tidak Mr. Mellema yang hilang. 

2 tahun lamanya. Annelis mesti diasuh di Belanda menurut putusan Sidang Pengadilan. Nyai ontosoroh tidak memiliki hak sedikitpun, karena berstatus hanya seorang Gundik / wanita simpanan. Sebab, watak Iblis Ir. Maurits tersebut, tidak sampai 3 bulan. Annelis dikabarkan meninggal dunia karena sakit parah di sebuah tempat penitipan, bukan rumah Ir. Maurits Mellema selaku kakak kandungnya sendiri yang dalam putusan sidang bersedia menjaganya lahir batin sebagai pengganti Ayah Kandungnya sendiri. Minke pun marah besar pada Eropa juga seluruh keturunannya sampai Kiamat tiba.

                                    0o-dw-o0

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun