Waktu terus berjalan, dan kondisi ekonomi keluarga Melkior semakin sulit. Maria jatuh sakit karena terlalu banyak bekerja. Damar sering mengeluh lapar karena makanan yang ada di rumah sangat terbatas.
Melkior semakin tertekan melihat keluarganya menderita. Ia mulai kehilangan harapan, tetapi ia tahu bahwa ia harus tetap kuat demi mereka.
Pada suatu malam, setelah selesai memberikan les privat, Melkior pulang dengan langkah lelah. Hujan turun dengan deras, membuat jalanan menjadi berlumpur dan licin. Melkior berjalan sambil memegang payung yang sudah berlubang di sana-sini.
Ketika ia sampai di rumah, ia mendapati Maria sedang terbaring lemah di tempat tidur. Wajahnya pucat dan tubuhnya panas. Damar duduk di sampingnya dengan mata berkaca-kaca.
"Pak, Ibu sakit," bisik Damar dengan suara bergetar.
Melkior segera mendekati Maria dan merasakan keningnya yang panas. Ia tahu bahwa mereka tak punya uang untuk membeli obat atau membawa Maria ke dokter.
Dengan hati yang berat, ia memutuskan untuk meminta bantuan Budi. Meski ia merasa enggan, ia tahu bahwa ini demi kesehatan istrinya. Tapi mengingat Maria itu bersaudara kandung dengan Budi, maka Melkior memaksakan dirinya juga.
Melkior berjalan ke rumah Budi yang tak jauh dari rumahnya. Ia mengetuk pintu dan menunggu dengan cemas. Setelah beberapa saat, Budi membuka pintu dengan wajah bingung.
"Ada apa, Melkior? Kenapa malam-malam begini?" tanya Budi dengan nada datar dan nadanya tidak senang karena malam-malam terganggu.
Melkior menundukkan kepala, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh. "Budi, aku butuh bantuanmu. Maria sakit parah dan aku tak punya uang untuk membawanya ke dokter. Bisakah kau meminjamkan sedikit uang atau mungkin satu motor saja agar aku bisa membawanya ke rumah sakit?"
Budi menghela napas panjang. "Maaf, Melkior. Aku juga sedang banyak pengeluaran. Motor-motor itu sudah ada yang pakai semua. Lagipula, aku tak bisa meminjamkan uang sekarang."