Perempuan, seperti yang sudah dikemukakan di atas sebagai pahala yang tidak untuk diikuti (Ranggasutrasna dkk, 1999: 159), menyiratkan nilai tersembunyi yang perlu untuk diwaspadai. Nilai tersembunyi ini saya sebut sebagai musuh, sebab keberadaannya mengancam keselamatan hidup, baik kehidupan perempuan maupun kehidupan lelaki. Jadi, musuh di sini tidak semerta-merta menyatakan kalau perempuan sebagai musuh yang nyata, melainkan sebagai simbol akan keberadaan diri manusia itu sendiri.
Nurel Javissyarqi memberikan kita pengetahuan mengenai ini, dia (musuh) tersimbolkan dalam diri perempuan, melalui perwakilan dari “rasa” yang dimiliki manusia semenjak lahir. Rasa itu juga yang memberikan bentuk kehidupan manusia, dan yang keberadaannya terbiaskan oleh unsur lain yaitu nafsu dan fikiran. NJ menyebut kekompleksitasan nilai ini sebagai cinta:
Cinta setia, tulus membasuh lingga hingga tiada berdaya
dalam rengkuhan kasih, renggutan tangan sayang mesra (I : XVI)
Wanita membawa ruhmu ke puncak pada padat pasir lamunan
bagaikan rerumputan hijau bergoyangan atas bisik ketinggian (I : XVII)
dua ayat yang sungguh memberikan pengalaman tersendiri. Melalui bahasa yang halus, NJ menyuguhi kita dengan nuansa yang sungguh berbeda. Tidak seperti apa yang terdengar, di sana cinta setia yang berpadu dengan lingga dan ketidak-berdayaan. Lalu, NJ menyatakan mengenai adanya keterpaksaan di dalam kemesraan yang tercipta. Saya mulai menaruh curiga, apabila cinta setia mewakili perasaan sejati, lalu apakah lingga di sini mewakilkan pada alat kelamin lelaki atau pada tubuh (badan)? Saya menafsirkan, lingga sebagai simbol dari tubuh manusia. Selanjutnya, cinta (rasa) yang menurut NJ adalah sejati merasuk, ke dalam tubuh (lingga), namun membuatnya tidak berdaya sampai melalui rengkuhan kasih, ia (cinta tersebut) berusaha memfatamorganakan kemesraan. Saya menemukan pemahaman, bahwa ternyata rasa cinta itu yang perlu diwaspadai, ditilik ulang benar atau tidaknya cinta yang NJ maksudkan sebagai hakekat atau kemurnian cinta sudah terlimbahi.
Sebab, cinta yang dihadirkan (lelaki dan perempuan) membawa diri pada dunia yang terkadang hanya terbentuk sebagai mimpi. Membawa kita pada perjalanan penuh marabahaya, “padang padat pasir” yang seolah seperti rumput hijau yang menyatakan mengenai hakekat kekuasaan, “bisik ketinggian”. Iya, atau tidak seperti demikian di atas, mengenai hakekat keberadaan perempuan dan cinta yang disuguhkan. NJ menyatakan kalau kita tidak teliti menyelidik, duri senyuman yang juga disebut dengan luka hidup akan terus membekas (I : XVIII). Dengan kata lain, perempuan dijadikan wakil dari keberadaan diri mengenai perasaan manusia. Perempuan yang (mungkin) oleh NJ merupakan simbol dari perasaan manusia sama dengan megahnya kerajaan misteri (I : XIX).
Nilai rasa dari perasaan yang tersusun dari berbagai unsur ini membawa perempuan sebagai rasa atau nilai rasa dari kehidupan yang sering disebut dengan: hati. Kalau lelaki sebagai tubuh yang tersimbolkan sebagai lingga (dalam ayat I : XVI) maka perempuan sebagai cinta (hati). Tubuh manusia dapat memiliki nilai karena di dalamnya terdapat jiwa yang mengandungi cinta. Jikalau jiwa tersebut mengandung unsur keilahian maka cinta berunsur perempuan. Dia (perempuan sebagai cinta) hadir bernama ruh yang berbentuk aktivitas di dalam hati. Perempuan adalah rasa manusia yang musti dipilih hakekat pembangunnya, apakah dia sejati atau bisikan nafsu. Karena bagaimana pun juga, perempuan simbolisasi dari musuh yang ada di dalam diri.
Sang Penakluk
Suatu keberadaan yang seharusnya membuat seluruh kaum Adam berhati-hati, perempuan itu penakluk yang sebenarnya. Perempuan yang dalam pandangan sekilas menyiratkan suatu sisi kelemahan yang menggiurkan lelaki untuk menguasai, sesungguhnya di dalamnya mengandung jiwa penakluk. Pemikiran ini tidak berlebihan, jikalau kita mengingat kembali sejarah penaklukkan Mangir yang dapat memberikan gambaran bagaimana peran penaklukkan yang dilakukan perempuan. Andaisaja, Ki Ageng Mangir tidak terjerat pikatan Pembayun, tentu tidak perlu untuk menghadap yang membawa pada kematian. Pun, peran Ratu Pandhansari dalam prosesi penaklukkan Giri menjelaskan sisi jiwa penakluk yang lain. Nurel Javissyarqi (2006: 251) mengetengahkan pendapatnya, bahwa perempuan bukan pemancing atau ikannya, dia mampu menjadi penjala paling lihai di antara lelaki.
Peran ini, nampak dalam ayat XX dan XXI surat Membuka Raga Padmi berikut:
Saat mata memahami, tertangkap gambaran mendatang
Pula sejarah sebelumnya, ia matahari mata rajawali di Maospati,
Segala yang terlihat didapatkannya sebagai mangsa (I : XX)