"Apa aku benar-benar bisa bertemu dengannya? Apa dia bisa melihatku, seperti kalian melihatku?" tanya Adelia ragu. Â
"Ya, tentu saja." jawabku meyakinkan, "Yang pasti kita tidak bisa menemuinya malam ini, tidak dengan kondisimu yang seperti ini. Kau harus menenangkan pikiranmu dan istirahat. Dan, aku rasa kau harus menulis sesuatu untuk ibumu." Aku membuka laci meja, mengeluarkan kertas, dan memberikannya pada Adelia.Â
Keesokan harinya, kami pun pergi ke rumah mereka. Aku lihat wajah Adelia yang bersinar terang. Dia terlihat begitu berseri dengan gaun putih pendek yang ia kenakan.
Aku memperkenalkan diriku, Nadisa, relawan kematian. Terdengar aneh memang, ketika aku harus memperkenalkan diri berikut dengan profesiku yang anti-mainstream. Tapi, itu peraturan organisasi kami.Â
Kami tak ingin keluarga para arwah salah paham dan menganggap kami seorang dukun atau pembohong. Kami datang untuk membantu para arwah, kami datang membawa pesan yang belum tersampaikan dari kematian.Â
Setelah menyampaikan tujuanku, aku menaruh satu buket bunga yang ku bawa di bawah foto Adelia. Kemudian dia memintaku duduk dan memberiku secangkir teh. Â
Aku terus memandangi tubuhnya yang kurus dan ringkih, kedua matanya sembab, rambut keritingnya tidak tersisir dengan rapi, dan wajahnya pucat. Aku bisa merasakan penderitaannya. Tapi, aku juga merasakan semangat hidup yang masih tersisa. Dan itu pertanda yang bagus.
Dia bercerita banyak tentang masa kecil putrinya. Adelia yang duduk di sebelah ibunya terlihat tersenyum bahagia mendengar memori masa kecil itu. Dan senyumnya sirna seketika, saat ibunya sampai pada cerita tentang dirinya yang divonis mengidap kanker darah di usia 15 tahun.Â
"Ibu pikir, kami berdua bisa melewatinya bersama. Dia anak yang kuat dan penuh semangat," dia terdiam seketika sambil menatap kosong ke cangkir tehnya. "Ibu tidak menyangka dia akan menyerah. Dia pergi tanpa sepatah kata pun, Ibu bahkan tidak punya kesempatan untuk mengatakan selamat tinggal." tangisnya pecah.
Aku keluarkan sepucuk surat yang ditulis Adelia dari saku bajuku dan ku serahkan padanya. Aku biarkan dia membaca surat itu sampai selesai. Tanganya gemetar, dia tak kuasa menahan tangis.
Aku minta Adelia yang duduk di sebelahnya untuk menggenggam tanganku supaya ibunya bisa melihatnya. Aku sudah beritahu dia sebelum kami tiba, bahwa dia hanya punya waktu tujuh menit untuk bertemu ibunya. Ku katakan padanya untuk menggunakan waktu itu sebaik mungkin. Â