Sebagai seorang pemerhati hukum internasional, ada banyak hal yang menganggu benak saya akhir-akhir ini. Banyaknya korban dan tangisan anak-anak di Palestina yang menjadi korban perang hanyalah satu dari sekian banyaknya kekhawatiran tersebut.Â
Namun yang paling mengganggu saya bagai bisul di kantung mata adalah kemunafikan banyak pemimpin Barat dan para akademisinya beserta para selebritas papan atas yang memiliki jutaan bahkan milyaran penggemar di seluruh dunia.Â
Tidak hanya itu, dalam perang melawan penindasan dan "genosida" ini, sistem yang ada telah dirancang sedemikian rupa untuk melanggengkan praktik keji nan barbar tersebut.Â
Shadow-banned yang dilakukan oleh Instagram terhadap postingan-postingan berbau pembebasan Palestina atau jawaban dari Chat GPT ketika ditanya mengenai konflik Israel-Palestina dan menghasilkan jawaban yang sangat bias hanyalah beberapa diantaranya.
Di zaman dimana manusia mudah sekali terpapar hoax dan misinformasi ini, yang paling disayangkan adalah kenapa hoax dan informasi palsu tersebut disebarkan oleh seorang pemimpin negara dan aktris aktris ternama dunia. Presiden AS Joe Biden, setidaknya telah mengatakan beberapa kebohongan terkait konflik Israel-Palestina ini.Â
Beberapa diantaranya adalah kebohongan terkait pemenggalan bayi dan anak-anak dimana ia berkata telah melihat hal tersebut. Pernyataan ini kemudian ditarik oleh White House dan meluruskannya bahwa Presiden Biden belum melihat gambar anak-anak dan bayi yang dipenggal tersebut.
 Presiden Biden juga berkata bahwa "women raped, assaulted, paraded as trophies" dimana kebenaran mengenai pemerkosaan tersebut belum dapat dibuktikan kebenarannya oleh organisasi-organisasi HAM yang ada.Â
Pernyataan-pernyataan yang eksplisit ditujukan untuk mendukung tindakan represif Israel juga dikeluarkan oleh Ursula von der Leyen sebagai Presiden European Commission, perdana menteri Inggris, Rishi Sunak, serta kanselir Jerman, Olaf Scholz.Â
Hal ini tidak mengherankan lagi sebab mereka juga telah mengkategorikan Hamas sebagai organisasi teroris sehingga Israel berhak atas "hak membela diri"-nya yang juga dijamin di dalam piagam PBB.Â
Namun yang menjadi tidak masuk akal bagi saya adalah pernyataan blunder dan absurd yang dikeluarkan oleh berbagai selebritas papan atas dunia dan para akademisi hukum internasional sendiri.Â
Gal Gadot yang memiliki 109 juta pengikut di akun Instagramnya dan terkenal sebagai tokoh "Wonder Woman", memposting surat terbuka yang dibuat olehnya beserta segenap aktris dan tokoh-tokoh Hollywood. Di dalam surat tersebut, dikatakan bahwa "...and for the Palestinians, who have also been terrorized, oppressed, and victimized by Hamas for the last 17 years that the group has been governing Gaza..".Â
Bagaimana ia kemudian dapat dengan percaya dirinya menyebut Hamas telah menteror dan menindas warga Palestina? Semua orang di dunia tahu bahwa dalam pandangan rakyat Palestina yang terjajah, Hamas adalah pahlawan bagi mereka yang juga pada saat bersamaan dikategorikan sebagai teroris oleh negara lain.Â
Pernyataan blunder dan minim informasi ini juga dibarengi dengan rasa terimakasih mereka kepada Presiden Biden yang telah meyakinkan secara moral, memberikan support, dan kepemimpinan kepada masyarakat Yahudi.Â
Mari kita biarkan sejenak bias keagamaan dan fakta bahwa Gal Gadot adalah seorang Yahudi yang lahir dan besar di Israel (juga pernah menjadi anggota IDF selama dua tahun).Â
Karena walau bagaimanapun, ia tidak memiliki hak untuk bicara atas nama komunitas Yahudi (dimana bahkan di dalam komunitas Yahudi pun ada banyak friksi yang menentang penindasan dan praktik etnic cleansing yang dilakukan oleh pemerintah Israel), apalagi berbicara atas nama rakyat Palestina yang katanya dijajah oleh Hamas sendiri yang jelas-jelas berkebalikan dengan realita yang ada.Â
Surat terbuka tersebut meskipun isinya menginginkan masyarakat Israel dan Palestina hidup berdampingan dengan damai, memiliki tendensi untuk mendukung pemerintah AS yang ada di belakang pemerintah Israel untuk terus melanggengkan praktik barbarisme yang sangat bertentangan dengan hukum internasional dan prinsip-prinsip kemanusiaan tersebut.Â
Maka sejarah harus mengenang orang-orang yang ada di balik sistem yang kacau ini beserta para pendukungnya. Untuk dicatat, mereka yang menandatangani surat terbuka ini termasuk di dalamnya adalah Adam Sandler, Amy Schumer, Behati Prinsloo, Bella Thorne, Bradley Cooper, Chris Rock, Constance Wu, Courtney Cox, Gwyneth Paltrow, Isla Fisher, Justin Timberlake, Jessica Biel, Julia Garner, James Corden, Katy Perry, Kirsten Dunst, Lana Del Rey, Madonna, Mila Kunis, Orlando Bloom, Rita Ora, dan Zoe Saldana.Â
Sehingga lain kali kita mendengar orang-orang ini atau melihat wajah mereka, ingatlah bahwa mereka adalah wajah dari sebagian orang yang menyebarkan informasi tak berdasar dan berada di balik kuatnya pemerintah AS dalam memback-up Israel untuk terus menindas rakyat Palestina. Hollywood agaknya salah memilih wonder-woman untuk dijadikan panutan dan sumber inspirasi bagi jutaan masyarakat yang menonton.
Tak cukup sampai disana, kegundahan saya juga berdasar atas banyaknya akademisi, kolumnis dan penulis, serta tokoh masyhur kelas dunia yang tidak berani mengatakan apa yang seharusnya dikatakan.Â
Sebagian dari mereka ada yang secara terang-terangan menyebut bahwa mereka membela Israel dan self defense-nya, sebagian ada yang seolah bersikap netral dan tak mau berpihak padahal ada bias yang terkandung di dalam kata-kata itu.Â
Salah satu pernyataan yang sangat mengecewakan datang dari Yuval Noah Harari, penulis buku dan juga sejarawan yang sangat disegani di dunia. Bukunya, Sapiens, telah diterjemahkan ke dalam 40 bahasa di dunia dan telah terjual lebih dari empat puluh juta copy di seluruh dunia.Â
Bukunya yang lain yaitu Homo Deus dan 21 Pelajaran untuk Abad ke 21 juga menjadi buku-buku bestseller yang tentunya telah dibaca jutaan orang. Penjelasan-penjelasan yang ia berikan sangat komprehensif dan mudah dicerna. Ia tak diragukan lagi adalah seorang penulis brilian. Namun apa yang terjadi ketika konflik Israel-Palestina ini merebak? Tentu saja sebagai seorang akademisi ia menghindari keberpihakan dan mencoba mengatakan bahwa ia menginginkan perdamaian  bagi kedua belah pihak. Namun pernyataan-pernyataan yang ia berikan justru sebaliknya.Â
Dalam wawancaranya dengan Guardian, ia bersama sembilan puluh akademisi dan aktivis perdamaian di Israel mengungkapkan bahwa mereka kecewa terhadap "ketidakpedulian" sejumlah tokoh progresif Amerika dan Eropa terhadap kekejaman Hamas dan menuduh para politisi tersebut "sangat tidak peka moral" dan mengkhianati politik sayap kiri hanya karena mereka tidak mau mengutuk serangan Hamas.Â
Sayap kiri sendiri di Eropa berarti mereka yang mendukung kesetaraan, kebebasan, keadilan, dan kesejahteraan. Harari bersama akademisi-akademisi Israel tersebut juga menambahkan kekecewaannya terhadap elemen kiri global yang kadang-kadang membenarkan tindakan Hamas juga menempatkan semua tanggung jawab pada Israel.Â
Harari adalah orang yang tidak menerima gagasan bahwa Israel seharusnya menghancurkan Gaza, tapi Harari adalah juga orang yang sama yang mengatakan bahwa jelas Israel tidak bermaksud untuk membunuh sebanyak mungkin warga sipil di Palestina. Ia menolak argumen sepenuhnya bahwa pemerintah Israel bertanggungjawab atas situasi populasi Palestina yang mengerikan itu. Harari, seorang akademisi terkemuka dan terpercaya di dunia, menutup matanya atas impunitas yang selama ini menjadi akar permasalahan di konflik tersebut. Kita mungkin bertanya-tanya mengapa ia mendadak menjadi "tumpul" seperti itu.Â
Dalam mencermati isu ini, hal-hal yang sifatnya sangat subjektif dan personal seperti ia yang adalah warga Israel dan karenanya dalam pandangannya Hamas akan selalu dikategorikan sebagai kelompok yang merongrong keamanan negaranya dan juga fakta bahwa bibi dan pamannya tinggal di salah satu kibbutzim yang menjadi sasaran Hamas dalam serangan Oktober tersebut harus ditinggalkan. Konflik yang terjadi antar kedua negara tersebut jauh dari sekedar konflik agama saja, oleh karenanya anasir-anasir yang berbau agama secara personal harus dibiarkan sejenak.Â
Karena bagaimana bisa hanya dengan membela warga Palestina yang ditindas kita menjadi seorang antisemit? Tidak ada hubungan yang relevan diantara keduanya. Karena yang menjadi akar masalah adalah pendudukan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh rezim yang rasis. Maka sasarannya jelas adalah pemerintah Israel sendiri alih-alih orang Yahudi dan komunitasnya. Kita harus belajar untuk melihat sesuatu sebagaimana adanya dalam kualitas personalnya, bukan dari keterkaitannya atas suatu agama atau embel-embel tertentu.
Harari dalam akun Instagramnya juga mempublikasikan potongan wawancara yang ia lakukan dengan sejumlah media masa. Dalam salah satu wawancara tersebut ia mengatakan bahwa "If you have to choose between justice and peace, choose peace." Tentu saja ini dikatakan dalam kapasitasnya sebagai akademisi yang bebas melangkahkan kakinya kemanapun ia mau. Namun apakah pernyataan ini terdengar relevan dengan keputusasaan orang-orang di Palestina yang "dipenjara" di "world's largest open-air prison"?Â
Dengan logika seperti yang disampaikan Harari, maka rakyat Indonesia lebih baik diam dalam damai ketika dahulu "dijajah" ratusan tahun secara "halus" oleh Belanda sebelum agresi. Atau jika misalnya ada kelompok minoritas yang diperlakukan berbeda tetapi mereka hanya bisa nerimo saja karena lebih baik memilih damai daripada ribut-ribut. Logika berpikir Harari tentunya tidak dapat dibenarkan dalam semua konteks dan mungkin hanya benar di beberapa konteks. Perdamaian dan keadilan keduanya harus ditegakkan secara proporsional dan bersamaan. Karena faktanya tidak ada perdamaian tanpa keadilan.Â
Dalam wawancara tersebut Harari juga menyebutkan bahwa "we should not use historical injuries to justify more injuries." Jika memang yang dimaksudnya adalah "balas dendam sejarah", maka apa hubungannya dengan konflik ini? Karena akar permasalahannya adalah ada orang-orang yang ditindas selama puluhan tahun dirinya hidup dan saat ini melakukan perlawanan agar penderitaannya dihentikan. Sehingga pembenarannya bukan dari balas dendam sejarah, melainkan pembenarannya adalah karena seseorang telah lelah keluarga dan teman-temannya dibunuh, dipinggirkan dan dipenjara selama bertahun-tahun orang tersebut hidup.Â
Sehingga singkatnya jika tidak ingin membawa-bawa balas dendam sejarah selama puluhan tahun lalu sebagaimana yang dikatakan Harari, maka hitung saja berapa lama orang tersebut hidup dari dalam kandungan ibunya hingga detik ini ia menjadi korban. Jika saat ini gencatan senjata dan jeda kemanusiaan adalah solusi instan yang walaupun memang urgen untuk dilakukan, tapi patut kita ingat bahwa hal itu tidak menyelesaikan root problem yang ada.Â
Jika misalnya hari ini perang selesai maka kedamaian juga tidak akan serta merta tercipta. Karena perdamaian di wilayah tersebut memang tidak semudah itu dan tidak mudah diselesaikan hanya dengan sedikit kompromi. Jika penindasan dan praktik apartheid serta genosida tersebut terus dilakukan maka kekerasan ini tidak akan berakhir.Â
Orang-orang tidak akan memilih perdamaian daripada keadilan dengan semudah yang dikatakan Harari jika memang mereka masih diperlakukan seperti binatang. Karena bagi mereka, untuk apa damai jika mereka tetap hidup di dalam penjara terbuka terbesar di dunia? Maka yang timbul di pikiran mereka adalah lebih baik mati demi pembebasan daripada hidup dalam penindasan. Akumulasi dari praktik ketidakadilan yang terus berlanjut selama berdekade-dekade itu yang membuat perdamaian tidak akan tercipta dalam waktu sekejap. Karena orang-orang Palestina tidak hidup di dalam region dimana ketidakadilan mewujud sebagai masalah bantuan sosial yang hanya berbeda beberapa angka sehingga ada pihak-pihak yang merasa dirugikan.Â
Ketidakadilan yang dialami oleh orang-orang Palestina sudah benar-benar diluar nalar kita sebagai manusia yang memiliki hati nurani dan akal sehat. Sehingga bagi saya pribadi, dalam konteks ini lebih masuk akal untuk memilih keadilan daripada kedamaian semu. Karena masalah ketidakadilan dan impunitas berat yang tidak pernah diselesaikan akan menimbulkan permasalahan besar di kemudian hari, siklus kekerasan yang tidak akan pernah berakhir. Lantas bagaimana perdamaian bisa tercipta dari sini? Karena meskipun perdamaian akan tercipta untuk sementara waktu, kekerasan demi keadilan akan terus bergulir lagi dan lagi. Sehingga permasalahan konflik ini jika tidak selesai hari ini maka besok akan terjadi lagi. Sehingga seharusnya yang perlu dilakukan adalah menyelesaikan dahulu permasalahan keadilan barulah kemudian peace talk. Sebagai seorang sejarawan, Harari seharusnya paham betul faktor apa saja yang menyebabkan sejarah berulang.Â
Maka jika memang seperti itu maka keadilan haruslah ditegakkan terlebih dahulu. Dengan keadilan disini maksudnya bukanlah jatuh korban seribu dibalas membunuh seribu. Keadilan disini adalah semudah memperlakukan orang-orang Palestina sama dan sederajat layaknya manusia. Harari mungkin lupa jika perdamaian dibangun di atas prinsip kemanusiaan dan persamaan derajat. Hal itu juga sudah jelas tertuang di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Masyarakat juga perlu diingatkan lagi oleh maxim yang terkenal di dunia hukum, Fiat Justitia Ruat Caelum yang artinya tak lain dan tak bukan adalah Keadilan Akan Ditegakkan Meski Langit Akan Runtuh.Â
Keadilan akan direalisasikan tidak peduli apapun konsekuensinya. Sehingga bagi saya, mendengar pernyataan Harari yang mengatakan kita harus memilih kedamaian daripada keadilan terdengar seperti kata-kata dari seorang penjajah yang mencoba untuk membungkam segala perlawanan yang ada melawan kelaliman. Mengingat kapasitasnya sebagai akademisi terkemuka yang disegani banyak orang didunia dan dijadikan kiblat pengetahuan, bukankah hal tersebut merupakan suatu pengkhianatan intelektual?
Saya mungkin sedikit menghibur diri karena Harari notabenenya adalah akademisi sejarah dan tidak semua orang ahli di semua bidang. Maka saya mengalihkan kekecewaan saya pada segenap akademisi hukum internasional. Mungkin saya dapat merasakan secuil kelapangan dari mereka dikarenakan mereka memahami banyak mengenai hukum internasional tersebut dan apa yang dilakukan oleh pemerintah Israel jelas-jelas memang sebuah pelanggaran murni hukum internasional.Â
Namun tepat ketika saya mengetikan jari untuk mengunjungi website yang dijadikan rujukan bagi para mahasiswa dan akademisi hukum internasional, Ejil Talk, untuk melihat opini para editor mengenai konflik yang sedang bergulir ini, saya sudah memiliki firasat yang tidak enak bahkan ketika saya baru membaca judulnya. Semakin dibaca hingga akhir, ternyata firasat saya benar adanya. Saya kembali tenggelam dalam kekecewaan.
Kekecewaan saya di atas bukanlah tidak berdasar. Bagaimana tidak, saya membaca satu diantara dua artikel yang mereka produksi ketika konflik Oktober ini berkobar, artikel tersebut berjudul "Our Shared Horror". Sementara satu artikel lain hanya berisi klarifikasi atau tanggapan surat kepada redaksi terkait publikasi simposium berdasarkan makalah yang dipresentasikan pada Konferensi Israeli Defence Forces (IDF) mengenai kebiasaan di dalam hukum perang internasional.Â
Berbeda dengan artikel kedua, artikel pertama berisi opini yang ditulis oleh Janina Dill (Co-Director dari Oxford Institute for Ethics, Law and Armed Conflict (ELAC)) yang juga saya kira mewakili Ejil Talk keseluruhan.Â
Secara umum bila dibaca sekilas, opini tersebut terkesan netral dan tak berpihak. Di awal hingga pertengahan bagian artikel disebutkan bahwa kedua belah pihak baik Hamas maupun IDF telah melakukan pelanggaran hukum humaniter internasional, penulis menjabarkan pasal-pasal apa saja yang dilanggar kedua belah pihak berikut penekanan bahwa penyanderaan, serangan yang disengaja dan tanpa pandang bulu terhadap warga sipil dan kelaparan sebagai metode peperangan tidak menjadi sah hanya karena "pihak lain yang melakukannya terlebih dahulu", tindakan pembalasan terhadap penduduk sipil dilarang secara tegas di dalam instrumen-instrumen hukum perang internasional yang ada maupun hukum kebiasaan internasional.Â
Sehingga "Hukum internasional mengkriminalisasi tindakan Hamas dan IDF selama beberapa hari terakhir ini. Baik tujuan mereka maupun perilaku pihak lain tidak mengubah hal itu." Dapat disimpulkan bahwa penulis mengambil sikap netral disini. Tapi apakah begitu adanya? Dalam bagian selanjutnya di dalam tulisan itu yang diberi judul "Jawaban Moral", penulis bersikeras bahwa jika tidak ada alasan yang adil, semua kekerasan dalam perang bisa dikatakan salah secara moral. Namun hal ini tidak berarti bahwa semua kekerasan yang dilakukan demi keadilan dapat dibolehkan.Â
Beberapa tindakan dilarang secara moral  apa pun tujuannya karena tindakan tersebut termasuk dalam kategori tindakan yang secara intrinsik salah---tindakan tersebut tidak dapat ditebus dengan konsekuensi yang baik apapun. Misalnya saja dengan sengaja membunuh atau membuat orang yang tidak bersalah kelaparan. Hal ini tetap dilarang meskipun hal itu diperlukan untuk mencapai tujuan yang adil, sehingga penulis menemukan bahwa Hamas dan pemerintah Israel sama-sama bertindak salah dan tidak adil secara moral. Menemukan dirinya "terjebak" didalam netralitas dan menyadari bahwa komentar politik yang diakhiri dengan "kedua belah pihak" seperti ini seringkali dianggap tidak membantu, penulis kemudian mengalihkannya dengan membuat section baru mengenai "Helpful Questions" yang dimana pada bagian ini pertanyaan kemudian dialihkan menjadi "Siapa yang lebih buruk?" dan "Siapa yang memulainya?". Dengan berbagai dalih, kedua pertanyaan ini juga tidak dijawab dengan tegas.Â
Meskipun begitu, yang menarik di dalam bagian ini penulis menyebutkan bahwa "Yes, murdering a child at close range is even worse than flattening an apartment block in the knowledge that there is one inside." Siapapun akan berpikir bahwa darimana penulis mendapat kesimpulan bahwa anak kecil yang dibunuh langsung lebih buruk dibanding dibunuh dengan meratakan apartemennya? Saya sebenarnya menaruh harapan bahwa penulis setidaknya akan dengan jujur mengakui dan menjawab hal mengenai "Siapa yang lebih buruk" dengan sajian komparisi data mengenai jumlah korban terbanyak di antara kedua belah pihak dan karenanya akan didapat jawaban mengenai siapa yang paling buruk melakukan indiscriminate attacks yang dilarang keras di dalam hukum humaniter internasional yang pada akhirnya merenggut lebih banyak nyawa. Namun sayangnya pada akhirnya ia menghindari menjawab pertanyaan moral ini dikarenakan ia memposisikan sebagai teman Israelnya (yang sering berkorban untuk memperjuangkan hak asasi manusia Palestina) juga dapat saja menjadi korban atas kejadian mengerikan ini, serta ibu di Palestina yang hidupnya dibatasi oleh pendudukan, namun mendidik anak-anaknya untuk tidak membenci.Â
Para pembaca mungkin akan dikecewakan sekali lagi dengan ditariknya kesimpulan bahwa dari banyaknya perbandingan moral dan hukum yang tidak membantu adalah dengan tidak mengatakan apa-apa. "Tidak mengatakan apa-apa," apakah hal itu yang diharapkan keluar dari seorang akademisi hukum internasional yang memahami dengan baik pelanggaran hukum perang apa saja yang dilakukan pemerintah Israel selama puluhan tahun ini? Saya sangat memahami kapasitasnya sebagai seorang akademisi yang harus tetap bersikap netral dan jernih memandang sesuatu. Namun saya sangat menyesalkan mengapa mereka tidak bersikap jujur dan mengkhianati apa yang telah mereka percayai selama ini.
Bukankah mereka sendiri yang menyebarkan ke seluruh dunia ajaran-ajaran mengenai peperangan dan HAM? Tapi kenapa sulit sekali bagi mereka untuk mengutuk dan menyebut tindakan pemerintah Israel yang demikian sebagai pelanggaran berat hukum perang internasional dan pelanggaran berat HAM? Alih-alih mengutuk tindakan tersebut dan mengupayakan penyelesaiannya dengan sistem peradilan internasional yang ada sehingga siklus kekerasan dapat berakhir, mereka berpikir bahwa tindakan Hamas juga salah dan karenanya tindakan pemerintah Israel tidak perlu dikutuk lagi. Karena keduanya salah maka lebih baik diam. Apakah ini yang dunia harapkan dari para akademisi? Jika semua orang di dunia merujuk pada jejak pemikiran akademisi yang tidak jujur dan tidak berani seperti ini, maka siklus kekerasan dan peperangan tidak akan pernah usai dan akan terjadi lagi dengan bentuknya yang bermacam rupa di kemudian hari. Karena tingkat ilmu yang tinggi bukan hanya dilihat dari seberapa banyak teori dan buku yang kita lahap, melainkan juga dilihat dari seberapa bijaksana kita dalam melihat sesuatu yang kompleks dan seberapa berani kita berkata menyuarakan kebenaran dan mengambil tindakan.Â
Di dalam bagian akhir tulisan Our Shared Horror tersebut, penulis memberikan jalan keluar dengan mengeluarkan pertanyaan pamungkas: siapa yang mempunyai kekuatan untuk menghentikannya?. Pertanyaan itu melibatkan jawaban singkat seperti siapa saja pihak-pihak yang mempunyai wewenang untuk membebaskan para sandera, mengizinkan akses kemanusiaan ke Gaza, dan yang mempunyai kekuatan politik untuk mengubah situasi secara lebih mendasar. Mungkin editor-editor di Ejil Talk lupa bahwa selama puluhan tahun ini, sejak Perang Enam Hari berakhir, pertanyaan-pertanyaan di atas utamanya yang terakhir, telah dengan mudah terjawab namun hampir mustahil untuk diimplementasikan.Â
Maka karena kemustahilan itulah muncul berbagai gerakan pembebasan rakyat Palestina yang memakan banyak korban. Dan penulis artikel tersebut sebagai salah satu dari akademisi yang suaranya mungkin banyak juga didengar memiliki kekuatan untuk menghentikan siklus kekerasan ini. Ia memiliki kesempatan untuk mengatakan apa yang seharusnya dikatakan terkait penjajahan dan neraka tak berkesudahan ini sehingga mungkin ia adalah bagian dari jawaban atas pertanyaannya sendiri: "siapa yang mempunyai kekuatan untuk menghentikannya?".Â
Tentu saja hal ini akan menjadi mungkin jika mereka memiliki keberanian untuk mengatakan yang salah sebagai salah dan yang benar sebagai benar, bukannya menjadi pengkhianat intelektual yang lari dari masalah dengan memilih untuk tidak menentukan pilihan dan tidak berkata apa apa. Jika para akademisi ini memikirkan kembali mengenai orang-orang yang berjuang di Israel demi kebebasan HAM rakyat Palestina namun menjadi korban atas tragedi ini, maka mungkin mereka akan sampai pada kesimpulan bahwa orang-orang itu (baca: aktivis HAM Israel) harus berjuang demi orang lain (baca: rakyat Palestina) agar keduanya bisa hidup berdampingan dalam damai, agar perang besar tidak terjadi kepada mereka dikarenakan pemerintahnya salah dalam membuat kebijakan dan melakukan penindasan besar-besaran kepada orang lain. Perdamaian di wilayah tersebut tidak akan tercipta jika siklus kekerasan dan pelanggengan praktik apartheid tersebut tidak diselesaikan. Sebagai akademisi, seyogianya sudah menjadi tugas mereka untuk melanjutkan perjuangan para aktivis Israel yang membela HAM warga Palestina yang saat ini menjadi korban dan tidak berdaya itu, bukan malah hanya merasa kasihan tanpa berani mengambil sikap.
Saya mungkin akan memberikan contoh lain yang sering dipuja dan diagungkan banyak pihak namun ternyata integritasnya cukup dipertanyakan ketika konflik ini muncul. Adalah Jordan Peterson, tokoh yang video motivasinya betebaran di berbagai media sosial dan menjadi idola bagi banyak orang, Psikolog Kanada dan influencer konservatif, mendapat kecaman karena mendesak Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk memberikan "neraka" terhadap warga Palestina di Gaza. "Give 'em hell... Enough is enough," tulisnya di X setelah pejuang Palestina melancarkan serangan terhadap Israel. Apakah perkataan tersebut, jika memang dilihat dari konteks membela diri, dapat dibenarkan? Tak ayal pernyataan singkat dan berbahayanya ini mendapat kecaman dari banyak pengguna media sosial. Pernyataan ini sungguh sembrono dan tidak pantas dikeluarkan oleh tokoh yang banyak dipuja seperti dirinya. Dilihat dari konteks apapun pernyataan semacam ini layaknya ia menuangkan bensin kepada api. Tidak etis dan tidak perlu, pada akhirnya ia dapat terlibat dibalik sistem yang menghasut kebencian, genosida dan apartheid terhadap suatu masyarakat etnis tertentu.
Saya mungkin akan berakhir menulis puluhan halaman atau mungkin sebuah buku tebal jika menyebutkan satu persatu kemunafikan dan double standard Barat terhadap isu ini. Membandingkan perlakuan mereka terhadap Ukraina dan perlakuan mereka terhadap Palestina akan sangat menguras energi dan juga emosi mengingat hal itu sangat memuakkan dan tidak membuat segalanya menjadi lebih baik.Â
Ambillah contoh kolumnis-kolumnis di New York Times, BBC, the Atlantic yang sangat nirempati dan tidak berdasar (mereka melupakan prinsip-prinsip hukum internasional). Host-host di berbagai media barat, salah satunya BBC, yang sering "meminta" narasumber-narasumbernya untuk mengutuk tindakan Hamas dan tidak melakukan hal yang sama pada narasumber-narasumber Israel atau Barat lainnya. Mereka hanya ditanya mengenai kemungkinan pelanggaran hukum internasional namun tidak mengenai mengutuk dirinya sendiri.Â
Selain media masa, platform-platform seperti Meta dan lainnya ketika perang Ukraina meletus bahkan membuat sticker secara khusus untuk mendukung korban perang, "Support Ukraine" katanya, atau "Stand with Ukraine", namun apa yang menyebabkan mereka tidak melakukan hal yang sama ketika saat ini Palestina kembali dibombardir? Instagram bahkan sampai melabeli situs berita Rusia, RT, sebagai "state controlled media" namun tidak melakukan hal yang sama kepada media masa lain yang juga dikontrol atau disokong oleh negaranya seperti DW, BBC, atau bahkan AL-Jazeera.Â
Di sektor lain, kita menemukan musisi-musisi dan juga komposer-komposer dunia memberikan dukungan moralnya kepada Ukraina melalui lagu-lagu yang khusus dipersembahkan untuk mereka (saya terkejut bahkan Yo-Yo Ma membuat musik khusus untuk para korban perang Ukraina) Coldplay, Billie Eilish, Madonna, Celine Dion, Katy Perry, Elton John, Stevie Wonder dan Bruce Springsteen, tapi mereka tidak melakukan hal yang sama untuk ribuan anak-anak Palestina yang kehilangan ayah ibunya, bahkan nyawanya sendiri.Â
Bahkan ketika telah jelas Israel menargetkan rumah sakit sebagai objek penyerangannya yang berakibat matinya ribuan nyawa tak bersalah disana, suara nyaring para musisi itu tetap tidak terdengar. Musik indah mereka yang seharusnya dapat menghibur para korban seketika senyap ditelan bumi. Saya agaknya tidak perlu lagi merinci bagaimana perlakuan double standard Barat dan aktor-aktornya terhadap konflik Israel-Palestina dengan Rusia-Ukraina. Kemunafikan mereka terlihat sangat kentara sehingga tidak diperlukan lagi seorang pengamat atau akademisi untuk menilainya. Ini telah menjadi rahasia umum yang diketahui semua orang.
Sebagai seorang pemerhati, saya melihat bahwa perang ini bukan hanya perang senjata atau perang fisik diantara kedua negara. Namun ini juga adalah perang narasi diantara media media besar dunia, perang intelektual di antara orang-orang terpelajar dunia, dan perang batin antara masyarakat di berbagai belahan dunia yang menemukan dirinya harus memilih apakah akan tinggal diam melihat sesamanya diperlakukan tidak adil ataukah mengangkat suaranya dan menekan pemerintah penindas untuk segera menghentikan siklus kekerasan ini. Saya tidak bisa berharap banyak kepada para pejuang di Palestina, termasuk freedom fighter Hamas dan kelompok lainnya. Semua orang tahu bahwa mereka adalah pihak yang lemah dengan sumberdaya yang terbatas. Saya tahu benar bahwa perjuangan mereka melawan penindasan Israel yang dibantu oleh sekutu Baratnya adalah layaknya pertarungan antara David vs Goliath; jika mereka kalah maka semua orang tidak akan terkejut, jika mereka menang maka ini adalah keajaiban.Â
Bagaimana saya harus menaruh harap kepada bangsa yang dipreteli kekuatannya, yang bahkan tidak punya kuasa untuk bergerak dan melawan, yang bahkan tidak memiliki angkatan bersenjatanya sendiri sehingga jika terjadi ketidakadilan mereka tidak dapat mengadu? Tapi saya menaruh harap pada dunia sisanya. Pada kekuatan pendudukan agar mereka dapat mengubah kebijakan yang penuh bencana itu menjadi kebijakan yang setidaknya memberikan win-win solution kepada kedua belah pihak, saya menaruh harap pada negara-negara Barat utamanya AS, Inggris, dan Jerman agar mau berbesar hati melihat fakta yang ada dan memberi tekanan kepada penguasa pendudukan agar mereka dapat menghentikan hal ini, kepada warga dunia yang jika penderitaan ini terus disuarakan dan diperjuangkan maka akan memberikan tekanan tersendiri terhadap pihak penindas untuk berhenti menindas, kepada para akademisi agar dapat berkata jujur, berani, dan objektif, dan yang terakhir (yang paling mungkin dapat membalikan keadaan), meskipun sulit dan tak dapat diharapkan namun masih menjadi yang paling memiliki kapasitas untuk mengintervensi dan menghentikan konflik, PBB. Dengan segala keterbatasannya, saya harap majelis umum PBB dan juga dewan keamanan PBB dapat memberikan hal yang para korban butuhkan; keadilan dan kedamaian.
Memahami konflik ini sesungguhnya tidak serumit yang banyak orang kira. Untuk memahami secara detail sejarah yang bergulir sejak ratusan tahun lalu mungkin akan menyulitkan, untuk memberikan pembuktian dan penyelidikan atas adanya praktik apartheid, genosida, dan kejahatan perang adalah tugas orang lain. Namun untuk memberikan dukungan dan simpati terhadap konflik yang bergulir ini adalah tugas kita semua sebagai manusia.Â
Pertanyaan mengenai kepada siapa dukungan itu harus digulirkaan maka tanyalah hati nurani kita sendiri. Kenapa kita banyak bersimpati atas korban perang Ukraina namun tidak kepada korban Palestina? Pada akhirnya kita hanya membutuhkan sense of humanity untuk menentukan keberpihakan. Tatkala kita melihat ada ratusan bahkan jutaan orang yang sejak 1967 dikekang dan ditindas, dibuatkan tembok-tembok besar yang melawan segala hukum yang ada agar orang-orang di dalamnya tidak bisa bergerak secara bebas dan membatasi akses terhadap perekonomiannya, anak-anak kecil menjadi target "collective punishment" yang jelas dilarang di dalam hukum perang, ribuan orang kehilangan rumah dan tanahnya, diganggu hak beribadahnya, mereka menemukan dirinya semakin hari semakin dirampas hak hidupnya.Â
Penjajahan dan penindasan inilah yang pada akhirnya mendapatkan perlawanan meskipun dengan sumbderdaya yang sangat terbatas dan tanpa adanya angkatan bersenjata yang membantu mereka. Tanpa adanya aparat keamanan, mereka menemukan keluarga dan teman-teman mereka dibunuh dan ditangkap secara sewenang-wenang setiap tahun. Hal-hal di atas sudah cukup untuk menjadi dasar penilaian keberpihakan sehingga kita dapat bertanya kepada diri kita sendiri alih-alih bertanya kepada para ahli yang datang dengan tangan kosong tanpa jawaban. Karena kita hanya membutuhkan hati nurani kita sebagai manusia untuk sekedar beropini dan bersimpati. Kita hanya perlu menjadi manusia untuk memandang konflik ini dari sisi yang objektif.Â
Mari kita merawat kewarasan ini dengan terus menyuarakan kebenaran dan mengubur dalam-dalam mereka yang bersikap munafik dengan tidak memilih sisi. Keberpihakan sangat penting dalam memberangus para penjahat kemanusiaan ini karena sebagaimana Desmond Tutu katakan, "If you are neutral in situations of injustice, you have chosen the side of the oppressor." Menjadi netral tidaklah berguna di dalam konflik ini karena menjadi netral artinya sama saja dengan mendukung para penindas. Ingat pula apa yang dikatakan oleh Elie Wiesel: "Silence encourages the tormentor, never the tormented". Karena diamnya para akademisi dan publik figur itu menyuburkan semangat penyiksa untuk semakin menyiksa lagi.
Pada akhirnya, saya dapat menyimpulkan bahwa konflik ini bukanlah pertarungan antara David & Goliath baru. Ini adalah konflik lama yang terus kembali terjadi dalam bentuknya yang lain karena dunia tidak juga mengentaskan akar permasalahan yang ada. Dengan bantuan pemerintah AS dan sekutunya, Israel terus merasa di atas angin tanpa ada yang mengawasi. Dengan bantuan pemerintah AS dan sekutunya segala kesepakatan yang hendak dibuat oleh Dewan Kemanan PBB menjadi gagal. Bila politik kotor ini tidak segera diselesaikan maka tidak akan ada jalan keluar. Ketidakberdayaan "orang lain" akan terus membuat rakyat Palestina menderita. Saya akan menutup opini ini dengan penggalan puisi karya Adonis yang terkenal berjudul A Grave for New York:
"NEW YORK
A civilization with four legs; each direction is murder
and a path to murder,
and in the distance
the moaning of those drowning.
Â
New York
A woman - a statue of a woman,
in one hand raising tatters named liberty
by sheets of paper which we name history,
and in another hand strangulating
a child named the Earth."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H