Mohon tunggu...
M.D. Atmaja
M.D. Atmaja Mohon Tunggu... lainnya -

Teguh untuk terus menabur dan menuai. Petani.\r\n\r\neMail: md.atmaja@yahoo.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Empuku, Perempuanku

8 Februari 2011   03:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:48 715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Lalu, bagaimana dengan “pembuka gerbang langit” tersebut? Bangunan simbol yang hampir saja tidak mampu saya mengerti. Ayat III surat Membuka Raga Padmi hampir membuat saya kehilangan napas. Namun saya tidak patah arang untuk terus berusaha mengurai simbol tersebut. Kini, hal yang paling nyata adalah dengan mengembalikan ke tanah sebagai asal-muasal manusia. Tanah yang saya maksudkan di sini adalah pulau Jawa dan pandangan hidupnya. Dalam Serat Centhini yang dikutib Zoetmulder (Beatty, 2001: 222) mengatakan bahwa jika kita “ingin menembus realitas, masuklah ke dalam simbol”. Nasehat ini memberikan saya harapan untuk terus menelusur, yang akhirnya membawa pertanyaan baru: simbol apa? Yah, tentu saja simbol perempuan (padmi) yang merupakan simbolisme mengenai suatu nilai.

Menetapkan keberadaan perempuan sebagai simbol bukan tanpa dasar. Dengan masih mengacu pada penelitian Beatty (2001: 224) yang mengarahkan saya untuk menetapkan perempuan sebagai simbol, yakni bahwa “seseorang tidak perlu keluar dari diri sendiri”. Perempuan sebagai simbol, di dalam struktur bangunan simbol Jawa yang bermedan makna mengenai kehidupan manusia. Pada khasanah yang lebih luas, perempuan sebagai bumi yang juga sebagai hakekat kehidupan seluruh makhluk.

Simbol perempuan dan bumi, mengingatkan saya pada cerita di ujung timur pulau Jawa. Pun, mengingatkan saya pada perjalanan cinta yang kini menjadi perjalanan pulang kampung ke Kota Pensiunan, Banjarnegara. Hal yang nantinya akan terdengar mengada-ada, meng-gothak-gathuk-kan dari satu sisi dengan sisi lainnya untuk memperoleh penjelasan. Kembali ke tanah di ujung timur pulau Jawa, di sana kita akan menemukan wilayah hutan wingit yang disebut dengan Alas Purwo.

Menurut hasil penelitian Beatty (2001: 291) dengan memahami tempat-tempat rahasia Alas Purwo sama halnya dengan memahami asal-usul manusia. Di tengah-tengah Alas Purwo terdapat Gua Kelelawar, di sanalah tersimpan hakekat asal-usul tersebut. Apabila Alas Purwo melambangkan rambut yang tumbuh di sekitar kemaluan, maka keberadaan Gua Kelelawar melambangkan kelamin perempuan (Vagina) yang menghubungkan dengan kedalaman asal-usul

Ujung timur pulau Jawa yang memiliki struktur simbol Alas Purwo dan Gua Kelelawar sebagai kelamin perempuan, itu berarti adanya pertautan dengan simbol lainnya, mengantarkan pada proses melahirkan dan menyusui yang kemudian menempatkan perempuan sebagai pembuka gerbang langit. Sebenarnya, melalui simbol Alas Purwos dan Gua Kelelawar kita sudah dapat menangkap makna mengenai hakekat perempuan. Dia menyimpan, sekaligus menjadi jalan pengetahuan mengenai asal-usul kehidupan. Asal usul ini seperti yang termuat dalam Serat Gaholoco (Anderson dalam Beatty, 2001: 291)

Dalam guaku ini
ada mata air tersembunyi
yang disebut “air rasa”
pada masa dahulu, perbendaharaan

Tuhan yang Maha Kuat
orang yang membasuh dirinya,
dengan air rasa ini
merasa nikmat tak terpermanai
melebihi semua di dunia.

Seringkali saya menyibukkan diri dengan gothak-gathuk ini. Mengolah rasa dan pikir agar dapat dengan akurat membidik. Di sini juga saya berniat memberanikan diri untuk mengatakan kalau tanah Jawa ini adalah seorang (tubuh) perempuan yang terlentang dalam ketelanjangan. Anggapan yang tidak pasti? Mungkin saja seperti itu, tapi marilah kita menyelidiki cerita perjalanan pulang dari Mangir (Bantul) menuju Banjarnegara. Di pertengahan jalan saat kita memasuki Kabupaten Wonosobo, pandangan akan menemui dua gunung yang hampir kembar bernama Sindoro dan Sumbing. Dua gunung yang hampir kembar ini mengingatkan saya akan suatu nilai yang lain.

Nah, kali ini kita mulai memiliki kesamaan alur pemikiran. Katakan dengan lantang, Sindoro dan Sumbing sebagai payudara (perempuan) dalam simbolisme menyusui. Gunung yang hampir kembar, keduanya nampak sama namun berbeda antara kanan dan kiri, begitu pun Sindoro dan Sumbing. Gunung juga menjadi jalan dalam pemuntahan saripati tanah (baca: kesuburan) untuk memberi penghidupan dari apa yang pernah dilahirkan. Begitu juga dalam pengejawantahan perempuan itu sendiri, kita dapat menemukan makna yang entah itu adalah sebagai bumi atau pun sebagai ibu. Dua bentuk simbol seperti ini, membawa pengertian mengenai hakekat kehidupan/. Gua Kelelawar (kelamin perempuan) di Alas Purwo, maupun Sindoro dan Sumbing (payudara) memeberikan deskripsi akan hakekat itu sendiri, bahwa manusia tidak bisa melepaskan diri dari tanah dan sekaligus dari perempuan.

Mungkin saja, kasus seperti ini yang mendasari NJ menyebut perempuan sebagai “insan tertinggi di muka bumi”. Ungkapan yang mungkin saja dapat menyakiti perasaan para lelaki, karena menisbatkan perempuan untuk menempati puncak kepemimpinan. Bagaimana pun juga, ada ungkapan bijak yang mengatakan seperti ini: Surga berada di bawah telapak kaki seorang ibu. Manusia yang menginginkan surga, karena posisinya di bawah kaki perempuan, maka dia harus menempatkan diri di bawah kaki ibunya. Selanjutnya mengajak kita untuk menuju dan (sekaligus) memasuki ladang pengabdian. Raja dan semua orang besar kalau dia tidak menjalani pengabdian ini, maka surga itu menjauh darinya.

Pengetahuan mengenai keberadaan surga yang terkadang kita lupakan sesungguhnya memiliki nilai spiritual yang tinggi. Perempuan, ternyata berdiri pada posisi yang mengagumkan. Saya meraba-raba sejenak, sambil mengenang seorang ibu, kekasih, dan sekaligus istriku. Benar-benar musti melepaskan ego sebagai lelaki untuk menghadapi hal ini, kalau di kaki ibu (padmi atau perempuan) ada indahnya surga, lalu apa yang ada di dada dan kepalanya? Mungkin saja di sana memancarkan keagungan akan kesejatian Tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun