"Ibu pasti menganggap saya penuh kepalsuan karena tulisan-tulisan itu," gumamku.
Bu Hani menggeleng. "Kamu salah, El. Kami tidak pernah menganggapmu seperti itu. Bagi kami, kamu adalah siswa menakjubkan yang mampu menulis fiksi dengan diksi yang indah dan alur yang menawan. Seperti yang saya katakan tadi, kemampuan bahasamu di atas rata-rata anak seusiamu.
"El. Bukalah hatimu, Nak! Jangan selalu berpikir negatif tentang kami para guru dan juga tentang teman-temanmu. Kamu tahu, sebenarnya di sini, banyak sekali siswa yang menyukai tulisanmu. Banyak siswa yang menyayangimu dan ingin berteman denganmu. Sayang kamu terlalu tertutup dan minder karena kondisi keluargamu."
Aku menghela napas panjang. Ya, Bu Hani benar. Selama ini, aku memang terlalu egois. Tak pernah peduli dengan teman-teman lain, dan hanya sibuk dengan urusanku sendiri. Tapi itu karena aku takut diejek karena sering bolos. Aku takut dihina karena sering menunggak uang pembayaran sekolah. Masih ingat ketika aku dimarahi bendahara kelas karena aku tidak punya uang sepeser pun untuk membayar iuran. Padahal bukan niatku untuk sengaja tidak membayar. Mereka pun tahu, aku tidak pernah punya uang saku sekadar untuk jajan dan sarapan di kantin. Aku tak pernah tahu seperti apa kantin sekolahku sendiri. Kenapa mereka marah karena aku tidak bisa bayar iuran kelas?
"Mungkin sudah agak terlambat karena kamu sudah kelas tiga SMA. Tapi, tidak ada salahnya jika saya mulai sekarang." Bu Hani bangkit dari duduknya. Dia mengambil sebuah majalah remaja di mejanya. "Saya ingin menawarkan kepadamu untuk membuat majalah sekolah."
"Wah!" Aku berseru spontan. "Serius, Bu?"
Bu Hani tersenyum melihatku kembali bersemangat. Aku sampai tersipu malu dibuatnya.
"Iya. Tentu saja saya serius. Kamu bisa mulai membuat konsepnya malam nanti. Tim redaksinya besok bisa kita susun dengan dipandu Pak Hafiz (Pengajar Bahasa Indonesia). Kita juga akan berusaha mencari sponsor untuk majalah sekolah ini. Oh ya, dan juga, setiap penulis naskah akan mendapatkan honor. Bagaimana?"
"Setujuuu!" Aku memekik gembira lalu tanpa sadar memeluk Ibu Kepala Sekolah yang anggun dan baik hati ini. Ya, Bu Hani adalah guru paling keren dan juara satu di hatiku. "Terima kasih, Bu!"
"Sama-sama, El," jawabnya. "Sudah, sana pulang. Sudah sore. Bisa dicariin mamamu nanti."
Aku tertawa. Setelah bersalaman, segera aku berlari pulang. Langkahku terasa demikian ringan kali ini. Mungkin karena banyak sekali beban pikiran yang mendadak jatuh di ruang kepala sekolah tadi.