Para pembaca mungkin akan dikecewakan sekali lagi dengan ditariknya kesimpulan bahwa dari banyaknya perbandingan moral dan hukum yang tidak membantu adalah dengan tidak mengatakan apa-apa. "Tidak mengatakan apa-apa," apakah hal itu yang diharapkan keluar dari seorang akademisi hukum internasional yang memahami dengan baik pelanggaran hukum perang apa saja yang dilakukan pemerintah Israel selama puluhan tahun ini? Saya sangat memahami kapasitasnya sebagai seorang akademisi yang harus tetap bersikap netral dan jernih memandang sesuatu. Namun saya sangat menyesalkan mengapa mereka tidak bersikap jujur dan mengkhianati apa yang telah mereka percayai selama ini.
Bukankah mereka sendiri yang menyebarkan ke seluruh dunia ajaran-ajaran mengenai peperangan dan HAM? Tapi kenapa sulit sekali bagi mereka untuk mengutuk dan menyebut tindakan pemerintah Israel yang demikian sebagai pelanggaran berat hukum perang internasional dan pelanggaran berat HAM? Alih-alih mengutuk tindakan tersebut dan mengupayakan penyelesaiannya dengan sistem peradilan internasional yang ada sehingga siklus kekerasan dapat berakhir, mereka berpikir bahwa tindakan Hamas juga salah dan karenanya tindakan pemerintah Israel tidak perlu dikutuk lagi. Karena keduanya salah maka lebih baik diam. Apakah ini yang dunia harapkan dari para akademisi? Jika semua orang di dunia merujuk pada jejak pemikiran akademisi yang tidak jujur dan tidak berani seperti ini, maka siklus kekerasan dan peperangan tidak akan pernah usai dan akan terjadi lagi dengan bentuknya yang bermacam rupa di kemudian hari. Karena tingkat ilmu yang tinggi bukan hanya dilihat dari seberapa banyak teori dan buku yang kita lahap, melainkan juga dilihat dari seberapa bijaksana kita dalam melihat sesuatu yang kompleks dan seberapa berani kita berkata menyuarakan kebenaran dan mengambil tindakan.Â
Di dalam bagian akhir tulisan Our Shared Horror tersebut, penulis memberikan jalan keluar dengan mengeluarkan pertanyaan pamungkas: siapa yang mempunyai kekuatan untuk menghentikannya?. Pertanyaan itu melibatkan jawaban singkat seperti siapa saja pihak-pihak yang mempunyai wewenang untuk membebaskan para sandera, mengizinkan akses kemanusiaan ke Gaza, dan yang mempunyai kekuatan politik untuk mengubah situasi secara lebih mendasar. Mungkin editor-editor di Ejil Talk lupa bahwa selama puluhan tahun ini, sejak Perang Enam Hari berakhir, pertanyaan-pertanyaan di atas utamanya yang terakhir, telah dengan mudah terjawab namun hampir mustahil untuk diimplementasikan.Â
Maka karena kemustahilan itulah muncul berbagai gerakan pembebasan rakyat Palestina yang memakan banyak korban. Dan penulis artikel tersebut sebagai salah satu dari akademisi yang suaranya mungkin banyak juga didengar memiliki kekuatan untuk menghentikan siklus kekerasan ini. Ia memiliki kesempatan untuk mengatakan apa yang seharusnya dikatakan terkait penjajahan dan neraka tak berkesudahan ini sehingga mungkin ia adalah bagian dari jawaban atas pertanyaannya sendiri: "siapa yang mempunyai kekuatan untuk menghentikannya?".Â
Tentu saja hal ini akan menjadi mungkin jika mereka memiliki keberanian untuk mengatakan yang salah sebagai salah dan yang benar sebagai benar, bukannya menjadi pengkhianat intelektual yang lari dari masalah dengan memilih untuk tidak menentukan pilihan dan tidak berkata apa apa. Jika para akademisi ini memikirkan kembali mengenai orang-orang yang berjuang di Israel demi kebebasan HAM rakyat Palestina namun menjadi korban atas tragedi ini, maka mungkin mereka akan sampai pada kesimpulan bahwa orang-orang itu (baca: aktivis HAM Israel) harus berjuang demi orang lain (baca: rakyat Palestina) agar keduanya bisa hidup berdampingan dalam damai, agar perang besar tidak terjadi kepada mereka dikarenakan pemerintahnya salah dalam membuat kebijakan dan melakukan penindasan besar-besaran kepada orang lain. Perdamaian di wilayah tersebut tidak akan tercipta jika siklus kekerasan dan pelanggengan praktik apartheid tersebut tidak diselesaikan. Sebagai akademisi, seyogianya sudah menjadi tugas mereka untuk melanjutkan perjuangan para aktivis Israel yang membela HAM warga Palestina yang saat ini menjadi korban dan tidak berdaya itu, bukan malah hanya merasa kasihan tanpa berani mengambil sikap.
Saya mungkin akan memberikan contoh lain yang sering dipuja dan diagungkan banyak pihak namun ternyata integritasnya cukup dipertanyakan ketika konflik ini muncul. Adalah Jordan Peterson, tokoh yang video motivasinya betebaran di berbagai media sosial dan menjadi idola bagi banyak orang, Psikolog Kanada dan influencer konservatif, mendapat kecaman karena mendesak Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk memberikan "neraka" terhadap warga Palestina di Gaza. "Give 'em hell... Enough is enough," tulisnya di X setelah pejuang Palestina melancarkan serangan terhadap Israel. Apakah perkataan tersebut, jika memang dilihat dari konteks membela diri, dapat dibenarkan? Tak ayal pernyataan singkat dan berbahayanya ini mendapat kecaman dari banyak pengguna media sosial. Pernyataan ini sungguh sembrono dan tidak pantas dikeluarkan oleh tokoh yang banyak dipuja seperti dirinya. Dilihat dari konteks apapun pernyataan semacam ini layaknya ia menuangkan bensin kepada api. Tidak etis dan tidak perlu, pada akhirnya ia dapat terlibat dibalik sistem yang menghasut kebencian, genosida dan apartheid terhadap suatu masyarakat etnis tertentu.
Saya mungkin akan berakhir menulis puluhan halaman atau mungkin sebuah buku tebal jika menyebutkan satu persatu kemunafikan dan double standard Barat terhadap isu ini. Membandingkan perlakuan mereka terhadap Ukraina dan perlakuan mereka terhadap Palestina akan sangat menguras energi dan juga emosi mengingat hal itu sangat memuakkan dan tidak membuat segalanya menjadi lebih baik.Â
Ambillah contoh kolumnis-kolumnis di New York Times, BBC, the Atlantic yang sangat nirempati dan tidak berdasar (mereka melupakan prinsip-prinsip hukum internasional). Host-host di berbagai media barat, salah satunya BBC, yang sering "meminta" narasumber-narasumbernya untuk mengutuk tindakan Hamas dan tidak melakukan hal yang sama pada narasumber-narasumber Israel atau Barat lainnya. Mereka hanya ditanya mengenai kemungkinan pelanggaran hukum internasional namun tidak mengenai mengutuk dirinya sendiri.Â
Selain media masa, platform-platform seperti Meta dan lainnya ketika perang Ukraina meletus bahkan membuat sticker secara khusus untuk mendukung korban perang, "Support Ukraine" katanya, atau "Stand with Ukraine", namun apa yang menyebabkan mereka tidak melakukan hal yang sama ketika saat ini Palestina kembali dibombardir? Instagram bahkan sampai melabeli situs berita Rusia, RT, sebagai "state controlled media" namun tidak melakukan hal yang sama kepada media masa lain yang juga dikontrol atau disokong oleh negaranya seperti DW, BBC, atau bahkan AL-Jazeera.Â
Di sektor lain, kita menemukan musisi-musisi dan juga komposer-komposer dunia memberikan dukungan moralnya kepada Ukraina melalui lagu-lagu yang khusus dipersembahkan untuk mereka (saya terkejut bahkan Yo-Yo Ma membuat musik khusus untuk para korban perang Ukraina) Coldplay, Billie Eilish, Madonna, Celine Dion, Katy Perry, Elton John, Stevie Wonder dan Bruce Springsteen, tapi mereka tidak melakukan hal yang sama untuk ribuan anak-anak Palestina yang kehilangan ayah ibunya, bahkan nyawanya sendiri.Â
Bahkan ketika telah jelas Israel menargetkan rumah sakit sebagai objek penyerangannya yang berakibat matinya ribuan nyawa tak bersalah disana, suara nyaring para musisi itu tetap tidak terdengar. Musik indah mereka yang seharusnya dapat menghibur para korban seketika senyap ditelan bumi. Saya agaknya tidak perlu lagi merinci bagaimana perlakuan double standard Barat dan aktor-aktornya terhadap konflik Israel-Palestina dengan Rusia-Ukraina. Kemunafikan mereka terlihat sangat kentara sehingga tidak diperlukan lagi seorang pengamat atau akademisi untuk menilainya. Ini telah menjadi rahasia umum yang diketahui semua orang.