"Bu." Setelah beberapa waktu, akhirnya ayah Bili membuka pembicaraan lagi. "Ini bukan hanya kesalahan Novia saja, tetapi anak saya juga. Kami, sebagai orang tua, sudah lalai mendidik dan menjaga anak kami."
Dian bergeming.
"Izinkan kami melamar putri Ibu," lanjut ayah Bili.
"Melamar?"
"Benar, Bu. Kita nikahkan mereka. Mudah-mudahan Allah meridai niat baik ini," sahut ibu Billi.
"Lalu, sekolahnya?"
"Nanti mereka saya daftarkan program Paket C, lalu lanjut kuliah di universitas terbuka," tutur ayah Bili tegas.
Ibu Bili ikut mendukung pendapat suaminya. "Menurut kami, itu keputusan terbaik untuk saat ini. Kalau dikatakan kecewa, kita semua merasakan hal yang sama, tapi nasi sudah menjadi kerak, tidak ada yang bisa diubah dari kejadian ini. Meski begitu, kita masih bisa memberi mereka kesempatan."
Jika dipikir dengan seksama, solusi itu memang yang terbaik untuk saat ini mengingat Novia sudah putus asa. Aku menoleh ke Dian yang terdiam, mungkin sedang berpikir. Dia melirik putrinya yang berambut pirang sementara Novia mengigiti ibu jari. Aku bisa dengan mudah melihat kegugupan di wajah keduanya.
Saat sore menjelang, kata sepakat pun didapat. Langkah selanjutnya adalah perbincangan mengenai tata rencana pelaksanaan pernikahan. Aku kembali ke depan laptop. Kunyalakan lagi benda ajaib itu ketika tamu-tamu sudah pulang.
Aku jadi teringat masa lalu ketika pertama kali menggunakan alat tes kehamilan. Hasilnya positif. Aku pun memilih pergi dan tinggal di kota lain, sampai sekarang. Hidupku tidak jauh berbeda dengan Novia, akan tetapi solusi yang kami tempuh tidak sama. Aku yang sekarang justru hidup dalam penyesalan. Bukannya bertobat, tetapi malah keasyikan menjadi penulis sekaligus istri simpanan.
***