Dia mulai bercerita, dulu ketika dia masih hidup, dia berjuang melawan penyakit leukimia yang dideritanya selama bertahun-tahun. Dia menjalani banyak kemoterapi dan pengobatan dengan biaya yang tidak sedikit.Â
Hal itu membuat usaha kedua orangtuanya bangkrut. Mereka menjual semua harta yang mereka punya, termasuk rumah untuk biaya pengobatan. Mereka terlilit hutang, hingga berujung pada perceraian kedua orang tuanya.Â
Ayahnya memilih pergi, meninggalkannya yang sekarat, istri yang frustasi dan hutang yang menumpuk. Semua masalah yang ia hadapi menempatkannya  pada puncak depresi.Â
 "Aku selalu berdoa untuk mati. Tapi aku juga selalu berusaha bertahan untuk Ibuku. Aku sadar, penyakitku cuma membawa penderitaan untuk orang tuaku. Mereka bangkrut karena aku, berhutang karena aku, berpisah juga karena aku.
"Hidup kami jadi kacau. Selepas ayah pergi, aku bisa merasakan duka ibuku setiap hari. Dia selalu tersenyum seolah semua baik-baik saja. Tapi aku tahu dia hancur," dia berusaha keras untuk melanjutkan, seperti ada sesuatu yang tertahan di tenggorokannya. Dia menahan tangis dan berkata, "Dan aku meninggalkannya."Â
Aku tidak tahu harus berkata apa. Tapi terlintas di benakku untuk mengatakan Kenapa kau tidak mencoba untuk bertahan sedikit lagi. Tapi aku sadar, itu adalah perkataan seorang idiot.
"Aku akhiri hidupku sendiri." ucapnya dengan suara gemetar, "Yang kuingat, aku terbangun di suatu tempat. Di sana, aku hanya melihat kabut tebal di sekitarku. Tak ada seorang pun, aku sendirian. Aku merasakan sakit luar biasa pada leherku. Aku kesakitan untuk menelan ludahku sendiri.
"Aku mencari tahu di mana aku berada. Kemudian aku sadar, tempat itu seperti jembatan. Aku terus berjalan, tapi jembatan itu begitu panjang, seolah tidak berujung. Aku lelah, rasanya aku sudah menghabiskan bertahun-tahun di sana sendirian. Aku merasa, bahkan setelah mati pun aku masih harus menderita. Aku mulai kesepian dan aku teringat ibuku. Aku merindukannya."Â
"Aku coba memejamkan mata sambil terus membayangkan wajah ibuku. Saat aku membuka mata, aku merasa berada di tempat lain. Dan ternyata aku di rumahku sendiri. Di sana, aku melihat ibuku sedang duduk di meja makan sendirian. Dia hanya menatap kosong makanannya. Aku coba memanggilnya, menyentuhnya, tapi aku tidak bisa melakukannya."
"Hari berikutnya, aku pejamkan mataku lagi. Aku melihat ibu sedang memasak makanan kesukaanku. Dia menyiapkan dua piring di meja makan. Satu untuknya, satu untukku. Aku sangat berharap bisa menyentuh dan memakannya. Aku ingin sekali dia merasakan kehadiranku."
"Setiap pagi, aku melihat dia berkunjung ke makamku. Membawa bunga dan mencabuti rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitarnya. Dia membersihkan nisanku dengan sapu tangannya. Kemudian dia menangis, tidak berkata apa-apa. Aku berharap bisa menghapus air matanya."