Melkior merasakan hatinya hancur mendengar jawaban itu. Namun, ia tak bisa memaksa. Dengan berat hati, ia kembali ke rumahnya dengan tangan hampa.
Sesampainya di rumah, ia melihat Maria semakin lemah. Damar tertidur di samping ibunya dengan mata sembab.
Malam itu, Melkior tak bisa tidur. Ia duduk di samping Maria, menggenggam tangannya erat-erat. Ia berdoa dalam hati, memohon agar istrinya diberikan kekuatan.
Hujan terus turun dengan deras, seolah-olah langit pun turut merasakan kesedihan yang melanda hati Melkior.
Keesokan paginya, Melkior terbangun oleh suara tangisan Damar. Ia segera melihat ke arah Maria, dan hatinya serasa tercabik-cabik. Maria tubuhnya sangat panas. Karena keletihan, rupanya Melkior tertidur dan tidak sadar istrinya mengalami demam panas tinggi.
"Pak, Ibu panas sekali," teriak Damar panik.
Melkior tak kuasa menahan air mata. Ia memeluk tubuh istrinya yang kini yang sangat kepanasan, tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa, karena betul-betul tidak ada uang.
Tuhan juga sepertinya tidak mendengar doa-doanya yang dia panjatkan dalam ketidak-berdayaan dan kesedihan yang mendalam. Bukannya dia tidak keras berusaha, tetapi sepertinya memang nasib baik enggan singgah padanya.
Damar menangis histeris di sampingnya, memanggil-manggil ibunya yang dalam keadaan sangat panas itu. Hari itu, langit desa seolah ikut bersedih. Awan gelap menggantung rendah, dan hujan turun tanpa henti.
Beberapa hari kemudian, panas Maria mulai turun, tetapi tubuhnya kaku dan kedua kakinya tidak bisa digerakkan. Dia lumpuh, tetapi yang lainnya normal. Bertambah lagi beban Melkior.
Tetapi Melkior tetap tabah, karena tubuhnya sangat sehat, maka itulah kekayaan yang sangat berharga bagi dirinya. Dia tetap beraktifitas seperti biasa, bahkan sekarang bertambah lagi dengan merawat istrinya dengan herbal.