"Tidak usah Jendral" larangan tersebut membuat Ahmad marah
"Paling tidak cuci muka dan berpakaian rapih masa menghadap presiden mengenakan pakaian tidur seperti ini" Ahmad Yani ini di level elit kenegaraan Indonesia saat itu memang tidak lepas dari statusnya sebagai orang kepercayaan Soekarno. Namun hal ini juga pada akhirnya menimbulkan intrik tersendiri di tubuh Angkatan Darat kala itu.
"Tak apa Jendral. Kita harus segera Negara sedang genting"
Ahmad yang curiga dan melalukan perlawanan kepada pasukan cakrabirawa tersebut.
Akhirnya Ahmad di lontarkanlah peluru menembus tepat mengenai tubuh Ahmad. Ahmad pun tersungkur jatuh dan dalam keadaan jatuh Ahmad masih sempat memandang wajah anak bungsunya itu yang berdiri di belakang penculik itu. Edi menyaksikan langsung kejadian itu dengan mata kepala nya sendiri. Edi sontak bergerak untuk memeluk papi nya. Namun, hal itu dilarang oleh gerombolan penculik itu yang mengaku pasukan cakrabirawa. Melihat kondisi papinya yang mengenaskan Edi menangis dan disaat bersamaan kakak - kakaknya membuka jendela kamar saat itu mereka menyaksikan tubuh sang ayah diseret oleh pasukan penculik tersebut dengan berlumuran darah.
Ahmad Yani kemudian dibawa pasukan itu ke kawasan Lubang Buaya tempat 6 Pahlawan Revolusi lainnya juga gugur jasad Ahmad serta perwira lainnya dievakuasi pada 4 Oktober dan dimakamkan sehari berselang di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta Selatan Ahmad Yani pun kemudian diberikan kenaikan pangkat Anumerta menjadi jenderal dihari yang sama.
Nama sang Jenderal terus menggema dan mengudara born to be Heroes menjadi julukan yang pas disematkan pada sosok Jenderal Ahmad Yani karena kiprahnya yang teruji waktu dan sosoknya tak lekang dimakan zaman. Dan Ahmad meninggalkan jejak-jejak keteladanan dan memori indah di benak ke-8 putra dan putrinya dengan dinamika kehidupan yang tak selamanya menggembirakan. Hal ini tentu menjadi sebuah tantangan bagi putra - putri Jenderal Ahmad Yani selepas kepergian sang ayah kala itu.
...
KEHIDUPAN SETELAH AHMAD YANI TIADA
Perjuangan Yayu, pasca tragedi gerakan tanggal 30 Sep tahun 1965 sepeninggal suaminya Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani yang menjadi korban gerakan tanggal 30 September. Yayu harus menjadi tulang punggung keluarga dan menjadi peran ganda untuk ke delapan anaknya. Yayu mengalami depresi sekitar setahun lamanya dia hanya mengurung diri nyaris tak punya semangat hidup.
Hingga suatu hari pada November 1966 Yayu mengumpulkan ke-8 anaknya. Papi pernah bilang sama mami lewat mimpi, bahwa "ibu harus kuat menjalani semuanya." Anak --anaknya yang mendengar akan hal itu, tak dapat lagi membendung air matanya. "Kita semua pasti bisa mi, kita harus bisa membuat papi bangga melihat kita disini." Perkataan anaknya membuat sang ibu semangat. Sejak saat itulah, Yayu bangkit melakoni hidup dengan peran ganda sebagai ibu dan ayah bagi delapan anaknya. Dia menerapkan disiplin keras dan aturan baru anak -- anaknya. Tak boleh jajan dan selepas sekolah harus makan di rumah.