Mohon tunggu...
Megawati Sorek
Megawati Sorek Mohon Tunggu... Guru - Guru SDN 003 Sorek Satu Pangkalan Kuras Pelalawan Riau

Seorang guru yang ingin menjadi penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gara-Gara Novel Dewasa

30 Desember 2023   09:41 Diperbarui: 30 Desember 2023   09:51 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri: Koleksi Desain Megawati Sorek

"Ta!" Dian menghambur ke pelukanku setelah mendorong kasar pintu rumah yang tidak dikunci. "Kamu benar, Ta! Kamu benar," ucapnya seperti orang linglung.

"Aku menyesal, Ta, benar kata kamu tentang prinsip kemarin. Aku menyesal sekarang." Sahabatku melepas pelukannya lalu menatapku dengan berurai air mata. "Tapi, semua sudah terlambat."

"Apa yang kamu sesali? Apa yang terlambat? Bicara pelan-pelan, Yan." Aku meraih dua lembar tisu di meja lantas kuberikan kepadanya. "Aku punya banyak waktu untuk mendengarkan ceritamu," ucapku sambil menutup laptop yang tadi kugunakan untuk menulis naskah novel, sebelum Dian datang. "Tenangkan dirimu dulu. Mau kopi?"

Dian menggeleng. Aku mengamati penampilannya. Wajah yang biasa dipoles riasan tebal itu terlihat kuyu, kehilangan gairah yang dia pamerkan beberapa waktu lalu saat beradu prinsip denganku.

"Baiklah." Aku memperbaiki posisi duduk supaya kami saling berhadapan. "Katakan padaku, apa yang terjadi?"

Dian menunduk lebih dalam. Itu membuat air mata yang sudah disusutnya, jatuh lagi dalam jumlah lebih banyak. Akan tetapi, tentu saja tidak jadi soal, terkadang air mata bisa meringankan sesak di dada. Percayalah, aku tahu dengan pasti soal itu.

Kubiarkan Dian menjadi apa adanya. Melepas beban yang mungkin terlalu menghimpit, membuatnya sulit berkata-kata. Sesekali kuusap punggung wanita kuat yang sudah lima tahun berteman dekat denganku. Kami sama-sama orang tua tunggal yang bergelut di dunia literasi, inilah yang membuatku nyaman berkawan dengannya. Pembicaraan yang selalu sejalan sepemikiran, cukup menjadi alasan untuk terus mempertahankan persahabatan.

Menit-menit berlalu. Tidak terdengar lagi isak Dian, berganti dengan suara lendir yang dikeluarkan dengan paksa dari hidungnya yang memerah. Kupikir dia sudah tenang. Kusiapkan telinga dan hati untuk mendengar kisahnya.

"Ta."

"Ya."

"Aku salah karena sudah memilih jadi penulis yang hanya mengejar uang semata, tanpa berpikir dampaknya."

Ah, aku tahu ke mana arah pembicaraan itu. Beberapa waktu lalu, kami terlibat perdebatan luar biasa tentang hal tersebut. Dia bahkan menertawaiku yang tetap menulis naskah novel cetak menggunakan bahasa santun dan berbudaya, tidak seperti dirinya yang menghasilkan banyak uang dengan menulis cerita dewasa di platform digital. Baginya, aku terlalu kuno karena masih memegang prinsip konvensional dalam menerbitkan novel sementara teknologi sudah berkembang luas.

"Kita mau mulai perang lagi soal ini?" bisikku lelah.

Dian menggeleng cepat. "Eggak, Ta."

"Lalu?"

"Kemarin kamu bilang kalau tulisan kita akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Ternyata, aku tidak perlu menunggu ajal menjemput dulu untuk menerima hukumannya," sahut Dian kembali berurai air mata.

Aku mengernyit. "Maksud kamu?"

"Novia, Ta."

"Novia ... anakmu? Kenapa dia?" Aku sungguh tak kuasa melihat air matanya. Kuambil segelas air mineral dari dapur lalu kuberikan kepadanya. "Minumlah dulu. Tenangkan dirimu, baru cerita lagi."

Ketika Dian meminum airnya, aku meneguk kopiku. Batin berkecamuk, menerka yang seharusnya tidak perlu diterka sebab Dian akan mengatakan semuanya.

"Novia hamil."

Aku tersedak. Cairan hitam kental yang kuminum masuk ke saluran hidung. Ah, ini sangat tidak nyaman. Aku bergegas meraih tisu lalu menyeka mulut dan tangan yang terkena kopi. Setelahnya, kubersihkan juga cipratan noda hitam di gamis yang kupakai menggunakan tisu yang sama. Menyebalkan.

"Diam-diam, dia membaca ceritaku di aplikasi baca novel berbayar, lalu ...."

Kuhentikan gerakan tanganku. "Lalu apa?"

Dian menunduk, wajahnya terlihat lebih pucat dibanding saat baru datang tadi.

"Dia mempraktikkan adegan dewasa yang tertulis di novelku dengan pacarnya."

Ya, Tuhan. Aku melotot, mungkin kalau tidak segera menyadarinya, bola mataku bisa-bisa keluar dari kelopaknya. Novia adalah anak yatim, dia masih berseragam putih abu-abu. Benar-benar hukuman duniawi yang luar biasa. Apa lagi yang bisa kukatakan? Jangankan Dian, aku yang bukan siapa-siapa anak itu saja merasa tidak percaya.

"Ini salahku, Ta. Ini salahku," teriak Dian sambil memukul-mukul dadanya.

"Dian, dengar aku." Kupeluk tubuh lemas itu dengan lembut, berharap dia bisa kembali tenang. "Kita pikirkan solusi terbaik untuk Novia, oke?"

Meski masih menangis, tetapi gerakan Dian sudah tidak seperti sebelumnya.

"Ini bukan sepenuhnya salahmu, Yan. Literasi digital sekarang memang berkembang sangat cepat. Kita tidak bisa mengontrol ribuan penulis dan pembaca di sana." Aku memelankan intonasi. "Kebetulan saja anakmu baca ceritamu. Andai kamu tidak menulis di sana  pun, dia pasti akan baca cerita penulis lain."

Kudengar Dian membuang napas panjang. Dia lepas pelukan kemudian menghapus jejak air mata di wajah ayunya.

Kugenggam jemari sahabatku yang terasa membeku. "Dian, kamu harus menghadapi ini dengan kepala dingin. Anakmu sedang jatuh, kamu harus ada di sisinya untuk menguatkan dia. Bukan cuma kamu, tapi dia juga pasti merasa cobaan itu terlalu berat untuknya," bisikku.

"Ma, maafkan Novia." 

Aku dan Dian sama-sama melihat ke pintu yang terbuka. Novia datang bersama beberapa orang yang menerobos masuk tanpa dipersilakan lebih dahulu. Aku mengernyit, saling lempar pandang dengan Dian.

Novia dan orang-orang itu duduk di sofa ruang tamu. Kugandeng Dian untuk menemui mereka, setelah sebelumnya kami berdua berbincang di ruang keluarga, sejalur dengan pintu utama.

Novia bersujud di kaki ibunya sesaat setelah Dian duduk. Tangis anak itu pecah. Deretan kata maaf terlontar begitu tertata dari mulutnya. Aku membuang pandangan ke tamu-tamu lain. Dian menarik lengan Novia, menyuruh anak itu duduk di sisinya.

"Kalau boleh tau, Bapak dan Ibu ini siapa? Kenapa mengantar anak saya sampai ke sini?" tanya Dian sambil menyusut air matanya.

"Kami orang tua Bili, Bu. Maaf, kami datang ke sini tanpa memberi kabar sebelumnya," ucap sang bapak sambil menyentuh pundak remaja lelaki di sampingnya yang menunduk. "Tadi, waktu kami ke rumah Novia, kami lihat dia sedang mencoba ...."

"Mencoba apa, Pak?" tanyaku ingin tahu.

Ayah Bili memelankan suaranya. "Dia mau gantung diri, Bu."

"Astagfirullah! Novia!" Dian menjerit. Dipeluknya putri semata wayang itu dengan air mata menderas. "Istigfar, Nak, istigfar."

Tidak ada yang bersuara selain Dian yang terus terisak dan menyesali tindakan anaknya.

"Bu." Setelah beberapa waktu, akhirnya ayah Bili membuka pembicaraan lagi. "Ini bukan hanya kesalahan Novia saja, tetapi anak saya juga. Kami, sebagai orang tua, sudah lalai mendidik dan menjaga anak kami."

Dian bergeming.

"Izinkan kami melamar putri Ibu," lanjut ayah Bili.

"Melamar?"

"Benar, Bu. Kita nikahkan mereka. Mudah-mudahan Allah meridai niat baik ini," sahut ibu Billi.

"Lalu, sekolahnya?"

"Nanti mereka saya daftarkan program Paket C, lalu lanjut kuliah di universitas terbuka," tutur ayah Bili tegas.

Ibu Bili ikut mendukung pendapat suaminya. "Menurut kami, itu keputusan terbaik untuk saat ini. Kalau dikatakan kecewa, kita semua merasakan hal yang sama, tapi nasi sudah menjadi kerak, tidak ada yang bisa diubah dari kejadian ini. Meski begitu, kita masih bisa memberi mereka kesempatan."

Jika dipikir dengan seksama, solusi itu memang yang terbaik untuk saat ini mengingat Novia sudah putus asa. Aku menoleh ke Dian yang terdiam, mungkin sedang berpikir. Dia melirik putrinya yang berambut pirang sementara Novia mengigiti ibu jari. Aku bisa dengan mudah melihat kegugupan di wajah keduanya.

Saat sore menjelang, kata sepakat pun didapat. Langkah selanjutnya adalah perbincangan mengenai tata rencana pelaksanaan pernikahan. Aku kembali ke depan laptop. Kunyalakan lagi benda ajaib itu ketika tamu-tamu sudah pulang.

Aku jadi teringat masa lalu ketika pertama kali menggunakan alat tes kehamilan. Hasilnya positif. Aku pun memilih pergi dan tinggal di kota lain, sampai sekarang. Hidupku tidak jauh berbeda dengan Novia, akan tetapi solusi yang kami tempuh tidak sama. Aku yang sekarang justru hidup dalam penyesalan. Bukannya bertobat, tetapi malah keasyikan menjadi penulis sekaligus istri simpanan.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun