"Saya tahu kamu tidak ingin dikasihani. Saya juga tahu kemampuan kamu selama ini. Jadi, saya mau mengajukan penawaran untukmu, El." Bu Hani tersenyum misterius. Aku mengernyitkan kening.
"Penawaran apa, Bu?" tanyaku menyelidik.
Bu Hani mengambil sebuah map kertas lalu mengulurkannya kepadaku. Kubuka isinya. Beasiswa Mengikuti Ujian.
"Itu adalah penawaran beasiswa untuk mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. Jika kamu berhasil lolos pada ujian masuk, otomatis kamu akan bisa kuliah dan mendapatkan beasiswa tahun pertama. Di sana nanti, jika prestasimu bagus, kamu bisa mendapatkan beasiswa untuk tahun kedua dan seterusnya."
Bu Hani menepuk pundakku. "Saya tahu kamu punya kemampuan untuk ini. Ikutlah, Nak. Buktikan pada dunia bahwa kamu bisa mengatasi semua ujian ini dengan mudah. Buat ibumu bangga dengan ini."
Aku menunduk, tak tahu harus berkata apa. Ini peluang yang bagus. Aku ingin bisa ikut, tapi...
"Bagaimana mungkin saya bisa kuliah, Bu. Sedangkan uang sekolah SMA saja saya sudah nunggak berbulan-bulan." Ah... aku benci air mata. Tapi kali ini, aku terisak juga. Aku sangat ingin bisa terus sekolah. Tapi bahkan untuk bisa lulus SMA pun seperti mustahil saat ini. Memang, selama ini aku bisa bertahan karena prestasiku. Setiap kali mendapat peringkat di kelas, wali kelas akan memberiku alat-alat tulis yang kubutuhkan sebagai hadiahnya. Tapi masalah biaya, itu lain lagi.
"Saya lihat, kamu punya bakat linguistik yang baik."
"Maksud Ibu?" tanyaku sambil menyeka air yang menggenang di sudut mata.
"Kamu 'kan yang rajin mengisi mading kita dengan cerpen-cerpen imajinatif dan inspiratif itu?"
Aku tersenyum samar. Senyum yang tidak sampai ke mata. Betapa konyolnya aku. Menulis cerpen-cerpen inspiratif, sedangkan aku sendiri tak mampu berbuat apa-apa atas hidupku dan mamaku.