Kecantikan sama dengan kekuatan mistis (kosmis) yang merupakan wujud lain dari laku alus (lemah lembut). Suatu kecantikan mengandungi nilai yang merupakan hasil dari perjalanan mengenai laku yang juga adalah jalan hidup. Kekuatan ini yang pada akhirnya membuat seseorang mampu untuk “memberi makna yang belum terlahir (I : XXVI)” sebagai pengejawantahan atas kemampuan batin, yang oleh NJ diungkapkan sebagai “ketajaman mata jiwa (I : XXVII)”. Demikian, NJ membungkus kekuatan batin (rasa sejati) yang diwujudkan ke dalam simbol sebagai padmi (perempuan).
Suatu Nasehat: Hakekat ke-Empu-an Padmi
Empu, dalam kehidupan masyarakat Jawa memiliki status yang penting di dalam struktur kehidupan. Empu tidak hanya sekedar sebagai seorang pembuat keris, senjata tradisional masyarakat Jawa. Akantetapi, seorang empu juga sebagai sosok manusia yang dianugrahi suatu kedekatan hubungan dengan alam dan Hidup (Tuhan). Bagaimana tidak demikian, jikalau kehadiran seorang empu bukan sekedar pandai besi, namun lebih dari itu, yaitu seorang empu mampu untuk menitiskan kekuatan alam dan kekuatan kosmos lainnya ke dalam bentuk pusaka yang menjadi senjata pamungkas apabila manusia mengalami posisi gawat dan penting. Seornag empu dapat dipastikan kalau di dalam dirinya memiliki kelembutan diri dalam kesejatian yang diperoleh dari ketatnya perilaku perihatin dalam waktu yang lama. Pun, NJ mengungkapkannya demikian:
Pada perempuan pekerja, dirinya ada kelembutan lain,
Dan setipa insan memahami rabahan penuh kasih (I : XLIII)
Perempuan pekerja, begitu NJ membuat perumpamaan simbol mengenai hakekat kehidupan. Yakni, bahwa perempuan selayaknya seorang abdi, yang bekerja untuk dirinya sendiri agar mendapatkan upah. Upah dalam konteks ini sebagai buah dari ibadah, yang ditujukan demi kekuatan kosmis yang telah menciptakan keseluruhan dari hakekat hidup. Perempuan sebagai simbol dari manusia bijaksana, yaitu empu yang sesungguhnya tidak bekerja hanya untuk dirinya sendiri. Ilmu yang dimiliki digunakan untuk membantu orang lain dalam usaha pengerjaan pusaka hidup, yang juga merupakan simbol dari kegiatan transfer kekuatan kosmis.
Ia, si empu ini yang secara sekilas seperti seorang kyai yang mempelajari agama bukan untuk dirinya sendiri namun demi keselarasan hidup manusia beragama. Selayaknya kyai, empu memiliki kelembutan yang diakui dan sekaligus disegani orang. Kehalusan yang didapat dari penjalanan laku prihatin yang ketat, yang sesuai dengan kondisi lingkungan di mana dia hidup.
Hal ini dapat dicermati dalam ayat:
Bibir selalu dibasahi puja sepohon jati kering berpuasa
Bungan mekar dicumbui embun telah lama dirinya putik
Seperti ombak kuluman bibir samudra (I : XLIV)
Susunan kalimat yang dapat kita dengar simphoninya. Karena teramat merdu, nyaris tidak terdengar makna yang disembunyikan. Ayat di atas mengabarkan pada kita dengan sangat halus mengenai cara (baca: jalan) untuk mencapai kelembutan. Jalan yang jelas-jelas bukan kondisi yang dipenuhi dengan nikmat dunia, jalan yang jauh dari menyenangkan. Akantetapi, jalan yang di dalam penggambarannya merupakan suatu kondisi hidup yang keras dan hanya bisa dilalui dengan bulatnya tekat. Kenapa saya mengatakan seperti ini?
Kita bisa saja menyangkal, namun sebelum menyangkalnya, marilah kita mengamati bagaimana NJ mengajak kita untuk selalu bersyukur dan ingat dalam menjalani kehidupan. Mungkin saja, pemikiran lama dari masyarakat Jawa mengenai eling lan waspada, ingat dan waspada, yang dimaktupkan NJ dalam kalimat: “Bibir selalu dibasahi puja”. Puja adalah penganggungan atas sesuatu hal, tidak lain yaitu suatu kekuatan kosmis (Tuhan). Manusia yang ingin mencapai taraf empu, hendaknya tidak lalai dalam pengagungan dan menjalani hidup dengan prihatin. Pengagungan Tuhan dapat kita terjemahkan dengan selalu menerima dengan senang hati setiap perhelatan takdir yang telah Tuhan berikan untuk kita.
Dalam suatu kasus lain, kehidupan sekitar kita memberikan saksi nyata tentang bagaimana pohon Jati menjalani hidup. Dia (pohon Jati) dapat terus tumbuh walau tanah yang dipijaki dalam keadaan kekurangan air (gersang). Pohon jati bertahan hidup dalam kesahajaan akan kesederhanaan (dan juga kemiskinan) untuk tidak mempertahankan rimbunan daun yang sebenarnya, rimbunnya daun ini dapat membuatnya nampak gagah perkasa dari pandangan luar.