Mohon tunggu...
Melia Fitriani
Melia Fitriani Mohon Tunggu... Guru - guru, penulis, dan editor

Seorang guru yang gemar menulis fiksi dan menjadi editor lepas untuk naskah nonfiksi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sindrom I Hate Tuesday

2 Juli 2020   15:14 Diperbarui: 2 Juli 2020   15:23 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku selalu benci hari Selasa. Suram. Jika orang-orang sering merasa suram di hari Senin, untukku Selasa lebih suram. Sesuram langit kelabu ketika hujan. Bahkan, mendung hitam kadang lebih disukai daripada kelabu. Mengapa? Karena awan hitam selalu menumpahkan hujan dengan lebat tapi cepat reda. Tak seperti awan kelabu yang memberi hujan gerimis, lalu tak tahu kapan ia usai. Begitulah hari Selasa buatku.

Sudah beberapa bulan ini, mama terlibat hutang pada beberapa tempat pinjaman dengan bunga tinggi. Entah kenapa, mereka, penagih hutang itu, semuanya menyukai hari Selasa untuk datang ke rumah kami. Jika jarum jam sudah menunjukkan angka sepuluh pagi, saat itulah kami harus menutup semua pintu dan jendela. Mereka akan datang bergiliran mulai pukul sepuluh lebih tiga puluh di pagi hari sampai pukul tiga sore. Otomatis setiap Selasa kami selalu bersembunyi di dalam rumah kontrakan selama seharian. Entah sampai kapan. Hal ini memicu munculnya sindrom I hate Tuesday. Mengingat hari Selasa saja sudah menggigil tubuhku.

Mama memang meminjam uang untuk membangun usaha berjualan sayur dan bahan makanan berkeliling kampung. Tapi seperti pada umumnya, ada beberapa pelanggannya yang berhutang. Awalnya hanya satu dua orang. Mama masih bisa menutupnya dengan keuntungan hasil jualan. Tapi ketika hutang itu semakin menumpuk, ketika jumlah pelanggan yang berhutang juga makin bertambah, bukan hanya untung yang kabur, bahkan uang modal pun tidak kembali. Jadilah mama meminjam uang lagi di tempat pinjaman yang lain lagi, dengan harapan bisa menutupi kekurangan sebelumnya.

Sayangnya, semakin banyak dagangan mama, orang yang berhutang juga semakin banyak. Mama sendiri bukan orang yang tega jika melihat orang lain kesulitan. Jadilah kami seperti ini, terjerumus dalam lubang hutang karena kegagalan dalam usaha. Sementara kami mengunci diri setiap hari Selasa, di manakah mereka yang dulu rajin kemari untuk berhutang bahan makanan?

"Bahkan mereka tidak ada yang datang sekadar membayar hutang mereka yang dulu," keluh mama. Beberapa hari terakhir ini, dia lebih sering duduk di kursi dekat jendela, dengan wajah menghadap ke jalanan depan rumah tapi pandangannya menerawang jauh.

Melihatnya seperti itu, sungguh menjadikan siksaan tersendiri buatku. Tak tega rasanya melihat wanita yang kuanggap pahlawan sejak kecil itu terpuruk karena hutang. Aku sendiri tak bisa berbuat apa-apa. Ah... kenapa bahkan aku pun tak sanggup berjuang untuk mama?

"Ma, kalau mama mengizinkan, aku bisa berhenti sekolah dan mencari kerja mulai sekarang. Dengan begitu, kita bisa membayar hutang-hutang yang sudah menumpuk ini."

Mama menggeleng. "Tidak, Nduk. Kamu harus tetap sekolah. Sayang 'kan, tinggal beberapa bulan lagi kamu sudah lulus SMA."

"Tapi kondisi kita seperti ini, Ma."

"Tidak apa-apa, Nduk. Yakinlah, Tuhan tidak akan memberikan ujian yang melampaui kekuatan hamba-Nya. Kamu harus berjuang juga untuk ujian akhirmu di SMA." Sejenak berhenti berkata, Mama berusaha tersenyum padaku. "Kamu tahu, El? Dalam kondisi apapun, akan selalu ada jalan untuk menggapai cita-cita. Yakinlah!"

Aku mencoba tersenyum meski sebenarnya menangis dalam hati. Ya, selama ini yang bisa membuat kami bertahan hanyalah keyakinan akan hari esok yang lebih baik. Bahkan ketika dalam setiap harinya kami harus berpuasa menahan lapar tanpa tahu kapan akan berbuka karena memang tak ada sedikit pun makanan, kami masih tetap bertahan. Keyakinan terhadap kuasa Tuhan sajalah kini yang membuat kami bisa tetap hidup sampai saat ini.

***

"Panggilan kepada Ananda Elvira, sebelum pulang diharapkan menemui Bu Hani di ruang Kepala Sekolah." Pengumuman melalui speaker itu membuat seisi kelas menoleh ke arahku.

"Wah, kamu dipanggil Ibu Kepsek, El," celetuk Rini, temanku sebangku.

"Enggak kok. Ngapain aku dipanggil Ibu Kepsek? Lulus SMA aja belum," jawabku ringan. Rini meringis menahan tawa.

"Lelucon garing," sahutnya.

Aku tidak menjawab. Hanya tersenyum lalu komat-kamit lagi, melanjutkan hafalan Sistem Periodik Unsur-Unsur. Biarpun materi ini sudah disampaikan sejak awal masuk SMA, tapi kalau tidak rutin dibaca, akan cepat menguap dan pergi begitu saja dari ingatan.

"Ada masalah apa ya, El? Kok sampai ke Kepala Sekolah?" tanya Rini lagi.

Aku terdiam sejenak. "Entahlah. Mungkin karena aku keseringan bolos tiap hari Selasa. Mungkin beliau dapat laporan dari Ibu BP (Bimbingan dan Penyuluhan)---nama sebenarnya Ibu Ratna, tapi kami terbiasa memanggilnya Ibu BP---karena Bu BP sudah tidak sanggup lagi menasihatiku."

Rini manggut-manggut mendengar ucapanku. "Iya juga ya. Lagian kamu sih, keras kepala banget. Kamu bisa kan tinggal di tempatku? Mama lagi butuh tenaga untuk bantuin bersih-bersih di rumah. Kalau kamu mau, kan enak. Kamu bisa tiap hari berangkat sekolah, dapat penghasilan juga. Jadi mamamu tidak sampai menunggak hutang di bank."

"Aku gak tega kalau harus meniggalkan mama sendirian di rumah, Rin," ucapku lagi. "Kondisi Mama akhir-akhir ini kurang baik."

"Karena banyak pikiran mungkin, El. Mikirin hutang."

"Bisa jadi." Aku menghela napas panjang. Kalau sudah gini, mau hafalan seperti apapun pasti menguap lagi. Konsentrasiku buyar karena memikirkan hal ini.

Rini geleng-geleng kepala melihatku. "Coba nanti kamu bicarakan lagi sama mama kamu, El."

Aku tidak menjawab ucapannya.

***

"Assalamu'alaikum," ucapku ragu-ragu ketika memasuki ruangan bernuansa oranye itu. Seorang wanita cantik berkaca mata mendongak dan tersenyum.

"Wa'alaikum salam warahmatullah. Silakan masuk, Elvira. Silakan duduk!" jawabnya ramah.

Aku memilih duduk di sofa yang terletak di samping meja kepala sekolah. Lagi-lagi Bu Hani tersenyum.

"Kenapa kamu tidak memilih duduk di kursi depan saya ini, El?"

"Saya tidak mau dianggap seperti anak nakal yang sedang diinterogasi, Bu," jawabku mantap.

Bu Hani manggut-manggut. Dia mengalah, beranjak dari tempat duduknya dan menuju sofa. Setelah bersalaman, kami berdua pun mulai bercakap-cakap.

"Saya sudah mendengar banyak tentangmu dari Bu Ratna dan bapak ibu guru yang lain," ucapnya membuka percakapan.

"Iya, Bu," jawabku singkat.

"Dari data yang saya peroleh, kamu sebenarnya punya banyak kemampuan ya, El. Hanya saja..."

"Hanya saja, saya sering  bolos ya, Bu?" sahutku kurang ajar. Kalau ibuku tahu, pasti aku dimarahi habis-habisan. Tidak baik memotong pembicaraan orang lain.

Untungnya Bu Hani tidak marah. Malah dia tertawa.

"Iya. Saya tahu. Mungkin kamu sudah bosan setiap kali bolos terus dipanggil Bu Ratna ke Ruang BP. Mungkin kamu juga sudah bosan setiap kali terlambat harus dihukum Pak Yani berlari keliling lapangan berkali-kali." Terdiam sejenak, Bu Hani lantas melanjutkan ucapannya. "Saya tahu, kamu sebenarnya anak baik. Kamu tidak punya pilihan lain jika harus bolos hari Selasa, karena ketiadaan biaya."

Aku mengumpat dalam hati. Ini pasti kerjaan Rini. Pasti dia sudah membocorkan kisah ini kepada Bu Kepsek.

"Saya tahu, kamu bukannya tidak tahu sopan santun kepada guru, El. Kamu hanya kesal karena menganggap kami semua tidak tahu kondisi kamu yang sebenarnya sehingga menghukum kamu setiap kali telat ataupun bolos sekolah."

"Saya tidak mau dikasihani, Bu," ucapku pelan. Ya, aku memang tidak punya apa-apa. Tapi aku tidak mau dikasihani. Karena itulah, aku tidak mau ada seorang pun tahu kondisiku yang sebenarnya. Hanya Rini tempatku bercerita dan mengeluh saat aku benar-benar butuh teman.

"Kamu jangan salahkan Rini." Aku mendongak memandang Bu Hani dengan heran. Darimana dia tahu aku sedang memikirkan Rini?Wah, apa Bu Han punya indera keenam? Apa dia bisa membaca batin seseorang?

"Mungkin kamu akan menyalahkan Rini karena hanya dia tempatmu curhat selama ini. Tapi tidak, El. Saya punya orang-orang tertentu yang bisa mengawasi semua murid-murid saya di sekolah ini. Terutama jika siswa tersebut punya kelebihan sepertimu."

Aku menarik napas lega. Jadi ternyata, Rini memang bisa dipercaya. Tapi siapa sih orang usil yang jadi kaki tangan Bu Hani untuk mengawasiku?

"Saya tahu kamu tidak ingin dikasihani. Saya juga tahu kemampuan kamu selama ini. Jadi, saya mau mengajukan penawaran untukmu, El." Bu Hani tersenyum misterius. Aku mengernyitkan kening.

"Penawaran apa, Bu?" tanyaku menyelidik.

Bu Hani mengambil sebuah map kertas lalu mengulurkannya kepadaku. Kubuka isinya. Beasiswa Mengikuti Ujian.

"Itu adalah penawaran beasiswa untuk mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. Jika kamu berhasil lolos pada ujian masuk, otomatis kamu akan bisa kuliah dan mendapatkan beasiswa tahun pertama. Di sana nanti, jika prestasimu bagus, kamu bisa mendapatkan beasiswa untuk tahun kedua dan seterusnya."

Bu Hani menepuk pundakku. "Saya tahu kamu punya kemampuan untuk ini. Ikutlah, Nak. Buktikan pada dunia bahwa kamu bisa mengatasi semua ujian ini dengan mudah. Buat ibumu bangga dengan ini."

Aku menunduk, tak tahu harus berkata apa. Ini peluang yang bagus. Aku ingin bisa ikut, tapi...

"Bagaimana mungkin saya bisa kuliah, Bu. Sedangkan uang sekolah SMA saja saya sudah nunggak berbulan-bulan." Ah... aku benci air mata. Tapi kali ini, aku terisak juga. Aku sangat ingin bisa terus sekolah. Tapi bahkan untuk bisa lulus SMA pun seperti mustahil saat ini. Memang, selama ini aku bisa bertahan karena prestasiku. Setiap kali mendapat peringkat di kelas, wali kelas akan memberiku alat-alat tulis yang kubutuhkan sebagai hadiahnya. Tapi masalah biaya, itu lain lagi.

"Saya lihat, kamu punya bakat linguistik yang baik."

"Maksud Ibu?" tanyaku sambil menyeka air yang menggenang di sudut mata.

"Kamu 'kan yang rajin mengisi mading kita dengan cerpen-cerpen imajinatif dan inspiratif itu?"

Aku tersenyum samar. Senyum yang tidak sampai ke mata. Betapa konyolnya aku. Menulis cerpen-cerpen inspiratif, sedangkan aku sendiri tak mampu berbuat apa-apa atas hidupku dan mamaku.

"Ibu pasti menganggap saya penuh kepalsuan karena tulisan-tulisan itu," gumamku.

Bu Hani menggeleng. "Kamu salah, El. Kami tidak pernah menganggapmu seperti itu. Bagi kami, kamu adalah siswa menakjubkan yang mampu menulis fiksi dengan diksi yang indah dan alur yang menawan. Seperti yang saya katakan tadi, kemampuan bahasamu di atas rata-rata anak seusiamu.

"El. Bukalah hatimu, Nak! Jangan selalu berpikir negatif tentang kami para guru dan juga tentang teman-temanmu. Kamu tahu, sebenarnya di sini, banyak sekali siswa yang menyukai tulisanmu. Banyak siswa yang menyayangimu dan ingin berteman denganmu. Sayang kamu terlalu tertutup dan minder karena kondisi keluargamu."

Aku menghela napas panjang. Ya, Bu Hani benar. Selama ini, aku memang terlalu egois. Tak pernah peduli dengan teman-teman lain, dan hanya sibuk dengan urusanku sendiri. Tapi itu karena aku takut diejek karena sering bolos. Aku takut dihina karena sering menunggak uang pembayaran sekolah. Masih ingat ketika aku dimarahi bendahara kelas karena aku tidak punya uang sepeser pun untuk membayar iuran. Padahal bukan niatku untuk sengaja tidak membayar. Mereka pun tahu, aku tidak pernah punya uang saku sekadar untuk jajan dan sarapan di kantin. Aku tak pernah tahu seperti apa kantin sekolahku sendiri. Kenapa mereka marah karena aku tidak bisa bayar iuran kelas?

"Mungkin sudah agak terlambat karena kamu sudah kelas tiga SMA. Tapi, tidak ada salahnya jika saya mulai sekarang." Bu Hani bangkit dari duduknya. Dia mengambil sebuah majalah remaja di mejanya. "Saya ingin menawarkan kepadamu untuk membuat majalah sekolah."

"Wah!" Aku berseru spontan. "Serius, Bu?"

Bu Hani tersenyum melihatku kembali bersemangat. Aku sampai tersipu malu dibuatnya.

"Iya. Tentu saja saya serius. Kamu bisa mulai membuat konsepnya malam nanti. Tim redaksinya besok bisa kita susun dengan dipandu Pak Hafiz (Pengajar Bahasa Indonesia). Kita juga akan berusaha mencari sponsor untuk majalah sekolah ini. Oh ya, dan juga, setiap penulis naskah akan mendapatkan honor. Bagaimana?"

"Setujuuu!" Aku memekik gembira lalu tanpa sadar memeluk Ibu Kepala Sekolah yang anggun dan baik hati ini. Ya, Bu Hani adalah guru paling keren dan juara satu di hatiku. "Terima kasih, Bu!"

"Sama-sama, El," jawabnya. "Sudah, sana pulang. Sudah sore. Bisa dicariin mamamu nanti."

Aku tertawa. Setelah bersalaman, segera aku berlari pulang. Langkahku terasa demikian ringan kali ini. Mungkin karena banyak sekali beban pikiran yang mendadak jatuh di ruang kepala sekolah tadi.

Terima kasih, Ya Allah. Telah kau pertemukan aku dengan orang-orang baik seperti Bu Hani, yang bisa memberi solusi tanpa harus melukai harga diriku. Tanpa menjauhkan aku dengan mamaku juga.

***

Setelah Elvira berpamitan dan keluar dari ruang kepala sekolah, Bu Hani segera mengemasi barang-barangnya. Seseorang berseragam abu-abu putih sudah menunggunya di luar ketika Bu Hani mengunci pintu.

"Bagaimana, Ma? Dia setuju dengan penawaran Mama?" tanya remaja itu.

Bu Hani mengangguk. "Tentu. Siapa dulu dong? Mama!"

Remaja laki-laki itu tampak begitu riang mendengarnya.

"Syukurlah. Semoga saja beban Elvira bisa berkurang ya, Ma. Dengan begitu, dia tidak akan bersedih lagi dan bisa ikut pelajaran Seni Lukis setiap Selasa."

"Yups. Semoga saja, jika dia ikut kelas Seni Lukis, dia akan bisa melihat lukisan dirinya di ruang kesenian."

"Mama, jangan bilang gitu dong." Remaja itu memekik malu.

"Ya. Dan semoga saja, setelah ini dia akan sadar, betapa sebenarnya, ada seseorang yang sangat menyayanginya di sini."

"Mama..."

Bu Hani tertawa. Sebenarnya, ada rahasia kecil yang tidak Elvira tahu. Seseorang yang mengawasi Elvira selama ini adalah Niko, putra kesayangannya yang juga ketua kelas di kelas yang sama dengan Elvira. Niko naksir berat pada Elvira. Sayangnya, gadis itu tidak pernah menyadari kehadiran Niko karena dia terlalu sedih dengan kondisi keluarganya yang terjerat hutang.

Niko sendiri merasa sedih melihat kondisi Elvira. Apalagi setelah dia tahu bahwa setiap Selasa, Elvira tidak pernah masuk sekolah. Pernah dia mencoba untuk datang ke rumah Elvira, sekadar menanyakan kondisinya. Tapi, rumah itu sepi dan tertutup rapat. Hanya ada beberapa orang berjaket hitam yang datang silih berganti ke rumah gadis itu.

"Ma."

"Ya?"

"Terima kasih ya?"

Bu Hani tersenyum. "Tidak usah berterima kasih. Sudah tugas Mama 'kan, untuk memastikan semua siswa di sekolah Mama ada dalam kondisi terbaiknya. Terutama saat mendekati ujian akhir seperti ini." Mama berhenti, lalu menatap wajah Niko.

"Niko, kamu juga, janji sama Mama ya. Jangan pernah berpikir untuk pacaran sampai lulus SMA nanti. Mama ga mau nilai kamu melorot karena pacaran."

Niko tergelak.

"Tenang aja, Ma. Niko juga ga mau kok, kalau posisi Niko di peringkat pertama sampai direbut Rini dan Elvira."

Bu Hani tersenyum. Semoga saja, anak-anak ini akan berjuang semaksimal mungkin untuk masa depan mereka.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun