Mohon tunggu...
Mena Oktariyana
Mena Oktariyana Mohon Tunggu... Penulis - a reader

nevermore

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Relawan Kematian

6 April 2020   12:02 Diperbarui: 7 April 2020   10:17 1610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustration by Liga Klavina/bleaq.com

Manusia meninggal setiap hari, karena sakit, kecelakaan, dibunuh, bahkan bunuh diri. Tidak ada hal yang membahagiakan jika berbicara tentang kematian. Kita ditinggalkan oleh orang-orang yang kita cintai, meninggalkan kita dalam kesedihan dan penderitaan.  

Ada banyak kisah menyedihkan tentang mereka yang ditinggal mati. Dan mungkin orang selalu berpikir, bahwa mereka yang ditinggalkan kematian adalah orang-orang yang paling menderita. 

Tapi, mereka yang meninggalkan kehidupan juga menderita atau bahkan lebih menderita dari mereka yang ditinggalkan. Dan kau tidak akan mengerti maksud ucapanku, sampai kau mendengar kisahku. 

Semua berawal di bulan Desember tahun lalu. Aku resmi menjadi relawan kematian setelah menjalani enam bulan masa pelatihan. Akhirnya, aku mendapatkan klien pertamaku. 

Dia adalah arwah seorang gadis berusia 18 tahun bernama Adelia. Dia datang dengan mengenakan piyama abu-abu. Rambut keritingnya terlihat berantakan dan  menutupi hampir sebagian wajahnya. 

Dia begitu pucat. Lingkar matanya hitam dan terlihat sayu. Aku melihat bekas luka di lehernya, sudah membiru. Dari situlah aku tahu kalau dia mati gantung diri. Dia berdiri tepat di hadapanku, seorang gadis yang putus asa, sedih, dan menderita. 

Aku merasa canggung, tidak tahu apa yang harus aku katakan padanya. Aku berpikir, haruskah aku tanyakan bagaimana kabarnya, apa dia lapar, atau haruskah aku seperti dokter dan menanyakan apa keluhannya.  Aku lihat dia sedang bersusah payah merapikan rambut keritingnya. 

"Apa kamu punya sisir?" 

Aku, yang sudah siap untuk membuka percakapan, seketika terdiam kembali. "Si...sisir?" tanyaku.

Aku terkejut mendengarnya dan merasa sangat norak di hari pertamaku. Aku membuka laci meja dan mencari apakah ada sisir di sana. Aku tidak menemukan sisir. Kemudian aku ingat kalau aku selalu membawa ikat rambut di kantong celanaku. Aku pun memberikan ikat rambutku sebagai pengganti sisir. 

Setelah dia mengikat rambutnya, aku memintanya bercerita tentang kematiannya dan apa yang harus aku lakukan untuk menolongnya.

Dia mulai bercerita, dulu ketika dia masih hidup, dia berjuang melawan penyakit leukimia yang dideritanya selama bertahun-tahun. Dia menjalani banyak kemoterapi dan pengobatan dengan biaya yang tidak sedikit. 

Hal itu membuat usaha kedua orangtuanya bangkrut. Mereka menjual semua harta yang mereka punya, termasuk rumah untuk biaya pengobatan. Mereka terlilit hutang, hingga berujung pada perceraian kedua orang tuanya. 

Ayahnya memilih pergi, meninggalkannya yang sekarat, istri yang frustasi dan hutang yang menumpuk. Semua masalah yang ia hadapi menempatkannya  pada puncak depresi. 

 "Aku selalu berdoa untuk mati. Tapi aku juga selalu berusaha bertahan untuk Ibuku. Aku sadar, penyakitku cuma membawa penderitaan untuk orang tuaku. Mereka bangkrut karena aku, berhutang karena aku, berpisah juga karena aku.

"Hidup kami jadi kacau. Selepas ayah pergi, aku bisa merasakan duka ibuku setiap hari. Dia selalu tersenyum seolah semua baik-baik saja. Tapi aku tahu dia hancur," dia berusaha keras untuk melanjutkan, seperti ada sesuatu yang tertahan di tenggorokannya. Dia menahan tangis dan berkata, "Dan aku meninggalkannya." 

Aku tidak tahu harus berkata apa. Tapi terlintas di benakku untuk mengatakan Kenapa kau tidak mencoba untuk bertahan sedikit lagi. Tapi aku sadar, itu adalah perkataan seorang idiot.

"Aku akhiri hidupku sendiri." ucapnya dengan suara gemetar, "Yang kuingat, aku terbangun di suatu tempat. Di sana, aku hanya melihat kabut tebal di sekitarku. Tak ada seorang pun, aku sendirian. Aku merasakan sakit luar biasa pada leherku. Aku kesakitan untuk menelan ludahku sendiri.

"Aku mencari tahu di mana aku berada. Kemudian aku sadar, tempat itu seperti jembatan. Aku terus berjalan, tapi jembatan itu begitu panjang, seolah tidak berujung. Aku lelah, rasanya aku sudah menghabiskan bertahun-tahun di sana sendirian. Aku merasa, bahkan setelah mati pun aku masih harus menderita. Aku mulai kesepian dan aku teringat ibuku. Aku merindukannya." 

"Aku coba memejamkan mata sambil terus membayangkan wajah ibuku. Saat aku membuka mata, aku merasa berada di tempat lain. Dan ternyata aku di rumahku sendiri. Di sana, aku melihat ibuku sedang duduk di meja makan sendirian. Dia hanya menatap kosong makanannya. Aku coba memanggilnya, menyentuhnya, tapi aku tidak bisa melakukannya."

"Hari berikutnya, aku pejamkan mataku lagi. Aku melihat ibu sedang memasak makanan kesukaanku. Dia menyiapkan dua piring di meja makan. Satu untuknya, satu untukku. Aku sangat berharap bisa menyentuh dan memakannya. Aku ingin sekali dia merasakan kehadiranku."

"Setiap pagi, aku melihat dia berkunjung ke makamku. Membawa bunga dan mencabuti rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitarnya. Dia membersihkan nisanku dengan sapu tangannya. Kemudian dia menangis, tidak berkata apa-apa. Aku berharap bisa menghapus air matanya."

"Setiap hari aku memejamkan mataku demi bisa bertemu dengannya. Rasa sepiku mulai berkurang. Aku merasa sedih dan bahagia disaat yang bersamaan. Kemudian aku sadar, ku rasa Tuhan hanya memberiku waktu sebentar untuk melihatnya. Karena setiap kali waktuku habis, tubuhku dihempaskan begitu saja ke jembatan itu."

"Aku mulai terbiasa, hempasan menyakitkan itu tidak ada artinya bagiku, asalkan aku bisa melihat ibu. Sampai suatu malam, aku lihat dia mengunci semua pintu dan jendela rumah. Aku melihat dia membawa tali dan masuk ke kamarku. Sebelum aku tahu apa yang akan dia lakukan, aku sudah kembali ke jembatan itu. Aku coba memejamkan mataku ratusan kali, tapi aku tidak bisa kembali. Begitu juga hari-hari berikutnya."

"Aku memejamkan mata dan berdoa agar Ibuku tidak bunuh diri. Dan, ketika aku membuka mataku, aku berada di gedung ini. Aku melihat orang-orang sepertiku di bawah sana. Mereka bilang kalian bisa menolong kami. Tolong aku, aku ingin tahu apakah ibuku masih hidup. Aku ingin bertemu dan minta maaf padanya, tolong jangan biarkan dia bunuh diri." ucapnya putus asa.

Tidak lama aku meraih kedua tangannya dan menggenggamnya dengan erat. Aku membawanya kembali ke malam itu. Di sana, kami melihat ibunya sedang duduk di atas tempat tidur dan menatap ke arah jendela kamar yang terbuka lebar.

Semilir angin malam itu mengibaskan rambutnya yang terurai panjang. Perempuan paruh baya itu mulai menitikkan air mata. Tetes demi tetes jatuh membasahi tangannya. 

Pandangannya beralih menuju ke tali dan sebuah pengait yang sedang dia genggam. Perlahan dia menjulurkan tali tersebut dan membuat sebuah simpul. Adelia jatuh terduduk, dia tak kuasa melihatnya. 

Ibunya mengambil kursi dan meletakkannya di atas ranjang. Dia menaiki kursi tersebut, memasang pengait dan tali di atas langit-langit kamar. Dengan tangan gemetar, perlahan dia memasukkan lehernya ke dalam tali tersebut.

Adelia bangkit berdiri, naik ke atas ranjang itu. Sebisa mungkin dia berusaha meraih tubuh ibunya. Sekeras apapun dia mencoba, tangannya tidak bisa menyentuh. Dia melihat ke arahku, matanya meminta pertolongan.  

"Tolong hentikan dia, kumohon hentikan ibuku!"

Aku juga ingin menghentikannya. Tapi aku tidak bisa mengubah masa lalu. Aku hanya ingin dia melihat apa yang seharusnya dia lihat pada malam itu.  

Adelia menatap ibunya sambil memohon, "Jangan lakukan bu, tolong jangan lakukan, jangan lakukan, jangan lakukan bu, tolong jangan lakukan ini." 

Kursi itu sudah mulai bergoyang, dan kedua kaki ibunya sudah siap untuk menjatuhkannya. Tidak ada yang bisa Adelia lakukan selain berteriak sekencang-kencangnya,  "Ibu!!"

Ibunya terkejut, aku bisa merasakan jika dia mendengar teriakan Adelia. Dan aku bertanya-bertanya dalam hati, bagaimana itu bisa terjadi? Dia membuka matanya, kakinya tidak bergerak lagi, dan dia mengeluarkan kepalanya dari tali tersebut. 

Dia turun dari ranjang seolah mencari sumber teriakan tadi. Dia membuka tirai jendela, melihat keluar seolah Adelia berada di luar sana. Lalu dia membuka pintu kamar, dia berlari ke segala penjuru rumah untuk menemukan sumber suara tersebut sambil terus memanggil anaknya.

 "Adelia! Adelia! Adelia!," tapi dia tidak menemukan siapa-siapa. Dia jatuh terduduk di ruang tamu, menangis. Kami mengikutinya, dan kami tidak tahu harus berbuat apa. 

Ibunya menangis sampai tertidur pulas di atas permadani. Aku duduk di sofa dan terus memperhatikan. Adelia terus mengawasi ibunya, aku merasakan kekhawatiran yang begitu besar pada dirinya.  

Aku mengerti, dia takut ketika ibunya terbangun nanti, mungkin saja dia akan kembali naik ke ranjang dan memasukkan tali itu ke lehernya. Aku merasa sangat kasihan padanya. Aku menarik tangannya, ku minta dia untuk mendekat ke arah ibunya. Aku memegang pundaknya dan memintanya untuk menyentuh perempuan yang telah melahirkannya itu.

Hal pertama yang dia lakukan adalah mengusap air mata yang tersisa di pipi ibunya. Membelai kepalanya dan mencium keningnya. 

Dan aku membawanya kembali ke ruang kerjaku. Di sana, kami hanya berdiam diri.

"Apa ibuku masih hidup?" tanya Adelia yang terlihat begitu cemas.

"Ya, Ibumu masih hidup," jawabku. "Tapi dia tidak baik-baik saja semenjak kematianmu." Dia mulai menangis lagi.

"Jangan khawatir, kita kunjungi Ibumu besok pagi." aku mencoba menenangkannya.  

"Apa aku benar-benar bisa bertemu dengannya? Apa dia bisa melihatku, seperti kalian melihatku?" tanya Adelia ragu.  

"Ya, tentu saja." jawabku meyakinkan, "Yang pasti kita tidak bisa menemuinya malam ini, tidak dengan kondisimu yang seperti ini. Kau harus menenangkan pikiranmu dan istirahat. Dan, aku rasa kau harus menulis sesuatu untuk ibumu." Aku membuka laci meja, mengeluarkan kertas, dan memberikannya pada Adelia. 

Keesokan harinya, kami pun pergi ke rumah mereka. Aku lihat wajah Adelia yang bersinar terang. Dia terlihat begitu berseri dengan gaun putih pendek yang ia kenakan.

Aku memperkenalkan diriku, Nadisa, relawan kematian. Terdengar aneh memang, ketika aku harus memperkenalkan diri berikut dengan profesiku yang anti-mainstream. Tapi, itu peraturan organisasi kami. 

Kami tak ingin keluarga para arwah salah paham dan menganggap kami seorang dukun atau pembohong. Kami datang untuk membantu para arwah, kami datang membawa pesan yang belum tersampaikan dari kematian. 

Setelah menyampaikan tujuanku, aku menaruh satu buket bunga yang ku bawa di bawah foto Adelia. Kemudian dia memintaku duduk dan memberiku secangkir teh.  

Aku terus memandangi tubuhnya yang kurus dan ringkih, kedua matanya sembab, rambut keritingnya tidak tersisir dengan rapi, dan wajahnya pucat. Aku bisa merasakan penderitaannya. Tapi, aku juga merasakan semangat hidup yang masih tersisa. Dan itu pertanda yang bagus.

Dia bercerita banyak tentang masa kecil putrinya. Adelia yang duduk di sebelah ibunya terlihat tersenyum bahagia mendengar memori masa kecil itu. Dan senyumnya sirna seketika, saat ibunya sampai pada cerita tentang dirinya yang divonis mengidap kanker darah di usia 15 tahun. 

"Ibu pikir, kami berdua bisa melewatinya bersama. Dia anak yang kuat dan penuh semangat," dia terdiam seketika sambil menatap kosong ke cangkir tehnya. "Ibu tidak menyangka dia akan menyerah. Dia pergi tanpa sepatah kata pun, Ibu bahkan tidak punya kesempatan untuk mengatakan selamat tinggal." tangisnya pecah.

Aku keluarkan sepucuk surat yang ditulis Adelia dari saku bajuku dan ku serahkan padanya. Aku biarkan dia membaca surat itu sampai selesai. Tanganya gemetar, dia tak kuasa menahan tangis.

Aku minta Adelia yang duduk di sebelahnya untuk menggenggam tanganku supaya ibunya bisa melihatnya. Aku sudah beritahu dia sebelum kami tiba, bahwa dia hanya punya waktu tujuh menit untuk bertemu ibunya. Ku katakan padanya untuk menggunakan waktu itu sebaik mungkin.  

Aku tinggalkan mereka berdua. Aku lihat mereka berpelukan dan melampiaskan segala kerinduan yang ada. Sebenarnya, aku berharap bisa memberi mereka waktu lebih, tapi aku tidak bisa memberi waktu lebih pada kematian.  

Ketika tujuh menit itu usai, aku kembali. Aku hanya melihat ibu dengan surat di genggamannya. Adelia entah pergi kemana. Dia menatapku, mengucapkan terima kasih. Aku memeluknya dan meyakinkan dia untuk terus melanjutkan hidup. Aku lambaikan tanganku padanya sebelum pergi. Kami pun berpisah.

Aku melihat Adelia di seberang jalan sambil terus melihat ke arah Ibunya. Aku menghampirinya dan berkata, "Dia akan baik-baik saja." 

Dia menghela napas panjang, "Aku rasa, urusanku sudah selesai. Terima kasih sudah menolongku."

"Aku tidak tahu apa yang akan kau lalui setelah ini. Tapi, di manapun kau berada, aku akan selalu berdoa untuk kebahagiaan dan ketenangan jiwamu." itu adalah kata-kata perpisahan terbaik yang pernah aku ucapkan seumur hidupku. 

Hari itu, aku melepas kepergiannya. Dia memejamkan kedua matanya dan aku lihat tubuhnya berubah menjadi debu perlahan, kemudian hilang terbawa angin dan mengibaskan rambutku. 

Keesokan harinya, aku kedatangan klien baru. Dia adalah arwah laki-laki paruh baya, datang ke ruanganku mengenakan kemeja putih berlumuran darah, sekujur tubuhnya penuh luka, aku tahu dia meninggal karena kecelakaan hebat. 

Dia bercerita, dulu dia menceraikan istrinya dan meninggalkannya bersama seorang putri yang sakit keras. Dia menyesal seumur hidupnya, dan dia ingin menemui mereka untuk meminta pengampunan. Namun kereta yang ditumpanginya mengalami kecelakaan. Aku pun bertanya siapa nama putrinya. Dan dia menjawab, "Adelia."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun