Kini aku berdiri di pelataran Basilika Hati Kudus, Sacre Cour dengan taman cantik di depannya, Square Louise Michel.
Indah nian pemandangan dari tempat ini.  Aku membuka lensa Nikon yang selalu setia menemaniku.  Membuat beberapa kali jepretan untuk mengambil gambar kota Paris yang ada di bawah sana.  Begitu menawan dengan Champ-Elysees, Place de la Concorde, Louvre, Eiffel Tower, dan Notre Dame.  Kecantikan kota yang sudah terbentuk sejak ratusan tahun yang lalu.  Aku mengalihkan pandanganku juga ke atas menara gereja tempat lonceng, Savoyarde berdentang.  Kesana pun kubidikkan arah lensa kameraku.
Pemandangan dari pelataran ini membuatku merasa tak ingin turun lagi.Â
Tapi tidak! Â Keelokan tempat ini tak akan membuatku berlama-lama di sini. Â Aku akan turun kebawah untuk menantimu di tepian sungai, merasai kau ada di sisiku.
Menatap bangunan gereja putih ini dari luar, bagaikan mengisi ruang tentangmu di hatiku saat ini. Â Aku merasa sedang bersamamu seperti dahulu. Saat aku mengantarmu ke gereja putih lain di kotamu, lalu aku akan setia menunggumu di luar sampai kamu selesai ibadah.
Aku menutup lensa kamera dan berjalan memutar bangunan gereja. Â Ternyata bukan hanya bagian depan gereja ini saja yang cantik tetapi bagian belakangnya pun. Â Di situ terdapat berbagai restoran besar dan kedai kecil dimana turis bisa mencicipi hidangan khas Montmartre, seperti Crepes, Croque-monsieur (roti panggang isi keju dan ham), atau Quiche (pai isi telur dan keju). Â Ada juga berbagai toko dan kios yang menjual barang-barang unik dan menarik, seperti buku-buku bekas, barang-barang antik, perhiasan buatan tangan, atau suvenir-suvenir.
Segulung Crepes dan secangkir Cafe au lait sudah cukup bagiku.  Setelah itu, aku menuruni bukit menuju Rue de l`Aubrevoir.  Jalan kecil berkelok di lereng Montmartre, jalan yang paling mempesona di kota ini.  Jalan ini jauh dari kesan modern, aku serasa berada di film kuno Eropa  Segalanya bagai motif kartu pos: batu-batuan, lampu jalan, rumah-rumah yang cantik dengan dindingnya ditutupi tanaman Ivy.Â
Aku tiba di ujung jalan, kubah Sacre Cour terlihat menyembul di antara pohon yang daun-daunnya berwarna merah marun. Â Aku menjepret beberapa kali kemudian melanjutkan perjalananku menikmati keindahan lainnya menuju arah Moulin Rouge.Â
Dari rumah merah muda Maison Rose, aku berjalan melewati Dalida, patung perempuan yang bagian dadanya sudah luntur.  Menurut legenda jika menyentuh bagian patung itu, akan membawa keberuntungan.  Aku cukup tergoda untuk melakukannya, mencoba peruntunganku hari ini  tapi, aku urung melakukannya.
Dari tempat itu, aku ke arah Rue Girardon, di jalan itu ada patung lelaki yang menyembul dari dinding.  Dari situ aku melewati restoran kelas atas Moulin de la Galette sambil menebak-nebak harga makanannya, tapi kemudian aku teringat akan Rumah Makan Padang yang kita singgahi setelah kau menjemputku di bandara sewaktu aku tiba atau tepatnya pindah ke kotamu.  Setahun setelah kita menjalin LDR, hubungan jarak jauh yang begitu menyiksaku.
"Kamu laki-laki, Pram. Â Kenapa bukan dia yang kesini!" Suara menggelegar ayahku saat mengetahui keinginanku untuk pindah ke kotamu kala itu.