Ketidakadilan yang dialami oleh orang-orang Palestina sudah benar-benar diluar nalar kita sebagai manusia yang memiliki hati nurani dan akal sehat. Sehingga bagi saya pribadi, dalam konteks ini lebih masuk akal untuk memilih keadilan daripada kedamaian semu. Karena masalah ketidakadilan dan impunitas berat yang tidak pernah diselesaikan akan menimbulkan permasalahan besar di kemudian hari, siklus kekerasan yang tidak akan pernah berakhir. Lantas bagaimana perdamaian bisa tercipta dari sini? Karena meskipun perdamaian akan tercipta untuk sementara waktu, kekerasan demi keadilan akan terus bergulir lagi dan lagi. Sehingga permasalahan konflik ini jika tidak selesai hari ini maka besok akan terjadi lagi. Sehingga seharusnya yang perlu dilakukan adalah menyelesaikan dahulu permasalahan keadilan barulah kemudian peace talk. Sebagai seorang sejarawan, Harari seharusnya paham betul faktor apa saja yang menyebabkan sejarah berulang.Â
Maka jika memang seperti itu maka keadilan haruslah ditegakkan terlebih dahulu. Dengan keadilan disini maksudnya bukanlah jatuh korban seribu dibalas membunuh seribu. Keadilan disini adalah semudah memperlakukan orang-orang Palestina sama dan sederajat layaknya manusia. Harari mungkin lupa jika perdamaian dibangun di atas prinsip kemanusiaan dan persamaan derajat. Hal itu juga sudah jelas tertuang di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Masyarakat juga perlu diingatkan lagi oleh maxim yang terkenal di dunia hukum, Fiat Justitia Ruat Caelum yang artinya tak lain dan tak bukan adalah Keadilan Akan Ditegakkan Meski Langit Akan Runtuh.Â
Keadilan akan direalisasikan tidak peduli apapun konsekuensinya. Sehingga bagi saya, mendengar pernyataan Harari yang mengatakan kita harus memilih kedamaian daripada keadilan terdengar seperti kata-kata dari seorang penjajah yang mencoba untuk membungkam segala perlawanan yang ada melawan kelaliman. Mengingat kapasitasnya sebagai akademisi terkemuka yang disegani banyak orang didunia dan dijadikan kiblat pengetahuan, bukankah hal tersebut merupakan suatu pengkhianatan intelektual?
Saya mungkin sedikit menghibur diri karena Harari notabenenya adalah akademisi sejarah dan tidak semua orang ahli di semua bidang. Maka saya mengalihkan kekecewaan saya pada segenap akademisi hukum internasional. Mungkin saya dapat merasakan secuil kelapangan dari mereka dikarenakan mereka memahami banyak mengenai hukum internasional tersebut dan apa yang dilakukan oleh pemerintah Israel jelas-jelas memang sebuah pelanggaran murni hukum internasional.Â
Namun tepat ketika saya mengetikan jari untuk mengunjungi website yang dijadikan rujukan bagi para mahasiswa dan akademisi hukum internasional, Ejil Talk, untuk melihat opini para editor mengenai konflik yang sedang bergulir ini, saya sudah memiliki firasat yang tidak enak bahkan ketika saya baru membaca judulnya. Semakin dibaca hingga akhir, ternyata firasat saya benar adanya. Saya kembali tenggelam dalam kekecewaan.
Kekecewaan saya di atas bukanlah tidak berdasar. Bagaimana tidak, saya membaca satu diantara dua artikel yang mereka produksi ketika konflik Oktober ini berkobar, artikel tersebut berjudul "Our Shared Horror". Sementara satu artikel lain hanya berisi klarifikasi atau tanggapan surat kepada redaksi terkait publikasi simposium berdasarkan makalah yang dipresentasikan pada Konferensi Israeli Defence Forces (IDF) mengenai kebiasaan di dalam hukum perang internasional.Â
Berbeda dengan artikel kedua, artikel pertama berisi opini yang ditulis oleh Janina Dill (Co-Director dari Oxford Institute for Ethics, Law and Armed Conflict (ELAC)) yang juga saya kira mewakili Ejil Talk keseluruhan.Â
Secara umum bila dibaca sekilas, opini tersebut terkesan netral dan tak berpihak. Di awal hingga pertengahan bagian artikel disebutkan bahwa kedua belah pihak baik Hamas maupun IDF telah melakukan pelanggaran hukum humaniter internasional, penulis menjabarkan pasal-pasal apa saja yang dilanggar kedua belah pihak berikut penekanan bahwa penyanderaan, serangan yang disengaja dan tanpa pandang bulu terhadap warga sipil dan kelaparan sebagai metode peperangan tidak menjadi sah hanya karena "pihak lain yang melakukannya terlebih dahulu", tindakan pembalasan terhadap penduduk sipil dilarang secara tegas di dalam instrumen-instrumen hukum perang internasional yang ada maupun hukum kebiasaan internasional.Â
Sehingga "Hukum internasional mengkriminalisasi tindakan Hamas dan IDF selama beberapa hari terakhir ini. Baik tujuan mereka maupun perilaku pihak lain tidak mengubah hal itu." Dapat disimpulkan bahwa penulis mengambil sikap netral disini. Tapi apakah begitu adanya? Dalam bagian selanjutnya di dalam tulisan itu yang diberi judul "Jawaban Moral", penulis bersikeras bahwa jika tidak ada alasan yang adil, semua kekerasan dalam perang bisa dikatakan salah secara moral. Namun hal ini tidak berarti bahwa semua kekerasan yang dilakukan demi keadilan dapat dibolehkan.Â
Beberapa tindakan dilarang secara moral  apa pun tujuannya karena tindakan tersebut termasuk dalam kategori tindakan yang secara intrinsik salah---tindakan tersebut tidak dapat ditebus dengan konsekuensi yang baik apapun. Misalnya saja dengan sengaja membunuh atau membuat orang yang tidak bersalah kelaparan. Hal ini tetap dilarang meskipun hal itu diperlukan untuk mencapai tujuan yang adil, sehingga penulis menemukan bahwa Hamas dan pemerintah Israel sama-sama bertindak salah dan tidak adil secara moral. Menemukan dirinya "terjebak" didalam netralitas dan menyadari bahwa komentar politik yang diakhiri dengan "kedua belah pihak" seperti ini seringkali dianggap tidak membantu, penulis kemudian mengalihkannya dengan membuat section baru mengenai "Helpful Questions" yang dimana pada bagian ini pertanyaan kemudian dialihkan menjadi "Siapa yang lebih buruk?" dan "Siapa yang memulainya?". Dengan berbagai dalih, kedua pertanyaan ini juga tidak dijawab dengan tegas.Â
Meskipun begitu, yang menarik di dalam bagian ini penulis menyebutkan bahwa "Yes, murdering a child at close range is even worse than flattening an apartment block in the knowledge that there is one inside." Siapapun akan berpikir bahwa darimana penulis mendapat kesimpulan bahwa anak kecil yang dibunuh langsung lebih buruk dibanding dibunuh dengan meratakan apartemennya? Saya sebenarnya menaruh harapan bahwa penulis setidaknya akan dengan jujur mengakui dan menjawab hal mengenai "Siapa yang lebih buruk" dengan sajian komparisi data mengenai jumlah korban terbanyak di antara kedua belah pihak dan karenanya akan didapat jawaban mengenai siapa yang paling buruk melakukan indiscriminate attacks yang dilarang keras di dalam hukum humaniter internasional yang pada akhirnya merenggut lebih banyak nyawa. Namun sayangnya pada akhirnya ia menghindari menjawab pertanyaan moral ini dikarenakan ia memposisikan sebagai teman Israelnya (yang sering berkorban untuk memperjuangkan hak asasi manusia Palestina) juga dapat saja menjadi korban atas kejadian mengerikan ini, serta ibu di Palestina yang hidupnya dibatasi oleh pendudukan, namun mendidik anak-anaknya untuk tidak membenci.Â