Jam di ponsel menunjukan hampir pukul 4 sore. Â Aku melanjutkan perjalananku melewati minimarket Marche de la Butte-Maison Collignon, tempat belanja yang terkenal lewat film romantis tentang seorang pelayan Amelie Poulain. Â Dari situ, aku berjalan ke arah Rue la Vieuville masuk ke Place des Abbeses dimana terdapat Le mur des je taime atau Tembok Cinta yang bertuliskan "Aku Cinta Kamu" dalam lebih dari 300 bahasa. Â Ada banyak pasangan yang antri untuk berfoto di depan tembok itu.Â
Dari situ, aku melewati "Jalan Seni" Rue Veron.  Jalan dengan dinding-dinding rumah yang dihiasi lukisan.  Tidak jauh dari situ, aku tiba di Moulin Rouge, bangunan berkincir merah, tempat banyak orang berkumpul untuk menikmati pertunjukan kabaret spektakuler, "Feerie".  Dari sini aku naik bis yang akan membawaku ke pusat kota Paris.  Aku akan menunggumu di sana.
Setelah tujuh tahun, akhirnya kita bisa bertemu kembali meskipun itu hanya lewat online. Â Ada sulur-sulur rasa bahagia merambat di relung-relung hatiku juga sendu yang bisa aku nikmati perihnya.Â
Bukankah dirimu, Senja?! Yang telah mengajarkan bahwa cinta bisa diterjemahkan ke dalam banyak hal.
Aku tidak pernah tahu arti cinta sampai aku bertemu kamu. Perpisahan kedua orang tuaku saat aku masih kecil meninggalkan jejak di hidupku. Â Tanpa saudara seibu-seayah membuatku tak bisa berkeluh-kesah dengan orang lain. Â Kemudian kamu hadir dalam hidupku bagai butiran embun, menyejukkan pagiku. Â Bak mentari mewarnai hari-hariku atau bintang yang menghiasi mimpi-mimpi malamku. Â Kau telah datang menghangatkan sanubariku.
Aku belum pernah merasa sebahagia saat itu. Â Aku sadar bahwa ada perbedaan di antara kita tapi, siapa peduli!
Di suatu sore kau berkata, "Pram, mengapa ada perbedaan?...Bagiku Tuhan mencintai semua ciptaan-Nya. Â Dia menurunkan hujan dan memberi sinar matahari bagi kita semua. Â Manusialah yang terkadang menciptakan sekat yang terlalu berlebihan."
Aku hanya bisa menggenggam jemarimu kala itu. Â Senja, aku mencintaimu sungguh...dengan semua yang kau pikirkan tentang makna hidup dan dunia ini.Â
Perpisahan kita sungguh suatu ironi. Â Waktu-waktu yang kita sulam terjerat asa tanpa ada jawaban. Â Kita terjebak dalam labirin tawa dan airmata yang kita tiada ketahui ujungnya dengan suatu kompleksitas nyata yang tidak kita benar-benar sadari sebelumnya.
Bias keemasan sudah nampak di langit saat aku turun dari bis di halte dekat Louvre. Â Pilar-pilar bergaya Gothic dan Piramida di depan museum ini menjadi saksi bahwa kenangan indah tentang dirimu yang tetap mengalun dalam rasaku.
Aku melangkah dalam kesunyian dan keterasingan di negeri ini, menyeberangi lampu lalu-lintas ke arah Pont Neuf kemudian duduk di tembok pembatas, di sisi sungai Seine. Â Tatapanku mencari wajahmu di antara orang-orang yang lalu-lalang.Â