Manusia meninggal setiap hari, karena sakit, kecelakaan, dibunuh, bahkan bunuh diri. Tidak ada hal yang membahagiakan jika berbicara tentang kematian. Kita ditinggalkan oleh orang-orang yang kita cintai, meninggalkan kita dalam kesedihan dan penderitaan. Â
Ada banyak kisah menyedihkan tentang mereka yang ditinggal mati. Dan mungkin orang selalu berpikir, bahwa mereka yang ditinggalkan kematian adalah orang-orang yang paling menderita.Â
Tapi, mereka yang meninggalkan kehidupan juga menderita atau bahkan lebih menderita dari mereka yang ditinggalkan. Dan kau tidak akan mengerti maksud ucapanku, sampai kau mendengar kisahku.Â
Semua berawal di bulan Desember tahun lalu. Aku resmi menjadi relawan kematian setelah menjalani enam bulan masa pelatihan. Akhirnya, aku mendapatkan klien pertamaku.Â
Dia adalah arwah seorang gadis berusia 18 tahun bernama Adelia. Dia datang dengan mengenakan piyama abu-abu. Rambut keritingnya terlihat berantakan dan  menutupi hampir sebagian wajahnya.Â
Dia begitu pucat. Lingkar matanya hitam dan terlihat sayu. Aku melihat bekas luka di lehernya, sudah membiru. Dari situlah aku tahu kalau dia mati gantung diri. Dia berdiri tepat di hadapanku, seorang gadis yang putus asa, sedih, dan menderita.Â
Aku merasa canggung, tidak tahu apa yang harus aku katakan padanya. Aku berpikir, haruskah aku tanyakan bagaimana kabarnya, apa dia lapar, atau haruskah aku seperti dokter dan menanyakan apa keluhannya. Â Aku lihat dia sedang bersusah payah merapikan rambut keritingnya.Â
"Apa kamu punya sisir?"Â
Aku, yang sudah siap untuk membuka percakapan, seketika terdiam kembali. "Si...sisir?" tanyaku.
Aku terkejut mendengarnya dan merasa sangat norak di hari pertamaku. Aku membuka laci meja dan mencari apakah ada sisir di sana. Aku tidak menemukan sisir. Kemudian aku ingat kalau aku selalu membawa ikat rambut di kantong celanaku. Aku pun memberikan ikat rambutku sebagai pengganti sisir.Â
Setelah dia mengikat rambutnya, aku memintanya bercerita tentang kematiannya dan apa yang harus aku lakukan untuk menolongnya.