Wajah Bu Teguh terlihat terkejut, tapi setelah menarik napas panjang, ekspresi wajahnya terlihat lebih tenang.
"Itu sebabnya dia marah ketika dibilang nilainya kurang baik karena malas belajar. Sebab kenyataannya, dia memang sudah belajar. Tapi, kemampuannya nggak bisa sesuai dengan keinginannya. Danu frustasi, Bu Teguh. Dia marah dengan dirinya sendiri. Semakin dia marah, semakin prestasinya menurun karena dia tak bisa berkonsentrasi. Nilainya semakin buruk, Danu semakin frustasi dan dia mengekspresikannya dengan berbagai kenakalan."
"Tapi, kenapa tingkat intelegensinya bisa begitu, Bu?"
"Proses terbentuknya otak dimulai sejak masa kandungan, Bu Teguh."
"Saya yang salah. Saya kurang sehat ketika Danu ada dalam kandungan saya."
"Menurut saya, menyesali yang sudah terjadi itu bukan solusi, Bu."
"Lalu apa yang harus saya lakukan?"
"Mencintai Danu dan menggali kemampuan lebih yang dia miliki. Buatlah Danu paham kalau papa dan mamanya menyayangi tanpa syarat."
"Saya dan papanya ingin dia sukses. Jadi laki-laki yang hebat. Apa itu salah?"
"Tentu aja nggak, Bu Teguh. Itu nggak salah. Tapi, caranya yang kurang tepat. Tekanan yang diberikan pada Danu semakin membuat dia terpuruk."
"Saya akan bicarakan hal ini dengan suami saya, Bu Reva."