Mohon tunggu...
M.D. Atmaja
M.D. Atmaja Mohon Tunggu... lainnya -

Teguh untuk terus menabur dan menuai. Petani.\r\n\r\neMail: md.atmaja@yahoo.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Empuku, Perempuanku

8 Februari 2011   03:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:48 715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Begitu singkat keperjakaan memaknai sang gadis, maka melangkahlah
mengikuti harum kanthil menuju taman-taman jauh di sana (I : VIII)

Jangan paksa memegang sayap kekupu,
nanti meronta tinggalkan bekas luka, tangkaplah lewat pandangan saja
lantaran dirinya telah memahami semerbak angin di udara (I : IX)

kehati-hatian ini yang semestinya membawa kita untuk meresapi “kanthil” yang dapat dipandang sebagai buah laku (batin) dari seorang perempuan. Akantetapi, keturunan Adam, menurut NJ hanya sekedar melihat bentuk lahir tanpa mempertimbangkanaspek batin perempuan, yang sebenarnya menjadi dasar dari suatu perjalanan hidup yang sudah dan akan ditempuh. Kebanyakan dari kita (lelaki) lebih senang menilai perempuan dari segi lahiriyah, berbatas pada material pembangunnya, hakekat seorang perempuan dikesampingkan begitu saja. NJ melalui KPM menyarankan agar lelaki lebih berhati-hati untuk sabar mencermati nilai yang lebih esensial yang olehnya (NJ) disimbolkan melalui bunga kanthil. Penisbatan perempuan pada bunga Kanthil dipandang cukup berdasar mengingat adanya nilai kemanunggalan yang tersembunyi dan memancarkan cahaya harum. Tersembunyi dan harum yang manunggal (wingit), itu lah perempuan.

Nilai yang bersemayam di dalamnya tidak dapat dikuasai oleh kaum Adam dengan paksaan, semisalnya peperangan. Pemaksaan terkadang hanya mampu menguasai wilayah (tubuh). Perempuan yang hatinya masih bebas dari pijakan dapat melangkah pergi. Walau tubuhnya telah dikuasai, hatinya dapat dimiliki oleh orang lain atau barangkali akan tetap merdeka. Dalam epos Mahabarata, kita bisa melihat bagaimana Rahwana menculik Dewi Shinta, namun hati sang Dewi tetap menjadi milik Ramawijaya. Mengacu pada cerita pewayangan tersebut, contoh yang lain, misalnya Dewi Drupadi yang telah menjadi istri kelima Pandawa namun hati hanya diberikan untuk Arjuna.

Hakekat dari perempuan sebagai perhiasan adalah kelembutan yang ada di dalamnya. Kelembutan di sini tidak lain adalah laku yang baik. Ia tidak hanya menghiasi, selayaknya keberadaan lampu hias di dalam Pendopo. Lampu hias ini juga perhiasan, namun sekaligus mengandung makna terdalam. Sebagai perhiasan, sebab keberadaannya menghiasi struktur estetika. Selain itu, jika kita melihat seluruh struktur pembangunnya, maka kita akan mendapat makna yang paling esensi dari keberadaan hiasan tersebut, yakni sebagai pancer atau pusat. Nilai ini menuntun kita pada jalan hidup Jawa mengenai keyakinan adanya “Empat Saudara”, yaitu pandangan, pendengaran, penciuman, dan ucapan (Beatty, 2001: 245). Empat saudara ini dapat pula dimaknai sebagai kiblat papat (empat arah kiblat) kehidupan manusia yang dilambangkan dengan empat tiang utama.

Empat arah kiblat yang dibangun juga menghadirkan lampu hias yang berada di tengahnya. Lampu hias ini simmbol dari pancer (pusat) yang menandakan mengenai pusat kehidupan. Peran sebagai hiasan menyembunyikan maknawi sebagai pusat, yang apabila kita memahaminya akan mencapai misteri kelembutan di kutub Maha Kasih (I : X). Perempuan, dengan demikian, membawa makna pusat di dalamnya yang menjadikan dirinya sebagai panutan, meskipun membawa pada kekacauan (I : XI). Sesosok maknawi yang hebat dikandung perempuan dalam kehidupan. Ia diciptakan sebagai pahala yang tidak untuk diikuti kehendakknya (Ranggasutrasna dkk, 1999: 159), sebab apabila diikuti, perempuan lebih banyak mendatangkan penderitaan.

NJ menegaskan pokok ini dalam ayat XII berikut:

Ia menciptakan badai-badai maut membuncang,
memusar pisau-sakauw menjemput usia, batu-batu lebur ditiiup olehnya (I : XII)

Saya kira, penulisan ayat ini tidak terlalu berlebihan mengingat dari peran perempuan itu sendiri. Ia (perempuan) sebagai perhiasan dapat membawa pada kelanggengan hidup (keselamatan) namun dapat juga membawa pada sakit. Semua ini, sangatlah bergantung dari bagaimana kita menempatkan kemudian bersikap pada keberadaan perempuan. Karena bagaimana pun juga, perempuan itu sebagai seonggok simbol yang menghiasi dan sekaligus memaknainya.

Musuh di dalam Diri

Musuh, siapa sebenarnya musuh kita ini? Begitu, Pak Putu Wijaya membawa suatu persoalan penting di dalam novel Perang (2002). Dalam cerita ini, novel yang selayaknya pagelaran wayang semalam suntuk, menuntun kita untuk memahami keberadaan diri beserta segala macam pembawaan di dalam hidup. Keberadaan diri ini, yang dapat mengantarkan pada makna hakiki mengenai musuh Pandawa (manusia) yang sebenarnya. Ajaran Islam memiliki suatu jalan yang sering disebut dengan berpuasa, sebagai kegiatan peperangan besar untuk memerangi diri sendiri. Hakekat dari puasa, adalah untuk mengalahkan nawa nafsu. Lantas, kenapa saya mengetengahkan sub-judul mengenai musuh dalam pembahasan mengenai perempuan ini, adalah sebagai berikut:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun