"Silakan Bu Teguh. Semoga kita bisa bekerja sama membantu Danu menemukan passion yang dia miliki dan dapat berprestasi di bidang itu."
Ibu Teguh mengangguk dan menjabat tanganku dengan erat. Harapanku terasa berbunga, bahwa akan ada perubahan dalam diri Danu setelah pembicaraan ini berakhir. Harapan yang ternyata hanya sekadar harapan.
Pagi ini tak ada yang istimewa buatku. Semua berjalan begitu biasa hingga Bu Ratna terlihat tergopoh berjalan ke arahku. Wajahnya terlihat panik membuatku mengerutkan dahi.
"Bu Reva, Danu kritis."
"Apa?! Kenapa bisa kritis, Bu? Kemarin, saya masih lihat dia main basket di lapangan."
"Urat nadinya terkena pecahan kaca. Barusan ibunya telepon saya."
Tak menunggu lama, atas seizin Bapak Kepala Sekolah, aku dan Bu Ratna bergegas ke rumah sakit dan apa yang kulihat di sana membuat hati ini terasa pedih.
Bu Teguh langsung menangis di pelukanku. Suaminya terlihat begitu terpukul. Laki-laki itu hanya menatapku sekilas lalu menunduk.
"Doakan Danu kuat ya, Bu. Dia kehilangan banyak darah," ucap Bu Teguh di sela isak tangisnya.
"Iya, pasti kami doakan, Bu," ujar Bu Ratna lirih.
Tak lama aku dan Bu Ratna berbincang dengan Bu Teguh karena kehadiran dua orang ibu di belakang kami membuat Bu Teguh mohon diri. Aku dan Bu Ratna lalu duduk di salah satu sisi ruang tunggu ICU ketika salah seorang kakak Danu menghampiri kami.