Aku tinggalkan mereka berdua. Aku lihat mereka berpelukan dan melampiaskan segala kerinduan yang ada. Sebenarnya, aku berharap bisa memberi mereka waktu lebih, tapi aku tidak bisa memberi waktu lebih pada kematian. Â
Ketika tujuh menit itu usai, aku kembali. Aku hanya melihat ibu dengan surat di genggamannya. Adelia entah pergi kemana. Dia menatapku, mengucapkan terima kasih. Aku memeluknya dan meyakinkan dia untuk terus melanjutkan hidup. Aku lambaikan tanganku padanya sebelum pergi. Kami pun berpisah.
Aku melihat Adelia di seberang jalan sambil terus melihat ke arah Ibunya. Aku menghampirinya dan berkata, "Dia akan baik-baik saja."Â
Dia menghela napas panjang, "Aku rasa, urusanku sudah selesai. Terima kasih sudah menolongku."
"Aku tidak tahu apa yang akan kau lalui setelah ini. Tapi, di manapun kau berada, aku akan selalu berdoa untuk kebahagiaan dan ketenangan jiwamu." itu adalah kata-kata perpisahan terbaik yang pernah aku ucapkan seumur hidupku.Â
Hari itu, aku melepas kepergiannya. Dia memejamkan kedua matanya dan aku lihat tubuhnya berubah menjadi debu perlahan, kemudian hilang terbawa angin dan mengibaskan rambutku.Â
Keesokan harinya, aku kedatangan klien baru. Dia adalah arwah laki-laki paruh baya, datang ke ruanganku mengenakan kemeja putih berlumuran darah, sekujur tubuhnya penuh luka, aku tahu dia meninggal karena kecelakaan hebat.Â
Dia bercerita, dulu dia menceraikan istrinya dan meninggalkannya bersama seorang putri yang sakit keras. Dia menyesal seumur hidupnya, dan dia ingin menemui mereka untuk meminta pengampunan. Namun kereta yang ditumpanginya mengalami kecelakaan. Aku pun bertanya siapa nama putrinya. Dan dia menjawab, "Adelia."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H