Melahirkan dan menyusui, mengingatkan saya pada siklus kehidupan yang lain. Menurut saudara sekalian, aspek hidup yang paling mendasar dari melahirkan dan menyusui ini apa? Di zaman modern, banyak perempuan-perempuan kita yang enggan untuk melahirkan dan menyusui untuk memilih sebagai wanita (perempuan karier). Enggan untuk melahirkan, mereka memilih dengan operasi, yang mungkin ini sebagai akibat dari perkembangan pengetahuan sekaligus pergeseran peradaban. Akantetapi, bukan masalah perkembangan pengetahuan ini yang ingin saya ungkapkan di sini, melainkan struktur pemikiran dari rantai kehidupan yang sudah berumur ribuan tahun, bersamaan dengan diciptakannya manusia.
Di dunia ini, apa yang secara hakekat memiliki sifat melahirkan dan menyusui? Kembali saya menegaskan pertanyaan ini. Keadaan ini tidak menyoal reproduksi manusia demi kelangsungan hidup, melainkan lebih pada nilai universal yang keberadaannya hadir sebagai inti dari kehidupan. Saya tidak menyebutkan kata: Tuhan, sebagai asal muasal kehidupan, tapi hanya sebatas pada senyawa yang ada di dalamnya.
Manusia Jawa (secara khusus) memiliki struktur simbol pemaknaan hidup yang berhubungan erat dengan dua hal ini, yakni melahirkan dan menyusui. Simbol pemaknaan yang mewujud dari struktur hidup. Melahirkan dan menyusui, aspek mendasar dan terpenting dari seorang ibu. Melahirkan, tidak hanya diungkapkan sebagai proses kelahiran seorang bayi, akantetapi di dalamnya terdapat nilai mengandung, pengamanan, pembentukan yang tergolong ke dalam penyimpanan di dalam. Penyimpanan ini, memuat pembenihan di dalam yang pada fase tertentu dimunculkan keluar diri sebagai kelahiran. Kehidupan baru tersebut tidak (belum) dapat berdiri sendiri, sehingga tahap menyusui memiliki sifat yang berkesinambungan dengan kelahiran. Menyusui, kegiatan transfer makanan yang sudah diolah di dalam tubuh seorang perempuan.
Masyarakat Jawa (mungkin) karena dua kegiatan penting seorang ibu yang hampir sama dengan unsur tanah (bumi) menemukan adanya keterkaitan peran. Ibu dan juga tanah, menyatu sebagai unsur simbolis dari kehidupan (asal muasal) itu sendiri. Tempat dimana kehidupan terkandung kemudian terlahir (tumbuh). Bumi sebagai ibu, merupakan bagian dari kepercayaan tradisional (Jawa). Bumi yang melahirkan dan menyusui adalah ibu, yang secara pribadi juga berperan sebagai istri atau padmi yang menumbuhkan kehidupan setelah lelaki yang disimbolkan angkasa menurunkan hujan. Kehidupan bersemi di bumi, karena itu setiap manusia memiliki unsur bumi (tanah) yang kuat di dalam dirinya.
Manusia diciptakan dari tanah, begitu Allah S.W.T. berfirman dalam Surat Shaad ayat 71. Tanah yang menjadi bahan dasar manusia berupa air mani, yaitu tanah yang bercampur dengan sifat air. Badan manusia memiliki sifat tanah, sedangkan ruh yang menghidupkan memiliki sifat ketuhanan. Bumi hakekatnya menjadi jasad (Purwadi dan Dwiyanto, 2005: 50). Dengan demikian, pandangan hidup tradisional mempercayai kalau setiap manusia memiliki sifat keperempuanan, yang sekaligus bahan dasar hidup manusia.
Dalam kondisi seperti ini, tidak cukup mengherankan kalau NJ melanjutkan surat Membuka Raga Padmi dengan:
Ia [perempuan sebagai] pembuka gerbang langit, ketika kitab waktu belum dipelajari (I : III).
Dia insan tertinggi di muka bumi,
karenanya kabut singkup mega lenyap wajah langit biru (I : IV)
perempuan, oleh NJ benar-benar dihargai sedemikian rupa. Apa yang NJ lakukan, maksud saya adalah penghormatan, melebihi masalah kesetaraan gender. NJ mengetengahkan sesuatu yang lain, melebihi teori perjuangan yang pernah ada. Tentu saja, penghargaan NJ pada perempuan melebihi R.A. Kartini dalam menghargai dan memperjuangkan perempuan. Penempatan simbol yang menyerahkan sebuah tanggung jawab yang berat untuk para (kaum) perempuan, saat kehadirannya sebagai: pembuka gerbang langit. Ungkapan ini mengejawantahkan suatu makna terdalam.
Menghayati dua ayat ini, justru membuat saya teringat pada seorang kawan, Muhammad Taufik Rahman, sewaktu dalam obrolan di angkringan Wijilan beberapa tahun silam. Kawan saya ini, mengungkapkan pemikirannya yang aneh, karena anehnya itu membuat saya mampu mengingat, menurutnya bahwa perempuan sebagai makhluk pertama yang menghuni dunia. Mereka pemimpin di dunia sebelum dunia kita sekarang. Dahulu, pada masa kehidupan tersebut, kehidupannya berciri matriarki, dimana perempuan menjadi pusat pemerintahan kosmos. Tuhan menguji mereka, yang kemudian dibinasakan karena sebab tertentu, kemudian perempuan menjadi makhluk berstatus nomor dua. Akantetapi, meskipun demikian, perempuan di dalam kehidupan ini mewarisi hak-hak istimewa yang dimiliki di dunia terdahulu.
Cerita ini memang sama sekali tidak mengungkapkan mengenai pembukaan gerbang langit seperti yang dikatakan NJ. Akantetapi mungkin saja, bisa memberikan sedikit penjelasan untuk kalimat selanjutnya: … ketika kitab waktu belum dipelajari. Kitab waktu dapat menjadi kunci untuk membuka pintu pemahaman yang lebih luas. Kitab ini dapat saja diterjemahkan sebagai perwakilan atas agama para Nabi Allah. Kitab mengenai saat (waktu) dibukanya ruang yang mana di sana manusia mampu mengetahui hakekat kehidupan yang berkisar antara perbuatan baik, perbuatan buruk, ganjaran, atau pun mengenai hukuman. Waktu, juga menyiratkan pada hari perhitungan yang kedatangannya pasti namun tersembunyi.