Ia sang pemburu lihai, setiap kepakan sayapnya mencabut nyawa pelena
Sedangkan tarian jemarinya mengangkasa, menghapus papan hari-hari pembalasan
Kepada bumi yang tak selamanya beredar (I : XXI)
Hakekat yang tersembunyi dari perempuan adalah kelembutannya, yang melahirkan adanya kekuatan tanpa batas yang membawahi para lelaki. Perempuan yang lembut, nampak tidak berdaya namun mematikan selayaknya Rajawali yang memangsa apa pun juga. Hal ini menyiratkan mengenai sesuatu yang berlebih, kekuatan yang begitu banyaknya. Semisal, api yang sedikit namun mampu beranak pinak dan menghanguskan apa pun juga yang ada di sampingnya, meskipun itu adalah tumpukan besi baja akan lebur ketika bersentuhan dengan kekuatannya. Atau pun, semisal air yang gemericik namun tiba-tiba meluap untuk menyapu dan menghanyutkan setiap hal yang ada di jalannya.
Hal ini yang (mungkin saja) telah dibaca NJ, yaitu mengenai hakekat akan kelembutan. Penjabaran yang indah dengan simbolisme yang, menurut saya, sungguh pas. Ia perempuan, membawai sifat lemah lembut yang dapat dijadikan sebagai suatu jalan dalam memperoleh kekuatan yang dasyat. Pun, dengan demikian, saya membaca mengenai nilai kelembutan yang dibawa perempuan, kelembutan tersebut bukan perempuannya, yang merupakan sikap dan kepekaan rasa, layaknya perempuan itu sendiri.
Kelembutan membawa kita pada dimensi yang melepaskan keberadaan ruang dan waktu. Aspek ini mampu membawa kita pada ruang ketiadaan, jikalau kita nyatakan tidak ada namun sebenarnya ada, juga jika kita mengatakan ada namun tidak nampak dalam pandangan. Nilai ini mengandungi sifat nyata (hakiki) yang syarat dengan metafisik. Sikap lembut, di dalam kehidupan masyarakat Jawa sering disebut dalam istilah alus, yaitu suatu sikap seseorang yang mampu mengontrol diri secara sempurna dan memiliki kekuatan batin (Magnis-Suseno, 2985: 162). Sifat alus atau kehalusan yang mengacu pada kekuatan batin yang di dalamnya terdapat pengetahuan mengenai manusia dalam dunia dan dalam kosmos, dalam usaha melihat eksistensi manusia dalam susunan kosmologis, sebagai pengalaman religius (Mulder, 1984: 22). Untuk mencapai tingkatan halus ini, manusia perlu menjalankan sikap nrimo, sabar, waspada-eling, dan prasojo (Mulder, 1984: 22-23) demi menjaga keseimbangan hidup (diri sendiri) dengan Tuhan, yang dapat diungkapkan sebagai jalan hidup.
Sikap masyarakat dalam menjalani hidup lebih menekankan pada ketentraman batin, yang mendorong individu untuk hidup selaras dengan dirinya sendiri, dengan masyarakat, selaras dengan Tuhan dan menjalankan hidup dengan benar demi tercapainya dimensi pengetahuan antara dunia (manusia) dengan Hidup atau Tuhan (Mulder, 1981: 12). Pandangan hidup seperti ini akan menuntun manusia untuk menjalani laku hidup yang halus, hidup yang penuh dengan welas-asih dan religius. Hidup yang alus (lemah-lembut) mampu mendatangkan kekuasaan, sampai manusia tersebut dapat “mengalirkan air dari hulu” dengan jarinya (I : XXII).
“Butiran embun gugur mengenangkan masa silam” (I : XXII), kalimat yang mengajak kita untuk memahami kehidupan yang sebenarnya. Berusaha meneguk embun, untuk mencapai pengalaman dari masa lalu. Mereguk embun di sini, mendeskripsikan mengenai jalan kebatinan yang juga merupakan suatu jalan untuk mencapai sifat alus. Jalan tersebut, misalnya saja, tapa-brata dan lelana-brata (Magnis-Suseno, 1985: 104). Lantas, kenapa jalan hidup akan pengetahuan tersebut termaktub dalam butiran embun? Hal ini dapat dipandangan sebagai suatu pengibaratan mengenai pencarian ilmu (pendalaman ilmu) Jawa, yang berasal dari pengalaman saya pribadi, bahwa manusia melalui tapa brata dan lelana-brata itu digiring untuk meresapi tetesan embun yang merupakan penjelmaaan dari wangsit (kalau tidak boleh disebut wahyu). Dari aspek ini, manusia akan dikembalikan ke masa silam untuk menyelami dunia leluhur yang sudah berbadan (bertubuh) halus atau roh dan menjadi pepunden.
Hasil dari laku kebatinan ini, mengakibatkan seorang pelaku akan memperoleh keutamaan atau kelebihan. Dia sebagai manusia yang linuweh, maka dari dalam diri menampilkan keharuman budi pekerti dan serta menyenangkan selayaknya perawan (I : XXIII). Melalui kelembutan yang dimiliki seseorang, ia mampu menghadirkan kekuatan kosmis yang luar biasa. Ia memancarkan aura yang mampu memikat indra. Kekuatan yang menguasai indra, sebab melalui alat indra manusia dapat memperoleh pengukuhan dan pengusahaan atas nafsu (keinginan) yang akhirnya dipertaklukkan. Ini tidak menyoal bagaimana perempuan menaklukkan lelaki, namun lebih sebagai identitas simbol atas makna yang diembannya. Kelembutan yang melahirkan kekuatan di dalam jiwa (diri) manusia.
Keberadaan kekuatan kosmis di dalam jiwa manusia, yang apabila terus mengacu pada sisi keperempuanan, ia hadir sebagai penguasa. Kita bisa saja mencermati sejarah dan mitos yang berkenaan dengan kekuatan kosmis dari perempuan (baca juga: kelembutan). Sebut saja, Nyai Roro Kidul, seorang ratu lelembut yang diwujudkan sebagai perempuan (Ratu) yang juga sebagai istri (padmi) yang memiliki jiwa yang cantik. Ratu secara jelas menyimbolkan kekuatan dan kekuasaan. Dengan demikian, kecantikan itu mewakili mengenai apa? Di sini lah NJ kembali bermain simbol mengenai kekuatan kosmis tersebut.
Ratu perkasa jagad ini ialah kecantikan berhilir,
Sepenuh gemerincing kata-kata penyair (I : XXIV)
Saya pun, akhirnya kembali menjadi spekulan dalam mengurai makna kecantikan yang NJ hadirkan di sini. Kecantikan membawa pada kekuasaan yang tidak dapat disepelekan, sebab kehadirannya mampu membuat seseorang menjadi Ratu Kehidupan. Posisi yang sungguh menggiurkan, sampai-sampai dalam kondisi realitas, banyak perempuan (dalam arti sebenarnya) berusaha keras untuk menjadi cantik, atau hanya sekedar terlihat cantik. Mungkin saja, para perempuan ini ingin mendapatkan kekuasaan yang datang bersamaan dengan kecantikan seperti yang NJ ungkapkan. Namun memang ada benarnya, mengingat bahwa sebagian besar perempuan cantik memiliki kekuasaan, entah kekuasaan karena faktor ekploitasi lelaki, budaya, maupun kepentingan pasar. Secara tidak langsung, kecantikan yang dipuja di dunia realitas kita adalah kecantikan yang menindas jiwa manusia yang sebenarnya.
Entah bagaimana kecantikan itu diterjemahkan oleh setiap individu, masing-masing pengertian akan memberikan dorongan tersendiri untuk menciptakannsuatu perbuatan. Dalam salah satu karyanya, Trilogi Kesadaran (2006), Nurel Javissyarqi (2006: 117-118) mengungkapkan suatu pemahaman yang lebih jauh dengan mengatakan “kecantikan adalah penggerak alam mistis”. Ini bisa kita jadikan sebagai kunci untuk memahami kecantikan yang berhubungan erat dengan kekuasaan, apabila dalam bahasa NJ yaitu untuk menjadi ratu sejagad. NJ (2006: 117) mengetengahkan tiga pandangan, yaitu cinta, rindu dan bertatap muka. Kecantikan (yang mistis) membuat kita ingin mencintai, yang kemudian melahirkan rindu untuk bertemu. Apakah ini menyoal mengenai cantiknya perempuan yang seksi, semok dan seabrek istilah lain? Bagi saya tidak! Kecantikan yang ada di dalam ayat-ayat surat Membuka Raga Padmi (dan secara umum dalam Kitab Para Malaikat) adalah perwakilan dari suatu kekuatan kosmis, sifat ketuhanan itu sendiri.