Aku tersedak. Cairan hitam kental yang kuminum masuk ke saluran hidung. Ah, ini sangat tidak nyaman. Aku bergegas meraih tisu lalu menyeka mulut dan tangan yang terkena kopi. Setelahnya, kubersihkan juga cipratan noda hitam di gamis yang kupakai menggunakan tisu yang sama. Menyebalkan.
"Diam-diam, dia membaca ceritaku di aplikasi baca novel berbayar, lalu ...."
Kuhentikan gerakan tanganku. "Lalu apa?"
Dian menunduk, wajahnya terlihat lebih pucat dibanding saat baru datang tadi.
"Dia mempraktikkan adegan dewasa yang tertulis di novelku dengan pacarnya."
Ya, Tuhan. Aku melotot, mungkin kalau tidak segera menyadarinya, bola mataku bisa-bisa keluar dari kelopaknya. Novia adalah anak yatim, dia masih berseragam putih abu-abu. Benar-benar hukuman duniawi yang luar biasa. Apa lagi yang bisa kukatakan? Jangankan Dian, aku yang bukan siapa-siapa anak itu saja merasa tidak percaya.
"Ini salahku, Ta. Ini salahku," teriak Dian sambil memukul-mukul dadanya.
"Dian, dengar aku." Kupeluk tubuh lemas itu dengan lembut, berharap dia bisa kembali tenang. "Kita pikirkan solusi terbaik untuk Novia, oke?"
Meski masih menangis, tetapi gerakan Dian sudah tidak seperti sebelumnya.
"Ini bukan sepenuhnya salahmu, Yan. Literasi digital sekarang memang berkembang sangat cepat. Kita tidak bisa mengontrol ribuan penulis dan pembaca di sana." Aku memelankan intonasi. "Kebetulan saja anakmu baca ceritamu. Andai kamu tidak menulis di sana  pun, dia pasti akan baca cerita penulis lain."
Kudengar Dian membuang napas panjang. Dia lepas pelukan kemudian menghapus jejak air mata di wajah ayunya.