"Dia sudah besar, Bu Reva."
"Atau mengelus rambutnya? Terkadang seorang anak tak paham kalau kita menyayanginya karena ekspresi sayang yang kita berikan terwujud dalam bentuk amarah. Danu mungkin mulai merasa kalau Ibu tak menyayanginya lagi," ucapku perlahan.
"Saya sayang sama Danu, Bu. Suami saya juga," ujarnya lirih.
"Saya tahu hal itu, Bu. Tapi, apa Danu tahu? Danu sedang berada dalam masa remaja, Bu Teguh. Dia sendiri sedang tak nyaman dengan keadaan dirinya. Emosinya sedang meluap-luap. Dan ada satu hal lagi, Bu. Saya kemarin sudah memberikan psikotest pada Danu dan hasilnya ini yang akan saya bahas."
"Bagaimana hasilnya, Bu?"
Aku tersenyum lalu bangkit untuk mengambil satu buah map berwarna biru yang berada di dalam lemari. Hasil tes yang sedikit banyak dapat mengurai permasalahan Danu.
"Hal utama yang harus Ibu tahu, Danu memiliki kebutuhan untuk berprestasi. Dari hasil tes ini pula, saya tahu kalau Danu mengagumi papanya."
"Iya, Bu Reva. Sewaktu kecil, Danu sering bilang kalau papanya orang yang hebat. Mungkin dia kagum kalau melihat papanya sedang menggambar rancangan rumah atau gedung-gedung. Suami saya seorang arsitek, Bu."
"Iya, rasa kagum yang membuatnya terpuruk ketika dia merasa tak bisa seperti papanya. Padahal kebutuhannya untuk memiliki prestasi cukup tinggi."
"Apa yang bikin Danu nggak bisa dapet nilai yang tinggi, Bu Reva?"
"Karena ... karena kemampuan intelegensinya di bawah rata-rata, Bu Teguh," ucapku perlahan.