b. Paradigma Konstruktivistik
Mengedepankan pembelajaran aktif di mana siswa memainkan peran sentral dalam proses belajar. Paradigma ini menekankan pentingnya diskusi, eksplorasi, dan penemuan dalam mempelajari konsep matematika. Teori Belajar dalam PBM Matematika
Teori belajar memberikan panduan dalam mengembangkan metode pembelajaran yang efektif. Beberapa teori yang berpengaruh dalam PBM matematika meliputi:
a. Teori Behaviorisme
Teori behaviorisme atau behavioristik adalah salah satu pendekatan di dalam psikologi pendidikan. Pendekatan tersebut meyakini bahwa anak dapat dibentuk sesuai dengan apa yang diinginkan oleh orang yang membentuknya baik guru ataupun orang tua. Aliaran behaviorisme menyatakan bahwa perilaku manusia dikelompokkan dalam dua kategori besar, yaitu:
- Perilaku yang terbuka, yang dapat diukur secara objektif, seperti ilmu perilaku, rangsangan, kebiasaan, dan hasil belajar; dan
- Perilaku yang tertutup, dipelajari melalui gerakan otot tubuh, proses berpikir dan perasaan. Inti dari pendekatan behaviorisme ialah bahwa kehidupan manusia dipengaruhi oleh stimulus-stimulus, respons, reward, dan hukuman.
b. Teori KonstruktivismeMenekankan bahwa siswa harus membangun pengetahuan matematika mereka melalui pengalaman langsung. Pendekatan ini sering melibatkan penggunaan alat bantu visual dan manipulatif untuk membantu siswa memahami konsep abstrak.
Â
Teori Belajar Konstruktivisme Menurut Ahli
Dalam teori Belajar Konstruktivisme, ada dua tokoh terkenal yang mengemukakan pendapatnya yaitu Piaget dan Vygotsky.
Sebenarnya, antara Piaget dan Vygotsky ini sama-sama menganut aliran konstruktivisme, di mana dalam belajar siswa harus membangun sendiri pengetahuannya karena proses belajar datang dari dalam individu sendiri. Nah, yang membedakan keduanya adalah proses pengolahan informasinya.
Menurut Piaget, ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan mempertahankan dan mengubah konsep awal yang sebelumnya sudah ada, sesuai struktur kognitif yang dimilikinya. Sebab itu, pendapat Piaget ini dikenal dengan Konstruktivisme Kognitif.
Sementara bagi Vygotsky yang mengemukakan Konstruktivisme Sosial, perkembangan pembelajaran anak dipengaruhi oleh lingkungan sosial yang berhubungan dengan budaya. Jadi, setiap anak berkembang dalam konteks kebudayaannya sendiri, termasuk budaya dari lingkungan keluarga di mana dia tumbuh.
Pentingnya Penerapan Teori Belajar Konstruktivisme
Kalau sudah mengetahui pengertian teori Belajar Konstruktivisme, sekarang apa sih sebenarnya hal yang membedakan teori ini dengan yang lainnya? Kenapa teori ini bisa jadi salah satu alternatif dalam pembelajaran?
Iya, lewat teori Belajar Konstruktivisme, pembelajaran tidak berfokus ke guru melainkan menuntut siswa untuk lebih aktif dan kreatif. Di sini, kita berperan untuk membantu menyediakan situasi dan umpan balik situasi agar proses pembentukan pengetahuan berjalan lancar, serta mencari dan menilai pendapat siswa.
Contoh kegiatan pembelajarannya seperti ini Bapak dan Ibu Guru. Minta siswa untuk mengajukan pertanyaan mereka sendiri dan mencari jawaban atas pertanyaannya lewat penelitian dan pengamatan langsung.
Dari kegiatan ini, siswa akan menarik hubungan antara pengetahuan yang sudah ada sebelumnya dengan pengetahuan baru yang diperoleh. Akhirnya, mereka bisa menarik kesimpulan, mendapatkan informasi baru, dan mengembangkan rencana untuk penyelidikan selanjutnya.
Pembelajaran konstruktif memberikan kesempatan bagi siswa untuk menyampaikan gagasan dan menjelaskannya menggunakan bahasanya sendiri. Jadi, siswa bisa lebih berani untuk membagikan apa yang ada dipikirannya.
Karena dalam proses belajar siswa berpikir tentang pengalamannya, hal ini memgembangkan kemampuan mereka untuk lebih kreatif dan imajinatif, serta memperluas gambaran mereka tentang teori dan konsep pengetahuan.
Satu lagi yang tidak kalah penting, teori Belajar Konstruktivisme memberikan lingkungan belajar kondusif yang mendukung siswa mengungkapkan gagasan, serta saling menyimak dan memberikan masukan.
Implementasi Pemikiran Konstruktivisme Dalam Pembelajaran Teori belajar konstruktivistik memahami belajar sebagai proses pembentukan (kontruksi) pengetahuan oleh peserta didik itu sendiri. Dimana pembentukan pengetahuan menuntut pesrta didik harus aktif selama proses kegiatan pembelajaran, aktif berpikir, menyusun kosep, dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari, tetapi yang paling menentukan terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar peserta didik itu sendiri. Sementara peranan guru dalam belajar konstruktivistik adalah membantu agar proses pengkonstruksian pengetahuan oleh peserta didik berjalan lancar. Guru tidak mentransfer pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu peserta didik untuk membentuk pengetahuannya sendiri dan dituntut untuk lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang peserta didik dalam belajar. Menurut teori belajar konstruktivisme pengetahuan tidak biasa dipindahkan begitu saja dari guru kepada murid. Artinya, peserta didik harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Sejalan dengan pendapat Herliani, dkk. (2021) juga menyampaikan bahwa pembelajaran konstruktivistik adalah pembelajaran yang lebih menekankan pada proses dan kebebasan dalam menggali pengetahuan serta upaya dalam mengkonstruksi pengalaman. Dalam proses belajarnya pun, memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga siswa menjadi lebih kreatif.
c. Teori Socio-Kultural (Vygotsky)
Sosiokultural adalah teori, pendekatan, atau perspektif yang menganggap sumber utama dari perilaku sosial bukan berasal dari dalam diri individu, melainkan dari kelompok sosial, lingkungan dan budaya yang menyelubunginya. Menekankan pentingnya interaksi sosial dalam pembelajaran. Dalam PBM matematika, siswa belajar melalui diskusi kelompok dan kolaborasi, serta mendapat dukungan dari guru atau teman sebaya. Bukan individu yang memiliki perilaku unik, melainkan keadaan sosial di sekitarnyalah yang membangun seorang individu sehingga memiliki perilaku tersebut. Oleh karena itu teori sosiokultural juga sering disebut sebagai teori konstruktivisme sosial.
Lingkungan ini tidaklah terpaku pada alam benda atau lokasi seseorang tinggal saja. Justru berbagai asupan akal budinyalah yang akan memengaruhi perilaku seseorang. Misalnya, orang-orang yang tinggal di kawasan atau lingkungan tidak baik, kemungkinan akan menjadi tidak baik. Namun bisa saja ada satu atau dua orang di kawasan tersebut yang tidak ikut menjadi tidak baik karena ia lebih banyak mendapatkan asupan akal budi di luar tempat tinggalnya. Saat itu terjadi, ia bisa saja tidak mendapatkan pengaruh sama sekali dari lingkungan tempat tinggalnya yang tidak baik.
Namun kelompok sosial dan budaya tetaplah membentuk perilaku orang yang tidak ikut-ikutan menjadi tidak baik di tempat tinggalnya tersebut. Berbagai pengaruh kelompok sosial, dan budaya itu bisa datang dari sekolah, media sosial, dan lingkungan sosial lain di mana orang tersebut lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bernaung.
Dengan demikian persoalan kelompok sosial dan budaya ini tidak melulu mengenai di mana seseorang tinggal, melainkan harus dilihat juga riwayat hidupnya, apakah ia sehari-hari tinggal di kawasan tidak baik namun justru menghabiskan waktunya di luar atau lebih banyak bergaul dengan orang-orang di luar negeri lewat bantuan teknologi komunikasi.
Persoalan teori sosiokultural ini juga telah banyak diaplikasikan pada berbagai bidang bahkan ilmu terapan seperti manajemen dan bisnis. Para ahli yang mengembangkan teori ini juga telah memberikan banyak pandangan dan perspektif dari berbagai sudut pandang. Berikut adalah beberapa pendapat para ahli mengenai teori sosiokultural.
Sosiokultural Edward Alsworth Ross
Teori sosiokultural berasal dari kajian sosiologi dan antropologi namun digunakan juga sebagai perspektif atau sudut pandang dalam kajian lain seperti psikologi (khususnya psikologi sosial) dan pendidikan untuk menjelaskan proses belajar dalam konteks sosial.
Pada tahun 1908 lahir publikasi buku pertama dari dua buku yang berjudul "Social Psychology" yang ditulis oleh seorang sosiolog bernama Edward Alsworth Ross. Ross melihat bahwa sumber utama dari perilaku sosial bukan berasal dari dalam diri individu melainkan dari kelompok sosial. Ross berpendapat bahwa orang-orang sering kali terbawa arus sosial, seperti penyebaran emosi dalam sebuah kerumunan (crowd) atau epidemik emosi religius.
Ross memberikan contoh seperti insiden the Dutch tulip craze di tahun 1634. Pada kejadian Tersebut, banyak orang menjual rumah dan tanahnya untuk membeli akar bunga tulip yang nilainya lebih mahal dari emas, namun akhirnya menjadi tidak berharga saat kegilaan (craze) ini berhenti (Kenrick dkk, 2002 dalam Maryam 2018, hlm. 18).
Kejadian serupa pernah terjadi juga di Indonesia. Pada tahun 2000, ikan louhan dianggap pembawa berkah sehingga menyebabkan orang-orang berani membeli dengan harga yang sangat mahal. Bahkan ada orang yang membeli ikan tersebut dengan harga 25 juta rupiah. Harga itu tentunya sangat fantastis bagi masyarakat apalagi di tahun krisis moneter yang masih menghantui. Setelah orang-orang jenuh, sekitar akhir tahun 2003, ikan tersebut sudah tidak semahal itu lagi di pasaran. Seperti tulip di Belanda, ikan Louhan juga akhirnya mengalami koreksi harga.
Untuk menjelaskan fenomena "kegilaan" di atas, Ross lebih melihat pada unsur kelompok sebagai keseluruhan daripada unsur psyche (jiwa) individual anggota kelompok. Ross melihat bahwa bahwa kegilaan (craze) dan mode (fads) sebagai produk dari "pikiran massa" (mob mind) yang menyebabkan ketertarikan irasional dan hilangnya perasaan maupun pikiran individual karena adanya sugesti dan imitasi (Kenrick kk, 2002 dalam Maryam, 2018, hlm. 18).
Sosiokultural Sumner
Seperti Ross, ahli sosiologi lain yang bernama Sumner (1906) mengembangkan teorinya pada kelompok sosial yang lebih besar, dari kelompok tetangga menuju ke kelompok etnik dan kelompok partai politik. . Teori ini terus berlanjut dalam perspektif sosiokultural modern, yang melihat bahwa prasangka seseorang, preferensi, dan persuasi politik disebabkan karena beberapa faktor, seperti nasionalitas, kelas sosial, dan tren sejarah yang berkembang.
Teori sosiokultural fokus pada pentingnya norma sosial (social norms) atau aturan tentang perilaku yang sesuai. Perspektif ini berpusat pada konsep budaya (culture), di mana kita dapat mendefinsikan secara lebih luas sebagai keyakinan (belief), adat (customs), kebiasaan (habits) dan bahasa yang dikembangkan secara bersama-sama oleh orang-orang dalam waktu dan tempat tertentu. - Penerapan Filsafat, Ideologi, Paradigma, dan Teori dalam PBM Matematika
1. Penerapan Filsafat dalam PBM Matematika
Guru yang menganut filosofi konstruktivisme akan lebih sering menggunakan pendekatan diskusi dan eksplorasi dalam kelas matematika. Siswa didorong untuk mengembangkan pemahaman mereka sendiri tentang konsep matematika melalui pemecahan masalah, bukan sekadar menerima informasi dari guru.
2. Penerapan Ideologi dalam PBM Matematika
Pada kurikulum yang berorientasi pada ideologi liberalisme, siswa akan diberikan kebebasan lebih besar untuk mengeksplorasi matematika dalam konteks kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, pendekatan konservatif mungkin lebih menekankan pada penguasaan keterampilan dasar melalui latihan dan evaluasi yang ketat.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!