Mohon tunggu...
Metta Pratiwi
Metta Pratiwi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Metta Pratiwi atau yang akrab disapa Metta adalah seorang Psikolog, kelahiran 10 September 1976, yang aktif dalam dunia Pendidikan Anak Usia Dini. Ibu dengan dua orang anak yang menginjak usia remaja ini menyukai dunia literasi semenjak kecil. Membaca buku adalah kegemaran utamanya. Kini keinginannya yang terpendam untuk berkelana lebih jauh dalam dunia literasi mulai terealisasi. Beberapa buku antologi puisi, cagar budaya, cerita anak, teenlit, dan romance serta dua buku solo berjudul Love dan Perjalanan Hati telah berhasil diselesaikannya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bukan Salahmu, Sayang (Bagian Keempat)

2 November 2022   08:55 Diperbarui: 2 November 2022   08:59 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan Salahmu, Sayang (Bagian Keempat)

"Danu bilang sama Ibu?"

"Seminggu yang lalu dia memukul temannya karena temannya bercanda mengatakan dia 'bego'. Danu dan temannya sudah saya damaikan dan ketika saya tanyakan apa alasannya memukul, dia bilang disebut bego itu menyakitkan. Waktu saya tanyakan siapa yang pernah menyebutnya seperti itu, Danu menjawab 'Papa'."

"Iya, suami saya bicara seperti itu ketika dia sedang marah. Saya juga ikut marah saat itu. Saya betul-betul kesal dan malu melihat nilai-nilai Danu. Kedua kakaknya selalu mendapat nilai yang bagus, Bu Reva. Enggak ada yang seperti Danu. Jadi saya ikut kesal dan marah seperti papanya."

"Lalu?"

"Danu diam ketika saya ikut marah. Setelah itu dia masuk ke kamar dan nggak mau keluar saat waktunya makan. Saya makin kesal waktu ada surat dari sekolah dan saat itu saya sedang ada di luar kota. Kakaknya cerita betapa nakalnya Danu di sekolah. Saya betul-betul marah. Danu semakin menjauh dari saya, Bu. Dia makin jarang bicara. Danu nggak pernah ngomong sama saya kalo nggak saya tanya. Kemarin waktu papanya sakit, saya ngerasa sedih waktu ngeliat dia ketiduran di kursi karena nungguin papanya. Dia dulu begitu dekat dengan saya."

Aku bangkit dari kursi dan duduk di sebelah Bu Teguh. Matanya terlihat mulai berkaca-kaca. Segera kuberikan selembar tissu dan duduk di sebelahnya. Tanganku menepuk tangannya perlahan.

"Ibu tahu rasa sakitnya? Saya merasa kehilangan Danu, Bu. Dia dekat, tapi jauh. Danu seperti dengan sengaja menjaga jarak dari saya. Apalagi sama papanya. Tapi, waktu papanya sakit dia mau nungguin di rumah sakit. Cuma, tetep nggak banyak ngomong."

"Ibu pernah bicara dari hati ke hati sama Danu?"

"Danu selalu menghindar kalau saya dekati, Bu. Dia lebih sering menggeleng atau mengangguk kalau saya ajak bicara."

"Pernahkah Ibu secara spontan memeluk Danu?"

"Dia sudah besar, Bu Reva."

"Atau mengelus rambutnya? Terkadang seorang anak tak paham kalau kita menyayanginya karena ekspresi sayang yang kita berikan terwujud dalam bentuk amarah. Danu mungkin mulai merasa kalau Ibu tak menyayanginya lagi," ucapku perlahan.

"Saya sayang sama Danu, Bu. Suami saya juga," ujarnya lirih.

"Saya tahu hal itu, Bu. Tapi, apa Danu tahu? Danu sedang berada dalam masa remaja, Bu Teguh. Dia sendiri sedang tak nyaman dengan keadaan dirinya. Emosinya sedang meluap-luap. Dan ada satu hal lagi, Bu. Saya kemarin sudah memberikan psikotest pada Danu dan hasilnya ini yang akan saya bahas."

"Bagaimana hasilnya, Bu?"

Aku tersenyum lalu bangkit untuk mengambil satu buah map berwarna biru yang berada di dalam lemari. Hasil tes yang sedikit banyak dapat mengurai permasalahan Danu.

"Hal utama yang harus Ibu tahu, Danu memiliki kebutuhan untuk berprestasi. Dari hasil tes ini pula, saya tahu kalau Danu mengagumi papanya."

"Iya, Bu Reva. Sewaktu kecil, Danu sering bilang kalau papanya orang yang hebat. Mungkin dia kagum kalau melihat papanya sedang menggambar rancangan rumah atau gedung-gedung. Suami saya seorang arsitek, Bu."

"Iya, rasa kagum yang membuatnya terpuruk ketika dia merasa tak bisa seperti papanya. Padahal kebutuhannya untuk memiliki prestasi cukup tinggi."

"Apa yang bikin Danu nggak bisa dapet nilai yang tinggi, Bu Reva?"

"Karena ... karena kemampuan intelegensinya di bawah rata-rata, Bu Teguh," ucapku perlahan.

Wajah Bu Teguh terlihat terkejut, tapi setelah menarik napas panjang, ekspresi wajahnya terlihat lebih tenang.

"Itu sebabnya dia marah ketika dibilang nilainya kurang baik karena malas belajar. Sebab kenyataannya, dia memang sudah belajar. Tapi, kemampuannya nggak bisa sesuai dengan keinginannya. Danu frustasi, Bu Teguh. Dia marah dengan dirinya sendiri. Semakin dia marah, semakin prestasinya menurun karena dia tak bisa berkonsentrasi. Nilainya semakin buruk, Danu semakin frustasi dan dia mengekspresikannya dengan berbagai kenakalan."

"Tapi, kenapa tingkat intelegensinya bisa begitu, Bu?"

"Proses terbentuknya otak dimulai sejak masa kandungan, Bu Teguh."

"Saya yang salah. Saya kurang sehat ketika Danu ada dalam kandungan saya."

"Menurut saya, menyesali yang sudah terjadi itu bukan solusi, Bu."

"Lalu apa yang harus saya lakukan?"

"Mencintai Danu dan menggali kemampuan lebih yang dia miliki. Buatlah Danu paham kalau papa dan mamanya menyayangi tanpa syarat."

"Saya dan papanya ingin dia sukses. Jadi laki-laki yang hebat. Apa itu salah?"

"Tentu aja nggak, Bu Teguh. Itu nggak salah. Tapi, caranya yang kurang tepat. Tekanan yang diberikan pada Danu semakin membuat dia terpuruk."

"Saya akan bicarakan hal ini dengan suami saya, Bu Reva."

"Silakan Bu Teguh. Semoga kita bisa bekerja sama membantu Danu menemukan passion yang dia miliki dan dapat berprestasi di bidang itu."

Ibu Teguh mengangguk dan menjabat tanganku dengan erat. Harapanku terasa berbunga, bahwa akan ada perubahan dalam diri Danu setelah pembicaraan ini berakhir. Harapan yang ternyata hanya sekadar harapan.

Pagi ini tak ada yang istimewa buatku. Semua berjalan begitu biasa hingga Bu Ratna terlihat tergopoh berjalan ke arahku. Wajahnya terlihat panik membuatku mengerutkan dahi.

"Bu Reva, Danu kritis."

"Apa?! Kenapa bisa kritis, Bu? Kemarin, saya masih lihat dia main basket di lapangan."

"Urat nadinya terkena pecahan kaca. Barusan ibunya telepon saya."

Tak menunggu lama, atas seizin Bapak Kepala Sekolah, aku dan Bu Ratna bergegas ke rumah sakit dan apa yang kulihat di sana membuat hati ini terasa pedih.

Bu Teguh langsung menangis di pelukanku. Suaminya terlihat begitu terpukul. Laki-laki itu hanya menatapku sekilas lalu menunduk.

"Doakan Danu kuat ya, Bu. Dia kehilangan banyak darah," ucap Bu Teguh di sela isak tangisnya.

"Iya, pasti kami doakan, Bu," ujar Bu Ratna lirih.

Tak lama aku dan Bu Ratna berbincang dengan Bu Teguh karena kehadiran dua orang ibu di belakang kami membuat Bu Teguh mohon diri. Aku dan Bu Ratna lalu duduk di salah satu sisi ruang tunggu ICU ketika salah seorang kakak Danu menghampiri kami.

"Terima kasih, Bu, sudah menjenguk Danu," ucapnya sambil menghapus bulir bening di pipinya.

"Sama-sama, Sayang," jawabku lirih. Kuajak dia duduk di antara aku dan Bu Ratna. "Bagaimana ceritanya Danu bisa begini?"

"Kemarin malam Papa dan Mama bertengkar hebat, Bu. Saya dengar Papa terus-terusan nyalahin Mama atas keadaan Danu. Mama ikut ngebales juga sampai teriak-teriak. Saya mau ngedamaiin, tapi nggak didenger."

"Lalu?"

"Suara jeritan Dian, adek saya yang di atas Danu, yang bikin Papa sama Mama berhenti berantem. Saya langsung lari ke tempat Dian berdiri. Dia berdiri di depan kamar Danu. Begitu ngelihat, saya langsung meluk Danu. Darah ada di mana-mana, Bu."

Aku menggenggam tangannya erat. Air matanya mengalir lagi. Dia terisak dan aku meraihnya dalam pelukan. Bu Ratna terdengar menghela napas panjang.

"Apa yang dilakukan Danu, Sayang?"

"Dia mukul cermin di kamarnya, Bu. Lalu di tangan kanannya ... di tangan kanannya ada pecahan beling yang besar dan tajam. Pecahan beling itu dipakai Danu buat ...," ucapannya terhenti dan dia semakin terisak.

Segera kupeluk lagi gadis manis yang tangisannya membuat mataku turut berkaca. Aku bisa merasakan pedih hatinya, juga pedih hatinya Danu.

Rasanya pasti sangat menderita ketika mengetahui diri kita menjadi penyebab pertengkaran hebat dua orang yang sama-sama dicintai.

Ah, betapa tidak bijaksananya mereka.

Suara teriakan histeris di depan ruang ICU mengejutkan kami. Kami segera bergegas menghampiri dan melihat keadaan Bu Teguh serta beberapa ungkapan yang menguatkan dari orang-orang yang di sekitarnya, aku tahu. Danu telah pergi.

Meninggalkan penyesalan mendalam pada kedua orang tua yang tak bijaksana menyikapi suatu permasalahan. Sungguh, begitu banyak anak yang seperti Danu bahkan lebih tak beruntung. Namun, rasa cinta tak bersyarat yang dimiliki kedua orang tua dapat membuat anak-anak tersebut bahagia dengan kelebihan yang dimilikinya.

Pandai itu tak semata prestasi akademis. Pintar itu tak hanya nilai baik yang tertera di sebuah buku rapor.

Tuhan selalu memberikan kelebihan dibalik setiap kekurangan. Tugas kitalah untuk membantu anak-anak itu menemukan kelebihannya dan berprestasi di bidang yang dicintainya.

Menerima sebuah kekurangan itu memang tak mudah. Membandingkan lalu menyalahkan itu jauh lebih gampang. Namun, bila sudah terjadi seperti Danu, penyesalan pun tak akan mengubah keadaan.

Hanya rasa pedih yang tersisa ....

~ Tamat ~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun