Mohon tunggu...
Mey Liasta Trihastina
Mey Liasta Trihastina Mohon Tunggu... Lainnya - Education

Pendidikan Sains Matematika Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Belajar Filsafat: Penerapan Filsafat, Ideologi, Paradigma dan Teori dalam PBM Matematika

15 November 2024   11:03 Diperbarui: 15 November 2024   11:55 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Filsafat Pendidikan dalam PBM Matematika

Matematika merupakan suatu pengetahuan yang kebenarannya mutlak, yang berarti tidak diragukan kebenarannya. Pandangan ini terbalik dengan fallibilist yang memandang bahwa kebenaran matematika itu tidak mutlak (Ernest, 1991). Hubungan antara filsafat dengan matematika saling berkaitan satu sama lain. (Gayatri, 2022). Ada beberapa alasan yang menguatkan penyataan tersebut. Pertama, matematika dan filsafat sama-sama lahir di tempat yang sama, yaitu di Yunani. Selain itu, keduanya merupakan aspek intelektual pertama yang untuk memahami dunia di sekitar kita. Kedua, matematika merupakan suatu kasus penting bagi seorang filsuf. Hal ini dikarenakan banyak filsuf terdahulu yang fokus pada matematika dalam agenda filosogi kontemporer. Ketiga, matematika dan filsafat saling berkaitan pada epistimologi ilmu pengetahuan (Wahyudin, 2014).

Matematika berperan penting hampir setiap upaya ilmiah yang ditunjukkan kepada pemahaman dunia materi. Matematika tidak lagi digunakan sebagai studi kasus bagi sains empiris ketika kemunduran rasionalisme. Meskipun demikian, sains yang menggantikan matematika sehingga dapat disimpulkan bahwa sains menggunakan matematika. Pandangan filsafat, matematika adalah suatu alat utama untuk memahami dunia (Wahyudin, 2014). Filsafat berasal dari kata Yunani philosophia, yang berarti hikmah, pengetahuan, dan kebijaksanaan. Filsafat disebut juga mater scientiarum, yang berarti ibu dari segala ilmu. Pembahasan dapat disajikan dalam bentuk grafik, tabel, atau deskriptif. Analisi dan interpretasi kondisi empiris atas permasalahan yang dibahas dalam karya ilmiah dilakukan sebelum pembahasan. (Sesady, 2019). Tujuan dari filsafat adalah untuk memberikan prinsip-prinsip pertama untuk bidang-bidang keilmuan tertentu, seperti matematika. Peran filsafat adalah untuk memberikan penjelasan yang koheran tentang suatu keilmuan tertentu (Wahyudin,2014).Selain itu, filsafat berperan penting dalam memecahkan permasalahan dalam dunia pendidikan (Gayatri, 2022).

Filsafat pendidikan menjadi dasar dalam menentukan bagaimana proses pembelajaran seharusnya dilakukan. Dalam konteks matematika, beberapa aliran filsafat yang relevan meliputi:

a. Realisme

Realisme berpendapat bahwa matematika adalah representasi dari realitas objektif. Pembelajaran matematika dalam konteks ini berfokus pada penguasaan konsep-konsep abstrak yang bersifat tetap dan tidak berubah. Guru yang menganut realisme akan memprioritaskan pemahaman konsep fundamental secara struktural dan sistematis. Pengetahuan di dalam dunia pendidikan tidak hanya terletak pada objek saja tetapi juga pada subjeknya. Pada prinsipnya realisme memandang hakikat wujud/nyata/realitas terdiri atas dunia fisik dan rohani (dualitas). Realisme di dalam dunia pendidikan memiliki prinsip dan tujuan untuk memberikan perhatian kepada peserta didik yang apa adanya, untuk menyesuaikan hidup dan tanggung jawab sosial. Realisme sangat memandang dalam sebuah pendidikan, karna realisme sendiri memiliki memiliki tujuan didalam pendidikan yaitu dengan mengembangkan kemampuan intelektual, dan ingin memfokuskan pendidikan pada pencarian kebenaran melalui persamaan terhadap dunia fisik atau informasi yang berubah-ubah. Agar dapat mengatasi situasi terkini dengan membekali kemampuan agar dapat memecahkan masalah yang ada saat ini.

Konsep Pendidikan Realisme

Berdasarkan aliran realisme, maka tujuan pendidikan akan dirumusakan sebagai upaya pengembangan potensi-potensi yang ada dan dimiliki oleh peserta didik untuk menjadi seoptimal mungkin. Menurut Realisme, yang dimaksud dengan hakikat kenyataan itu berada pada "hal" atau "benda". Jadi, bukan sesuatu yang terlepas atau dilepaskan dari pemiliknya. Oleh karena itu, wajar bila yang menjadi perhatian pertama dalam pendidikan adalah apa yang ada pada peserta didik .

Tujuan Pendidikan

Tujuan-tujuan pendidikan dalam aliran realisme adalah dapat menyesuaikan diri secara tapat dalam hidup dan dapat melaksanakan tanggung jawab sosial.

Prinsip-Prinsip Pendidikan Realisme

  1. Belajar pada dasarnya mengutamakan perhatian pada peserta didik seperti apa adanya.
  2. Inisiatif dalam pendidikan harus ditekankan pada pendidik bukan pada anak.
  3. Inti dari proses pendidikan adalah asimilasi dari subjek mater yang telah ditentukan. Kurikulum diorganisasikan dan direncanakan dengan pasti oleh guru. Secara luas lingkungan materiil dan sosial, manusia yang menentukan bagaimana seharusnya ia hidup.

Isi Pendidikan atau Kurikulum

  1. Kurikulum komprehensif yang berisi semua pengetahuan yang berguna bagi penyesuaian diri dalam idup dan tanggung jawab sosial.
  2. Kurikulum berisi unsur-unsur pendidikan liberal/pendidikan umum untuk mengembangkan kemampuan berfikir dan pendidikan praktis untuk kepentingan bekerja.
  3. Semua kegiatan belajar berdasarkan pengalaman baik langsung maupun tidak langsung.
  4. Metode mengajar hendaknya bersifat logis, bertahap atau berurutan.
  5. Pembiasaan merupakan sebuah metode pokok yang dipergunakan baik oleh kalangan penganut realisme maupun behaviorisme.

Peranan Peserta Didik dan Pendidik

  1. Dalam hubungannya dengan pengajaran, peranan peserta didik adalah penguasaan pengetahuan adalah yang dapat berubah-ubah.
  2. Dalam hubungannya dengan disiplin, tata cara yang baik sangat penting dalam belajar. Peserta didik perlu mempunyai disiplin mental dan moral untuk setiap tingkat kebajikan.
  3. Peranan pendidik adalah menguasai pengetahuan, keterampilan teknik-teknik pendidikan dengan kewenangan untuk mencapai hasil pendidikan yang dibebankan padanya.

b. Konstruktivisme

Menurut konstruktivisme, pengetahuan dibangun oleh siswa berdasarkan interaksi mereka dengan dunia nyata. Dalam pembelajaran matematika, pendekatan ini mendorong penggunaan aktivitas yang melibatkan siswa untuk menemukan konsep-konsep matematika secara mandiri. Dalam konstruktivisme, pembelajaran bukanlah proses mentransfer ilmu, namun harus dibangun (constructed) sendiri oleh peserta didik. Dengan demikian, pusat pembelajaran harus dapat dilakukan secara mandiri oleh peserta didik. Guru atau pendidik dalam konstruktivisme hanya berperan sebagai fasilitator saja. Ini sebabnya, teori belajar ini melahirkan banyak pendekatan, model, dan metode pembelajaran yang berbasis student-centered atau berpusat pada siswa. Konstruktivisme sendiri merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan merupakan hasil konstruksi (bentukan). Dalam sudut pandang konstruktivisme, pengetahuan merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif dari kenyataan yang terjadi melalui aktivitas seseorang. Konstruktivisme ingin memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk belajar menemukan sendiri kompetensi dan pengetahuannya, guna mengembangkan kemampuan yang sudah ada pada dirinya. Dalam proses belajar mengajar, guru tidak hanya memindahkan pengetahuan kepada peserta didik dalam bentuk yang sempurna. Dengan kata lain, peserta didik harus membangun suatu pengetahuan itu berdasarkan pengalamannya masing-masing. Lalu bagaimana aplikasinya dalam dunia pendidikan? Seperti apa prinsip yang diusung, dan bagaimana kita membedakan teori belajar ini dari teori belajar lainnya? Berikut adalah berbagai uraian yang akan menjawab berbagai pertanyaan tersebut.

Pengertian Teori Belajar Konstruktivisme

Konstruktivisme adalah teori belajar yang mengusung pembangunan kompetensi, pengetahuan, atau keterampilan secara mandiri oleh peserta didik yang difasilitasi oleh pendidik melalui berbagai rancangan pembelajaran dan tindakan yang diperlukan untuk menghasilkan perubahan yang dibutuhkan pada peserta didik. Menurut Thobroni & Mustofa (2015, hlm. 107) Teori konstruktivisme memberikan keaktifan terhadap manusia untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan dirinya. Artinya, belajar dalam pandangan konstruktivisme betul-betul menjadi usaha aktif individu dalam mengonstruksi makna tentang sesuatu yang dipelajari. Sementara itu, Yaumi & Hum (2017, hlm. 42) meungungkapkan bahwa konstruktivisme mengasumsikan bahwa siswa datang ke ruang kelas dengan membawa ide-ide, keyakinan, dan pandangan yang perlu diubah atau dimodifikasi oleh seorang guru yang memfasilitasi perubahan ini, dengan merancang tugas dan pertanyaan yang menantang seperti membuat dilema untuk diselesaikan oleh peserta didik. Dalam hal ini, meskipun guru tidak melakukan transfer ilmu, guru harus tetap melakukan tindakan-tindakan yang akan memfasilitasi terbangunnya perubahan positif terhadap pada siswa. Sehingga siswa dapat membangun suatu pengetahuan, keterampilan, atau afeksi positif yang sesuai dengan tujuan pembelajaran. Selanjutnya, Mudlofir & Fatimatur (2017, hlm. 12-13) menjelaskan bahwa dalam konstruktivisme, belajar lebih diarahkan pada experimental learning, yaitu adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkret di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Oleh karena itu, aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pembelajar. Pembelajaran menurut teori belajar konstruktivistik lebih menekankan kepada proses dalam pembelajaran. Berdasarkan keterangan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa konstruktivisme adalah teori belajar yang memberikan kebebasan kepada siswa untuk aktif belajar menemukan sendiri kompetensi dan pengetahuannya guna mengembangkan kemampuan yang sudah ada pada dirinya untuk diubah atau dimodifikasi oleh guru yang memfasilitasi, dengan merancang berbagai tugas, pertanyaan, atau tindakan lain yang memancing rasa penasaran siswa untuk menyelesaikannya.

Proses Mengonstruksi

Menurut Piaget (Dahar, 2011: 159) secara garis besar penekanan teori konstruktivisme terletak pada proses untuk menemukan sebuah teori atau pengetahuan yang ditemukan dan dibangun atas realita dilapangan. Singkatnya, proses mengonstruksi adalah yang utama. Proses mengkonstruksi sendiri, sebagaimana dijelaskan oleh Jean Piaget adalah sebagai berikut.

  1. Skemata, merupakan sekumpulan konsep yang digunakan untuk berinteraksi dengan lingkungan.
  2. Asimilasi, merupakam proses dimana seseorang menginterpretasikan dan mengintegrasikan persepsi.
  3. Akomodasi, merupakan proses sesorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang dimilikinya.
  4. Keseimbangan, merupakan dimana terjadinya proses Ekuilibrasi (keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi) dan diskuilibrasi (tidak seimbangnya antara asimilasi dengan akomodasi).

Tujuan Konstruktivisme

Perubahan menjadi suatu keharusan dalam proses belajar, terutama dalam hal konsep. Perubahan tersebut berupa asimilasi untuk tahap pertama dan tahap kedua yang disebut akomodasi. Dengan asimilasi, siswa menggunakan konsep-konsep yang telah mereka miliki untuk berhadapan dengan fenomena baru. Sementara dengan akomodasi siswa mengubah konsepnya yang sudah tidak cocok dengan fenomena baru yang muncul. Jadi, perubahan tetap menjadi tujuan utama bahkan dalam ranah teori konstruktivisme sekali pun.

Selanjutnya, menurut Thobroni (2017, hlm. 95) tujuan teori konstruktivisme adalah sebagai berikut.

  1. Mengembangkan Kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaan.
  2. Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian pemahaman konsep secara lengkap.
  3. Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri, lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.

Ciri-Ciri Pembelajaran Konstruktivisme

Ciri-ciri pembelajaran yang menerapkan teori kontruktivisme adalah sebagai berikut.

  1. Memberi kesempatan kepada murid membina pengetahuan baru melalui penglibatan dalam dunia sebenar
  2. Menggalakkan ide/gagasan yang dimulai oleh murid dan menggunakannya sebagai panduan merancang pengajaran.
  3. Menyokong pembelajaran secara koperatif Menampilkan sikap dan pembawaan murid d. Menampilkan bagaimana murid belajar sesuatu ide.
  4. Menggalangkan dan menerima daya usaha murid.
  5. Menggalangkan murid bertanya dan berdialog dengan murid dan guru.
  6. Menganggap pembelajaran sebagai suatu proses yang sama penting dengan hasil pembelajaran.
  7. Menggalangkan proses inkuiri murid melalui kajian dan eksperimen.

Selanjutnya, berdasarkan pendapat Suderadjat (dalam Sutadi, 2007, hlm. 133), pembelajaran kontruktivisme mempunyai sejumlah ciri-ciri sebagai berikut.

  1. Cara atas-bawah ialah peserta didik dimulai dengan pelatihan mengatasi permasalahan yang saling berhubungan selama digali jalan keluarnya dan dibantu pendidik untuk diselesaikan mengikuti implementasi (KD) yang dipakai.
  2. Pembelajaran cooperative learning, bentuk konstruktivisme menerapkan pelatihan cooperative. Dengan begitu, peserta didik mampu menguasai konsepsi yang sukar didiskusikan dengan kelompoknya.
  3. Pembelajaran generatif dipakai untuk strategi konsruktivisme. Pendekatan ini memberi tahu bahwa peserta didik di tuntut untuk menggunakan pendekatan secara khusus supaya menyelesaikan peranan intelektual dengan menunjang arahan terbaru.
  4. Pembelajaran lewat cara menemukan. Peserta didik diharap melakukan pelatihan secara bersungguh-sungguh, mandiri, dan melaksanakan setiap teknik keterampilan konsepsi supaya pelajar mampu mendapatkan rancangan terbaru.
  5. Pembelajaran lewat pengaruh karakter. Strategi konstruktivisme memiliki pandangan bahwa peserta didik merupakan wujud yang idealis, maksudnya pribadi yang dapat mengontrol perasaannya.
  6. Scaffolding didasari teknik Vygotsky mengenai pelatihan dengan bimbingan pendidik.

Karakteristik Pembelajaran Konstruktivisme

Sementara itu, Driver and Bell (dalam Suyono & Hariyanto, 2014, hlm. 106) mengemukakan bahwa karakteristik pembelajaran konstruktivisme sebagai berikut.

  1. siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan,
  2. belajar harus mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa,
  3. pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar, melainkan dikonstruksi secara personal,
  4. pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi lingkungan belajar,
  5. kurikulum bukanlah sekadar hal yang dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi dan sumber.

Kelebihan Konstruktivisme

Menurut Riyanto (2010, hlm. 157) kelebihan konstruktivisme antara lain adalah sebagai berikut.

  1. Memotivasi peserta didik bahwa belajar adalah tanggung jawab peserta didik itu sendiri guna mendapatkan ilmu pengetahuan dan wawasan baru.
  2. Mengembangkan potensi kemampuan peserta didik untuk mengajukan pertanyaan dan mencari jawabannya sendiri.
  3. Membantu peserta didik untuk mengembangkan potensi mengenai pengertian atau pemahaman konsep secara menyeluruh dan lengkap.
  4. Mengembangkan potensi kemampuan peserta didik untuk menjadi pemikir yang mandiri dan kreatif.

Kelemahan Pendekatan Konstruktivisme

Selanjutnya, masih menurut Riyanto (2010, hlm. 157) kelemahan dari pendekatan konstruktivisme adalah sebagai berikut.

  1. Sukar mengalihkan pendekatan kuno yang sudah diajarkan dengan kurun waktu lama oleh pendidik. Dengan begitu, pendidik yang menggunakan pendekatan konstruktivisme dituntut untuk lebih kreatif dalam perannya sebagai pendidik.
  2. Pemilihan media dalam pembelajaran.
  3. Pendidik, peserta didik, dan orangtua pasti mengutamakan penyesuaian pembelajaran dengan metode terbaru. Dengan begitu, simpulan yang didapat bahwa pelatihan mengarahkan pada konsep konstruktivisme dengan menitikberatkan keaktifan peserta didik untuk merefleksi pengetahuan mereka sendiri.

Prinsip Konstruktivisme

Terdapat sejumlah prinsip-prinsip yang dapat memandu penerapan konstruktivisme. Menurut Suyono & Hariyanto (2014, hlm. 107) prinsip-prinsip konstruktivisme adalah sebagai berikut.

  1. Belajar merupakan pencarian makna. Oleh sebab itu pembelajaran harus dimulai dengan isu-isu yang mengakomodasi siswa untuk secara aktif mengkonstruk makna.
  2. Pemaknaan memerlukan pemahaman bahwa keseluruhan (wholes) itu sama pentingnya seperti bagian-bagiannya. Sedangkan bagian -- bagian harus dipahami dalam konteks keseluruhan. Oleh karenanya, proses pembelajaran berfokus terutama pada konsep -- konsep primer dan bukan kepada fakta -- fakta yang terpisah.
  3. Supaya dapat mengajar dengan baik, guru harus memahami model -- model mental yang dipergunakan siswa terkait bagaimana cara pandang mereka tentang dunia serta asumsi -- asumsi yang disusun yang menunjang model mental tersebut.
  4. Tujuan pembelajaran adalah bagaimana setiap individu mengkonstruksi makna, tidak sekadar mengingat jawaban apa yang benar dan menolak makna milik orang lain. Karena pendidikan pada fitrahnya memang antardisiplin, satu -- satunya cara yang meyakinkan untuk mengukur hasil pembelajaran adalah melakukan penilaian terhadap bagian -- bagian dari proses pembelajaran, menjamin bahwa setiap siswa akan memperoleh informasi tentang kualitas pembelajarannya.

ercakapan tentang materi yang mereka pelajari. Ada tiga jenis kecenderungan tergantung bagaimana model pembelajaran konstruktivisme disajikan, antara lain: Model Konstruktivisme "Siklus Pembelajaran", tahapan; 1) Diskaveri, di mana para siswa didorong untuk membuat pertanyaan-pertanyaan terbuka maupun hipotesis-hipotesis; 2) Pengenalan Konsep; dalam hal ini guru mempertanyakan konsep-konsep yang berhubungan dengan topik itu; 3) Aplikasi Konsep; dengan menerapkan konsepkonsep yang dikemukakan tahap 1 & 2 serta boleh mengulangi tahapannya lagi; Model Konstruktivisme Gagnon & Collay; yang terdiri atas enam tahapan, yakni; 1) Situasi: gambarkan situasi tertentu yang berhubungan dengan tema/topik pembhs; 2) Pengelompokan: buat kelompok bisa berdasarkan no urut maupun campuran tingkat kecerdasannya; 3) Jembatan; memberikan suatu masalah sederhana/permainan/ teka-teki untuk dipecahkan; 4) Pertanyaan; buat pertanyan pembuka maupun kegiatan inti agar siswa tetap termotivasi untuk belajar lebih jauh; 5) Mendemonstrasikan:memajangkan/ memamerkan/menyajikan hasil kerja siswa di kelas; 6) Refleksi: merenungkan, menindak-lanjuti laporan kelompok yang dipresentasikan.

Dalam penggunaan konstruktifisme ada beberapa strategi yang perlu diperhatikan antara lain:

1) Process learning; siswa dibantu mengolah informasi menjadi pengetahuan bermakna. Hal ini sesuai dengan esensi konstruktivisme yaitu pengembangan potensi (kemampuan) siswa mengkonstruksi informasi menjadi pengetahuannya

2) Generative learning; semua pembelajaraan "ditemukan". Walau pengetahuan itu diajarkan guru kepada siswa, siswa harus dibantu agar bisa melakukan kerja mental terhadap informasi baru agar informasi itu menjadi kepunyaan siswa (Slavin,1994). Menurut Slavin, pembelajaran generatif dilakukan melalui metode khusus sehingga siswa dapat mengolah dan megembangkan konten menjadi informasi baru. Artinya, menurut Jonassen dan Wittrock, pembelajaran generatif adalah proses pembelajarn yang memberikan kesempatan kepada siswa mengkonstruksi sendiri hubungan yang berarti antara pengetahuan yang baru dipelajari siswa dan pengetahuan yang telah mereka kuasai (Kemp.at.al.,1994). Misalnya, siswa dilatih melakukan kegiatan generatif seperti membuat pertanyaan, meringkas dan melakukan analogi tentang suatu materi yang telah dibaca atau pelajaran yang telah diikutinya sehingga kegiatan generatif itu berkontribusi pada pembelajaran dan memori siswa (Slavin,1994)

Adapun implikasi teori konstruktivistik dalam pembelajaran adalah sebagai berikut :

1) Kurikulum disajikan mulai dari keseluruhan menuju ke bagian- bagian dan lebih mendekatkan kepada konsep-konsep yang lebih luas.

2)Pembelajaran lebih menghargai pada pemunculan pertanyaan dan ide-ide peserta didik.

3) Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada sumber- sumber data primer dan manipulasi bahan.

4) Peserta didik dipandang sebagai pemikir yang dapat memunculkan teori-teori tentang dirinya.

5) Pengukuran proses dan hasil belajar peserta didik terjalin di dalam kesatuan kegiatan pembelajaran, dengan cara guru mengamati hal- hal yang sedang dilakukan peserta didik, serta melalui tugas-tugas pekerjaan.

6) Peserta didik hanya belajar di dalam group proses

7) Memandang pengetahuan adalah non objektif, besifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu.

8) Belajar adalah penyusunan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah menata lingkungan agar peserta didik termotivasi dalam menggali makna.

Dapat disimpulkan bahwa pembelajaran konstruktivisme terarah pada pemberian kesempatan kepada siswa untuk menemukan, mengasimilasi dan mengaplikasi ide-ide sehingga siswa memiliki strategi untuk mentransfomasi konten kurikulum menjadi pengetahuan. Selain itu teori konstruktivistik mengemukan peserta didik adalah pembelajaran yang bebas yang dapat menentukan sendiri kebutuhan belajarnya. Berdasarkan hal tersebut maka implikasi teori konstruktivistik dapat dikaitkan dengan proses pembelajaran modern yaitu dengan berkembangnya pembelajaran menggunakan web (web learning) dan pembelajaran melalui social media (social media learning). Pembelajaran dengan memanfatkan social media dan web memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk berinteraksi, berkolaborasi, berbagi informasi dan pemikiran secara bersama. Model pembelajaran melalui web maupun social media akan memberikan kebebasan kepada peserta didik dalam dapat menentukan sendiri kebutuhan belajarnya. Sesuai dengan kurikulum merdeka yang sarat akan IT seperti yang sedang diterapkan pada saat sekarang dan dengan sendirinya menuntut kemampuan guru dalam penguasaan IT. Sesuai dengan pendapat Patilima (2002) menyatakan keberadaan sarana dan prasarana sangat menunjang terhadap keberhasilan implementasi penerapan kurikulum merdeka, terutama dalam ketersediaan alat-alat IT. Teori konstruktivisme ini digunakan dalam penerapan kurikulum merdeka, terutama terlihat pada program projek penguatan profi pancasila, dimana Projek penguatan profil pelajar Pancasila dilaksanakan dengan melatih peserta didik untuk menggali isu nyata di lingkungan sekitar dan berkolaborasi untuk memecahkan masalah tersebut. Dari sini dapat dilihat bahwa dalam proses pelaksanaan projek pemguatan pancasila peserta didik membentuk pengetahuan nya sendiri, menimbulkan ide-ide baru sesuai dengan topik yang ditentukan oleh guru, selain itu dalam proses pelaksanaan nya peserta didikan akan saling berinteraksi satu sama lainnya dalam berkolaboras menyatuhkan ide- ide yang dimiliki dalam menciptakan satu produk tertentu. Sesuai dengan pencanangan kurikulum merdeka belajar oleh Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) bahwa Kurikulum dengan pembelajaran intrakurikuler yang beragam dimana konten akan lebih optimal agar peserta didik memiliki cukup waktu untuk mendalami konsep dan menguatkan kompetensi (Buku Saku Kemendikbud, 2022). Lebih jauh, dalam kurikulum merdeka belajar, guru diberikan kebebasan untuk menentukan bahan ajar sehingga pembelajaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan minat peserta didik. Bahkan penguatan profil pelajar Pancasila dikembangkan dengan tidak diarahkan pada target capaian pembelajaran tertentu, sehingga tidak terikat dengan konten pembelajaran.

Ideologi dalam PBM Matematika

Ideologi pendidikan matematika adalah suatu sistem atau sekelompok keyakinan dan nilai-nilai yang bersifat mengikat dan digunakan sebagai landasan untuk mewujudkan tujuan Pendidikan matematika. Ideologi pendidikan matematika terdiri dari dua elemen yaitu elemen primer dan elemen sekunder. Salah satu pengagas ideologi pendidikan yang sangat berpengaruh, Paul  Ernest mengemukakan pembagian ideologi pendidikan menjadi ideologi radikal, ideologi konservatif, ideologi liberal, ideologi humanis, ideologi progresif, ideologi sosialis dan ideologi demokrasi (Marsigit, Syntesises on The Philosophical and Theoretical Ground of Mathematics Education., 2015).

Ideologi pendidikan menurut Paul Ernest dibagi menjadi 5 kolom berdasarkan paradigma dari zaman ke zaman. Ini meliputi Industrial Trainer, Technological Pragmatism, Old Humanism, Prograssive Educator, dan Public Educator.

a.Industrial Trainer

Aliran industrial trainer berpendapat bahwa matematika adalah jenis keilmuan yang netral dan tetap. Matematika memiliki batas-batas yang ketat dengan bidang lain seperti nilai-nilai prinsip sosial. Karena dianggap dapat merusak kenetralan dan objektivitas ilmu matematika, masalah sosial tidak dibahas dalam ilmu matematika. ideologi ini tidak menyadari adanya keberagaman sosial kecuali keberagaman kemampuan matematika yang dimiliki siswa.

Aliran industrial trainer berkisar pada keyakinan bahwa semua tindakan didorong oleh kepentingan industri. Aliran ini menekankan pada matematika dan keterkaitan antara pendidikan dan dunia industri. Tujuan utama pendidikan adalah memfasilitasi generasi muda untuk siap bertransisi ke dunia kerja. Harapannya adalah agar siswa bersekolah guna memperoleh keterampilan membaca, berhitung, dan pengetahuan ilmiah, yang akan mempersiapkan mereka memasuki dunia kerja.

Maka dari itu, pembelajaran dapat diartikan sebagai proses "bekerja", mirip dengan cara tenaga kerja bekerja keras setiap hari. Setiap pelajaran melibatkan pekerjaan dengan pensil dan kertas, latihan, dan hafalan. Anak-anak harus dididik tentang arti "usaha" dalam proses belajar. Anak-anak tidak diizinkan untuk belajar dengan minat mereka. Selain itu, dalam proses belajar, pendekatan otoriter yang ketat dalam pengajaran diterapkan oleh para pendidik yang memprioritaskan kepatuhan terhadap norma-norma disiplin dan kurikulum yang berpusat pada pengetahuan. Fokus utama pengajaran adalah untuk memberikan pemahaman matematika yang komprehensif. Sehingga, pada aliran ini, guru hanya menerapkan metode ceramah dan siswa pasif selama pembelajaran karena siswa dianggap sebagai bejana kosong yang harus diisi berbagai materi matematika oleh guru.

Lebih lanjut, dalam aliran ini tes berfungsi untuk memperoleh kemampuan matematika siswa, memastikan topik siswa, dan memastikan bahwa tugas sekolah formal telah diselesaikan. Akibatnya, kegagalan dalam ujian dianggap sebagai kelalaian moral atau kegagalan penerapan diri. Selain itu, kegiatan diskusi dan kerjasama sangat dilarang karena menghasilkan aksi menyontek di mana siswa mudah mendapatkan jawaban tanpa bekerja keras. Jadi "kompetisi" adalah motivasi terbaik dalam aliran ini.

b. Pragmatism

Aliran technological pragmatism merupakan kelompok modern yang turun dari industrial trainer. Misi dari kelompok ini adalah mempromosikan ideologi versi modern dengan tujuan utilitarian yaitu asas kemanfaatan. Aliran technological pragmatist memandang inti sains dan filsafat matematika sebagai science of truth. Menurut ideologi ini, pengetahuan mudah diakses, seperti alat praktis. Matematika, khususnya, dianggap mutlak dan tetap, tidak dapat diubah namun dapat diterapkan. Oleh karena itu, filsafat matematika mewujudkan absolutisme yang tidak dapat disangkal. Kebenaran sains terletak pada sifat empiris dan rasionalnya, itulah sebabnya rasionalisme dan empirisme saling terkait erat.

Dalam aliran ini, pembelajaran matematika harus diajarkan melalui pengalaman praktis. Pengalaman sangat penting bagi kemampuan siswa untuk menguasai pengetahuan dan keterampilan matematika. Seperti halnya keterampilan berenang, siswa tidak akan mampu berenang hanya dengan melihat temannya. Mereka akan mampu berenang hanya dengan mempraktekannya secara langsung. Siswa diharapkan mendapatkan pengalaman praktis dengan menggunakan sumber belajar, seperti komputer dan berinteraksi dengan media lainnya seperti video, karena keterampilan IT sangat penting.

Dalam kerangka ini, tujuan pendidikan matematika didukung oleh tiga elemen kunci yaitu:

1. Membekali siswa dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan dalam matematika yang dapat diterapkan dalam dunia profesional.

2. Mensertifikasi prestasi siswa untuk membantu proses melamar pekerjaan.

3. Menumbuhkan kemahiran dalam keterampilan teknologi maju.

c. Old Humanist

Aliran old humanist, memiliki pandangan yang berpusat pada diri manusia. Dalam aliran ini, matematika dipandang sebagai structure of truth (struktur kebenaran). Tujuan pendidikan adalah mentransmisi pengetahuan matematika dengan budaya dan nilai lama. Aliran ini berkeyakinan bahwa pembelajaran yang dilakukan harus mampu membentuk karakter siswa sehingga kedepannya siswa mempunyai karakter yang baik selain menjadi ahli di bidang matematika.

Pembelajaran pada aliran ini menekankan pada pemahaman konsep matematika. Menerima dan memahami tubuh keilmuan matematika yang sangat terstruktur serta gaya pemikiran yang terkait adalah cara belajar matematika. Peranan guru adalah menjelaskan struktur ilmu matematika. Peningkatan pembelajaran matematika dapat dilakukan melalui soal-soal dan aktivitas tambahan, serta mengadaptasi pendekatan buku teks yang terstruktur. Namun pembelajaran yang dilakukan guru dalam aliran ini masih dalam metode ceramah.

d. Progressive Educator

Aliran progressive educator memiliki politik yang bebas bias dan terdorong untuk terus bergerak maju, mengupayakan transformasi yang progresif dan cepat. Dalam konteks ini, matematika dipandang sebagai process of thinking (proses berpikir). Progressive educator memahami bahwa siswa adalah makhluk sosial yang dinamis dan mudah bergaul. Oleh karena itu, pembelajaran harus selalu berpusat pada siswa itu sendiri (students centered) dan berhubungan dengan situasi nyata yang dialami siswa.

Dalam pembelajaran matematika, teori pembelajarannya adalah eksplorasi dan teori pengajarannya adalah konstruktivis. Maka dari itu, penting untuk menciptakan lingkungan yang mendorong pertumbuhan dan perkembangan siswa. Guru bertanggung jawab untuk menjaga lingkungan kelas dan sumber belajar tanpa mengganggu dan mengancam munculnya sikap negatif siswa. Kelas harus ditempatkan menjadi lingkungan yang kaya dengan peralatan yang terorganisir yang dimaksudkan untuk membantu siswa memahami konsep matematika dengan lebih baik. Siswa terlibat secara aktif berbagai aktivitas seperti penyelidikan, penemuan, bermain, diskusi, dan upaya kolaboratif. Selain itu, siswa berinisiatif untuk mengembangkan diri secara mandiri dan mengeksplorasi hubungan-hubungan yang mengarah pada terciptanya hasil belajar matematika.

Berdasarkan kriteria informal yang ditetapkan oleh guru, penilaian tidak dilakukan untuk menakutkan siswa atau menghambat kemajuan mereka. Penilaian tidak dilakukan untuk membuat siswa gagal setelah ujian karena menjawab soal secara salah. Sebaliknya, jawaban yang salah dapat diperbaiki dengan cara yang tidak menyakiti hati siswa.

e. Public Educator

Aliran public educator menganut ideologi demokrasi. Pendidikan dapat diakses oleh semua individu dengan tujuan untuk menawarkan peluang bagi pertumbuhan pribadi dan masyarakat. Masyarakat ideal yang dianggap terbaik adalah masyarakat demokratis. Namun di manakah sebenarnya masyarakat terbaik ini? Jawabannya terletak pada kenyataan bahwa hal ini memberikan kesempatan yang sama bagi semua orang, tidak mengakui atau memvalidasi stratifikasi sosial.

Dalam aliran ini, siswa harus dididik untuk memahami, menilai, dan menerapkan matematika dalam masyarakat, khususnya pada penyelesaian tantangan baru atau situasi penting dalam kehidupan pribadi, sosial, dan profesional mereka. Dalam pembelajaran, partisipasi aktif siswa dan integrasi kegiatan sosial di lingkungan ditekankan sebagai faktor kunci dalam mencapai pendidikan. Teori-teori pembelajaran dieksplorasi, dan siswa diberikan otonomi berdasarkan kemampuan individu mereka.

Lebih lanjut, berikut akan ditampilkan dua ideologi lainnya, terkhusus dalam pendidikan matematika.

a. Pendidikan Matematika Berbasis Learning Trajectory

Learning Trajectory adalah pembelajaran matematika dengan menggunakan sebuah lintasan dalam proses pembelajarannya. Lintasan yang dimaksud adalah alur belajar peserta didik yang telah dibuat oleh guru sebelumnya sebagai Hypotetical Learning Trajectory. Guru membuat Hypotetical Learning Trajectory siswa sebelum memulai proses pembelajaran. Hypotetical Learning Trajectory ini terdiri dari tiga bagian: tujuan pembelajaran yang menentukan arah pembelajaran, aktivitas belajar, dan hipotesis proses, yang merupakan prediksi tentang bagaimana pemikiran dan pemahaman peserta didik akan berkembang selama kegiatan pembelajaran. Selain itu, pendidikan berbasis learning trajectory juga mengupayakan penanaman pendidikan karakter dalam kehidupan sehari-hari siswa.

Dengan menggunakan teori belajar konstruktivisme, learning trajectory memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun pengetahuan mereka sendiri. Guru berfungsi sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran, membimbing siswa dalam memperoleh pengetahuan melalui lintasan belajar yang telah dirancang oleh guru sebelumnya. Guru juga memperkirakan lintasan apa yang mungkin diikuti oleh siswa dan mempersiapkan perubahan untuk lintasan berikutnya.

b. Pendidikan Matematika Berbasis Karakter

Kurikulum matematika berbasis karakter berarti bahwa pendidikan matematika integrasi mata pelajaran atau melalui kegiatan ko-kurikuler dan ekstrakurikuler. Filosofinya adalah bahwa dengan belajar matematika, manusia dapat belajar tentang cara hidup yang baik, hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia, alam, bangsa, dan negara.

Pendidikan matematika berbasis karakter mengadopsi Progressive Educator dan Public Educator. Secara eksplisit implementasi pendidikan matematika berbasis karakter mendasarkan pada:

1. Pengetahuan matematika pada berbagai dimensinya, yang meliputi hakikat, pembenaran, dan kejadiannya.

2. Objek matematika pada berbagai dimensinya yang meliputi hakikat dan asal-usulnya.

3. Penggunaan matematika formal yang meliputi efektivitasnya dalam sains, teknologi, dan ilmu lainnya.

4. Praktik matematika pada berbagai dimensi secara lebih umum termasuk aktivitas para matematikawan atau aktivitas matematika para siswa.

           Pendidikan matematika berbasis karakter memandang ilmu pengetahuan sebagai proses berpikir, bersikap, dan berbuat atau dalam filosofi Ki Hadjar Dewantara disebut sebagai konsep "ngerti", "ngroso", dan "nglakoni". Matematika sebagai salah satu mata pelajaran wajib diharapkan tidak hanya membekali siswa dengan kemampuan untuk menggunakan perhitungan atau rumus dalam mengerjakan soal tes saja akan tetapi juga mampu melibatkan kemampuan, sikap, dan keterampilan bernalar dan analitisnya dalam memecahkan masalah sehari-hari.

2.3 Paradigma dalam PBM Matematika

Paradigma pendidikan adalah kerangka berpikir yang digunakan untuk memahami dan mengimplementasikan proses belajar-mengajar. Beberapa paradigma yang dapat diterapkan dalam PBM matematika adalah:

a. Paradigma Behavioristik

Mengutamakan pengulangan dan reinforcement (penguatan) sebagai cara untuk mempelajari konsep matematika. Siswa belajar melalui latihan-latihan yang berulang, dan hasil belajar diukur melalui tes dan evaluasi yang terstruktur.

b. Paradigma Konstruktivistik

Mengedepankan pembelajaran aktif di mana siswa memainkan peran sentral dalam proses belajar. Paradigma ini menekankan pentingnya diskusi, eksplorasi, dan penemuan dalam mempelajari konsep matematika. Teori Belajar dalam PBM Matematika

Teori belajar memberikan panduan dalam mengembangkan metode pembelajaran yang efektif. Beberapa teori yang berpengaruh dalam PBM matematika meliputi:

a. Teori Behaviorisme

Teori behaviorisme atau behavioristik adalah salah satu pendekatan di dalam psikologi pendidikan. Pendekatan tersebut meyakini bahwa anak dapat dibentuk sesuai dengan apa yang diinginkan oleh orang yang membentuknya baik guru ataupun orang tua. Aliaran behaviorisme menyatakan bahwa perilaku manusia dikelompokkan dalam dua kategori besar, yaitu:

  1. Perilaku yang terbuka, yang dapat diukur secara objektif, seperti ilmu perilaku, rangsangan, kebiasaan, dan hasil belajar; dan
  2. Perilaku yang tertutup, dipelajari melalui gerakan otot tubuh, proses berpikir dan perasaan. Inti dari pendekatan behaviorisme ialah bahwa kehidupan manusia dipengaruhi oleh stimulus-stimulus, respons, reward, dan hukuman.

    b. Teori KonstruktivismeMenekankan bahwa siswa harus membangun pengetahuan matematika mereka melalui pengalaman langsung. Pendekatan ini sering melibatkan penggunaan alat bantu visual dan manipulatif untuk membantu siswa memahami konsep abstrak.
     
    Teori Belajar Konstruktivisme Menurut Ahli
    Dalam teori Belajar Konstruktivisme, ada dua tokoh terkenal yang mengemukakan pendapatnya yaitu Piaget dan Vygotsky.
    Sebenarnya, antara Piaget dan Vygotsky ini sama-sama menganut aliran konstruktivisme, di mana dalam belajar siswa harus membangun sendiri pengetahuannya karena proses belajar datang dari dalam individu sendiri. Nah, yang membedakan keduanya adalah proses pengolahan informasinya.
    Menurut Piaget, ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan mempertahankan dan mengubah konsep awal yang sebelumnya sudah ada, sesuai struktur kognitif yang dimilikinya. Sebab itu, pendapat Piaget ini dikenal dengan Konstruktivisme Kognitif.
    Sementara bagi Vygotsky yang mengemukakan Konstruktivisme Sosial, perkembangan pembelajaran anak dipengaruhi oleh lingkungan sosial yang berhubungan dengan budaya. Jadi, setiap anak berkembang dalam konteks kebudayaannya sendiri, termasuk budaya dari lingkungan keluarga di mana dia tumbuh.
    Pentingnya Penerapan Teori Belajar Konstruktivisme
    Kalau sudah mengetahui pengertian teori Belajar Konstruktivisme, sekarang apa sih sebenarnya hal yang membedakan teori ini dengan yang lainnya? Kenapa teori ini bisa jadi salah satu alternatif dalam pembelajaran?
    Iya, lewat teori Belajar Konstruktivisme, pembelajaran tidak berfokus ke guru melainkan menuntut siswa untuk lebih aktif dan kreatif. Di sini, kita berperan untuk membantu menyediakan situasi dan umpan balik situasi agar proses pembentukan pengetahuan berjalan lancar, serta mencari dan menilai pendapat siswa.
    Contoh kegiatan pembelajarannya seperti ini Bapak dan Ibu Guru. Minta siswa untuk mengajukan pertanyaan mereka sendiri dan mencari jawaban atas pertanyaannya lewat penelitian dan pengamatan langsung.
    Dari kegiatan ini, siswa akan menarik hubungan antara pengetahuan yang sudah ada sebelumnya dengan pengetahuan baru yang diperoleh. Akhirnya, mereka bisa menarik kesimpulan, mendapatkan informasi baru, dan mengembangkan rencana untuk penyelidikan selanjutnya.
    Pembelajaran konstruktif memberikan kesempatan bagi siswa untuk menyampaikan gagasan dan menjelaskannya menggunakan bahasanya sendiri. Jadi, siswa bisa lebih berani untuk membagikan apa yang ada dipikirannya.
    Karena dalam proses belajar siswa berpikir tentang pengalamannya, hal ini memgembangkan kemampuan mereka untuk lebih kreatif dan imajinatif, serta memperluas gambaran mereka tentang teori dan konsep pengetahuan.
    Satu lagi yang tidak kalah penting, teori Belajar Konstruktivisme memberikan lingkungan belajar kondusif yang mendukung siswa mengungkapkan gagasan, serta saling menyimak dan memberikan masukan.
    Implementasi Pemikiran Konstruktivisme Dalam Pembelajaran Teori belajar konstruktivistik memahami belajar sebagai proses pembentukan (kontruksi) pengetahuan oleh peserta didik itu sendiri. Dimana pembentukan pengetahuan menuntut pesrta didik harus aktif selama proses kegiatan pembelajaran, aktif berpikir, menyusun kosep, dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari, tetapi yang paling menentukan terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar peserta didik itu sendiri. Sementara peranan guru dalam belajar konstruktivistik adalah membantu agar proses pengkonstruksian pengetahuan oleh peserta didik berjalan lancar. Guru tidak mentransfer pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu peserta didik untuk membentuk pengetahuannya sendiri dan dituntut untuk lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang peserta didik dalam belajar. Menurut teori belajar konstruktivisme pengetahuan tidak biasa dipindahkan begitu saja dari guru kepada murid. Artinya, peserta didik harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Sejalan dengan pendapat Herliani, dkk. (2021) juga menyampaikan bahwa pembelajaran konstruktivistik adalah pembelajaran yang lebih menekankan pada proses dan kebebasan dalam menggali pengetahuan serta upaya dalam mengkonstruksi pengalaman. Dalam proses belajarnya pun, memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga siswa menjadi lebih kreatif.
    c. Teori Socio-Kultural (Vygotsky)
    Sosiokultural adalah teori, pendekatan, atau perspektif yang menganggap sumber utama dari perilaku sosial bukan berasal dari dalam diri individu, melainkan dari kelompok sosial, lingkungan dan budaya yang menyelubunginya. Menekankan pentingnya interaksi sosial dalam pembelajaran. Dalam PBM matematika, siswa belajar melalui diskusi kelompok dan kolaborasi, serta mendapat dukungan dari guru atau teman sebaya. Bukan individu yang memiliki perilaku unik, melainkan keadaan sosial di sekitarnyalah yang membangun seorang individu sehingga memiliki perilaku tersebut. Oleh karena itu teori sosiokultural juga sering disebut sebagai teori konstruktivisme sosial.
    Lingkungan ini tidaklah terpaku pada alam benda atau lokasi seseorang tinggal saja. Justru berbagai asupan akal budinyalah yang akan memengaruhi perilaku seseorang. Misalnya, orang-orang yang tinggal di kawasan atau lingkungan tidak baik, kemungkinan akan menjadi tidak baik. Namun bisa saja ada satu atau dua orang di kawasan tersebut yang tidak ikut menjadi tidak baik karena ia lebih banyak mendapatkan asupan akal budi di luar tempat tinggalnya. Saat itu terjadi, ia bisa saja tidak mendapatkan pengaruh sama sekali dari lingkungan tempat tinggalnya yang tidak baik.
    Namun kelompok sosial dan budaya tetaplah membentuk perilaku orang yang tidak ikut-ikutan menjadi tidak baik di tempat tinggalnya tersebut. Berbagai pengaruh kelompok sosial, dan budaya itu bisa datang dari sekolah, media sosial, dan lingkungan sosial lain di mana orang tersebut lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bernaung.
    Dengan demikian persoalan kelompok sosial dan budaya ini tidak melulu mengenai di mana seseorang tinggal, melainkan harus dilihat juga riwayat hidupnya, apakah ia sehari-hari tinggal di kawasan tidak baik namun justru menghabiskan waktunya di luar atau lebih banyak bergaul dengan orang-orang di luar negeri lewat bantuan teknologi komunikasi.
    Persoalan teori sosiokultural ini juga telah banyak diaplikasikan pada berbagai bidang bahkan ilmu terapan seperti manajemen dan bisnis. Para ahli yang mengembangkan teori ini juga telah memberikan banyak pandangan dan perspektif dari berbagai sudut pandang. Berikut adalah beberapa pendapat para ahli mengenai teori sosiokultural.
    Sosiokultural Edward Alsworth Ross
    Teori sosiokultural berasal dari kajian sosiologi dan antropologi namun digunakan juga sebagai perspektif atau sudut pandang dalam kajian lain seperti psikologi (khususnya psikologi sosial) dan pendidikan untuk menjelaskan proses belajar dalam konteks sosial.
    Pada tahun 1908 lahir publikasi buku pertama dari dua buku yang berjudul "Social Psychology" yang ditulis oleh seorang sosiolog bernama Edward Alsworth Ross. Ross melihat bahwa sumber utama dari perilaku sosial bukan berasal dari dalam diri individu melainkan dari kelompok sosial. Ross berpendapat bahwa orang-orang sering kali terbawa arus sosial, seperti penyebaran emosi dalam sebuah kerumunan (crowd) atau epidemik emosi religius.
    Ross memberikan contoh seperti insiden the Dutch tulip craze di tahun 1634. Pada kejadian Tersebut, banyak orang menjual rumah dan tanahnya untuk membeli akar bunga tulip yang nilainya lebih mahal dari emas, namun akhirnya menjadi tidak berharga saat kegilaan (craze) ini berhenti (Kenrick dkk, 2002 dalam Maryam 2018, hlm. 18).
    Kejadian serupa pernah terjadi juga di Indonesia. Pada tahun 2000, ikan louhan dianggap pembawa berkah sehingga menyebabkan orang-orang berani membeli dengan harga yang sangat mahal. Bahkan ada orang yang membeli ikan tersebut dengan harga 25 juta rupiah. Harga itu tentunya sangat fantastis bagi masyarakat apalagi di tahun krisis moneter yang masih menghantui. Setelah orang-orang jenuh, sekitar akhir tahun 2003, ikan tersebut sudah tidak semahal itu lagi di pasaran. Seperti tulip di Belanda, ikan Louhan juga akhirnya mengalami koreksi harga.
    Untuk menjelaskan fenomena "kegilaan" di atas, Ross lebih melihat pada unsur kelompok sebagai keseluruhan daripada unsur psyche (jiwa) individual anggota kelompok. Ross melihat bahwa bahwa kegilaan (craze) dan mode (fads) sebagai produk dari "pikiran massa" (mob mind) yang menyebabkan ketertarikan irasional dan hilangnya perasaan maupun pikiran individual karena adanya sugesti dan imitasi (Kenrick kk, 2002 dalam Maryam, 2018, hlm. 18).
    Sosiokultural Sumner
    Seperti Ross, ahli sosiologi lain yang bernama Sumner (1906) mengembangkan teorinya pada kelompok sosial yang lebih besar, dari kelompok tetangga menuju ke kelompok etnik dan kelompok partai politik. . Teori ini terus berlanjut dalam perspektif sosiokultural modern, yang melihat bahwa prasangka seseorang, preferensi, dan persuasi politik disebabkan karena beberapa faktor, seperti nasionalitas, kelas sosial, dan tren sejarah yang berkembang.
    Teori sosiokultural fokus pada pentingnya norma sosial (social norms) atau aturan tentang perilaku yang sesuai. Perspektif ini berpusat pada konsep budaya (culture), di mana kita dapat mendefinsikan secara lebih luas sebagai keyakinan (belief), adat (customs), kebiasaan (habits) dan bahasa yang dikembangkan secara bersama-sama oleh orang-orang dalam waktu dan tempat tertentu.

  3. Penerapan Filsafat, Ideologi, Paradigma, dan Teori dalam PBM Matematika

    1. Penerapan Filsafat dalam PBM Matematika

    Guru yang menganut filosofi konstruktivisme akan lebih sering menggunakan pendekatan diskusi dan eksplorasi dalam kelas matematika. Siswa didorong untuk mengembangkan pemahaman mereka sendiri tentang konsep matematika melalui pemecahan masalah, bukan sekadar menerima informasi dari guru.

    2. Penerapan Ideologi dalam PBM Matematika

    Pada kurikulum yang berorientasi pada ideologi liberalisme, siswa akan diberikan kebebasan lebih besar untuk mengeksplorasi matematika dalam konteks kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, pendekatan konservatif mungkin lebih menekankan pada penguasaan keterampilan dasar melalui latihan dan evaluasi yang ketat.

    3. Penerapan Paradigma dalam PBM Matematika

    Paradigma behavioristik diterapkan dalam pembelajaran matematika melalui latihan rutin dan tes untuk mengevaluasi pemahaman siswa. Di sisi lain, paradigma konstruktivistik diterapkan melalui aktivitas problem solving, diskusi kelompok, dan penggunaan alat bantu manipulatif dalam pembelajaran matematika.

    4. Penerapan Teori dalam PBM Matematika

    Dalam teori konstruktivistik, siswa membangun pengetahuan mereka dengan menggunakan alat bantu visual, simulasi, atau permainan matematika. Sementara itu, teori behavioristik lebih cenderung memanfaatkan metode drill atau latihan soal yang berulang untuk memastikan penguasaan konsep-konsep dasar matematik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun