Mohon tunggu...
WAHYU AW
WAHYU AW Mohon Tunggu... Sales - KARYAWAN SWASTA

TRAVELING DAN MENULIS

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jalan Cahaya

30 Mei 2023   18:00 Diperbarui: 30 Mei 2023   17:54 620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

JALAN CAHAYA

Mbah Har -- Wahyu

Semoga cerita singkat ini dapat memberikan Inspirasi kepada kita semua. Dunia bukan tujuan, hanyalah perjalanan menuju Akhirat. Hidayah Allah ditanamkan kepada Hamba Allah yang di sayangiNya. Insya Allah semoga kita diantaranya. Berikut adalah cerita dari seorang sahabat. Dan semoga kita tetap dijaga dan Istiqomah di jalan Nya. Aamiin

***

"Brow seperti yang dulu pernah aku katakan padamu, waktunya udah dekat dan tekatku udah bulat. Bulan ini terakhir aku di sini!" kata Rio (sebut saja demikian).

"Maksudmu piye brow, jadi resign? Sudah kau piker tenanan. Kau piker baik-baik. Kowe punya anak istri. Kasihan mereka, mereka masih butuh. Bukan aku bermaksud menghalangi, tapi..." sahut Febri sambil rebahan di atas lantai granit putih.

Sesaat dua orang sahabat ini hening. Larut dan luruh dalam alam pikiran masing-masing. Rio duduk bersandar pada di dinding tembok menghadap ke utara. Matanya lurus menatap sebuah bedug masjid.

"Brow, Ibarat aku bermain di dalam kubangan lumpur...jika aku ingin membersihkan diri, maka aku harus keluar dulu dari kubangan lumpur ini. Baru aku semprot dengan air kran bersih. Tapi brow, jika aku semprotnya di sini, di kubangan lumpur sama aja, akan kembali kotor ketika kakiku melangkah keluar."

Febri mengangguk saja tanpa tahu arti anggukannya. Tangannya menjadi alas kepala. Matanya kosong menatap langit-langit plafond. Ada perasaan takut kehilangan rekan kerja, sepintas tidak rela terpancar dari raut mukanya.

Cukup lama tanpa ada kata, tanpa ada tanya dan jawab. Sampai pada akhirnya terdengar suara telepon berdering dan mereka ambil langkah seribu terpana terbata melangkah pergi. Sepertinya ada hal yang urgent, untuk sesaat harus mengambil arah berbeda.

***

"Biarkan aku pergi Brow, yakin ini yang terbaik. Biarkan aku berlalu"BIsik Rio kepada Febri". "Jangan kau bertanya-tanya apa-apa lagi!"

"Baik Brow, aku takkan menahanmu dan aku takkan pernah bisa memaksamu!" Tandas Febri"Brow, sukses yaa!" tanpa ada intruksi atau aba-aba atau surat edaran dari pusat, sahabat sejak kuliah tersebut berpelukan. Selalu benar waktu berkata, ada pertemuan maka aka nada perpisahanan. Celoteh burung di sana "Jika tidak mau berpisah, maka jangan pernah bertemu". Sesuatu yang tidak mudah, jejak telah terukir sebagai kenangan.

"Feb, kau pasti tahu dimana menemukanku. No ku selamanya akan tetap sama!"

***

Waktu berlalu meninggalkan. Satu waktu pada satu cerita." Inti sesuatu adalah kelembutan. Tetaplah jadi orang lembut". Masih ternyiang. Terekam jelas di benak Febri ketika sang sahabat membisikkan di telinga kanan, ketika di depan gerbang sebuah kantor Bank Ternama, di depan jalan sesaat sebelum lepas di tikungan jalan.

"Kau adalah orang hebat kawan, orang yang sadar. Sahabatku terbaik mengajariku kenal dengan Tuhan!" Bales Febri.

Lanjut Febri sambil berteriak "bintang terang itulah dirimu. Takkan redup kau menjagaku dan mengajari. Kau yang paling mengerti. Aku akan kehilanganmu sobat!" pungkas teriakan Febri entah terdengar, entah pula tidak oleh Rio di persimpangan.

***

Satu jam berlalu kira-kira. Sekali lagi Febri cek dan cek masih centang satu. Di telepon WA hanya tertulis memanggil. Di telepon biasa, no tidak dapat dihubungi. Seterusnya untuk waktu yang lama dan untuk hari-hari berikutnya masih sama. Ada apa denganmu sobat, Febri perdebatkan seorang diri di tiap waktu sendirinya. Kekosongan jiwa...

"Kamu yang seharusnya duduk di sini, bukan aku. Aku tak pantas. Ini punyamu" sahut Febri. "Aku mengambil hakmu, aku yang salah, karenanya aku yang seharusnya pergi. Sobat, aku tak merencanakan semuanya, tak ada niatan dariku. Tidak sobat, tidak demikian. Maafkan aku sobatku jika karena itu!"

"Kamu marah padaku sobat, aku memang pantas untuk kau caci maki. Kau adalah pimpinanku juga, pantas kau hukum aku. Bukan aku yang menghukummu. Sangat kejam dunia ini!!!"

***

(Dunia seperti tidak berputar  lagi)

Kata Febri "Sedikit cerita untukmu brow, mudah-mudahan kau baca emailku ini. Brow, kemarin aku dari Jakarta ketemu Direktur Utama dan Boss-boss pusatlah pokoknya dan aku yakin kamu kenal semua. Aku terima penghargaan sebagai The Best Team Achievement of The Year. Aku terima sertifikat, uang juga sebagai hadiah yang tidak sedikit. Dan yang lebih membanggakan aku tinggal nunggu waktu untuk promosi ke Regional Manager."

"Malamnya di ajak Gala Dinner, tepatnya undangan Gala Dinner sama jajaran Direksi juga dan Manager serta Kepala Cabang seluruh Indonesia. Mau dipamerkan brow, aku karyawan hebat dan berprestasi...harusnya aku bangka. Seharusnya aku senang. Harusnya...."

"Aku teringat kata-katamu Brow, Riak pengantar ke sombongan dan sombong mencegah seseorang dapat hidayat. Awalnya aku ga ngerti maksudmu, dengan terpaksa pura-pura aku paham dan jawabannya tentu saja aku cari dari internet untuk jaga gengsi."

" Aku tidak datang brow, aku pilih pulang. Aku sampaikan alasan keluarga sedang sakit dan aku harus pulang. Pertama aku takut sombong. Sejatinya aku yang sakit brow. Aku pilih pulang (ke rumahmu) yang di Jakarta, berharap ketemu kamu. Seperti biasa aku cuman duduk di serambi teras saja. Berharap kamu keluar atau setidaknya jika tidak terlambat mendengarmu Adzan sudah cukup teduh, walaupun aku tidak ikut sholat. Atau selanjutnya mendengarmu baca Al Quran hidupku begitu tenang. Lebih daripada itu aku hanya ingin engkau tahu, setidaknya yang aku bawa adalah permintaan maaf. Aku pastikan rasa bersalah ini akan membunuhku perlahan. Maka brow, ulurkan maafmu untukku!"

***

"Mas, hari ini ikut OTS!" Kata Febri

"Plafond kecil aja mas, gaa buang-buang waktu!" Jawab Catur

"Suntuk aja, pengin lihat dunia luar!" Tandas ulang Febri

Mobil Hitam meluncur. Febri duduk di depan. Tak banyak yang dipertanyakan. Tak banyak percakapan, apalagi perbincangan. Suasana rendah-rendah saja. Dan mobil hanya meluncur datar di jalanan tidak begitu ramai.

Febri tahu sebenarnya, dia tidak perlu turun karena bukan limit putusan kreditnya. Sudah ada pendelegasian wewenang memutus, masih dalam batas pemutus di bawahnya. Jadi mutlak tanggungjawab diserahkan ke team bawah.

"Mas, jenengan ada masalah apa, akhir-akhir ini saya perhatikan agak beda?" Tanya Catur, di sini sebagai Team Leader salah satu unit bawahan Febri.

"Gaa tahu juga mas" Lanjut Febri mengalihkan pembicaraan "Oia, masih punya kas kan, seperti pernah aku bilang tiap ada kegiatan kantor jangan sampai uang pribadi. Jangan kayak Cabang Semarang, selalu urunan. Gathering besuk bulan depan sak regional Jateng dana siap too?"

"Aman mas, duwit reward pusat sama dana-dana Notaris lebih dari cukup. Termasuk nanti dana woyo-woyo pelantikan Mas Febri Jadi Regional Manager sudah siap. Sponsor pun siap, tinggal call. Beres!" dibarengi ketawa rengah satu mobil, kecuali Febri datar-datar aja.

"Kowe kebanyakan nonton gossip!"

Sampai juga di tempat OTS. Mata Febri tertuju pada warung hik di seberang jalan, di sebelah masjid. Tempat Andalan. Tempat pencarian. Dan langkahpun di arahkan ke sana.

"Aku tunggu di sini aja!" seru Febri

"Oke mas, jawab Catur."

***

"Bapak tinggal ke masjid dulu!"

"Monggo, Pak!"

Febri melanjutkan katanya dalam hati. Entah siapa yang mendengar, tapi harus. Terbang rendah tak bisa ada yang menahan bincangnya "jangan keluar malam ini nanti. Berbaris tersimpan sisa gambar. Terbukti kemarin telah terlahir, esuk yang berbeda dengan lantang teriakkan bayangan. Langkahkah kaki seperti tertahan menahan."

Febri Lanjutkan "sesungguhnya aku masih bernafas. Kuharap aku dapat menghitung akhir cerita, memupus tatap mata kabur mengabur. Garis tangan berhenti menggambar tanpa arah. Tiada lagi tempat khayalan tinggi memegang indahnya. Yang kunanti kembali memegang keceriaan."

Febri teriak sendiri" dalam keadaan seperti ini, aku harus ke mana? Kepada siapa?"

"Mas...!" Febri terkejut, rupanya Bapak penjual Hik Sudah kembali.

Kaget. Ekspresinya terlihat terkejut. Lihatlah rumput-rumput tanpa bosan merangkai asa walaupun setiap waktu terinjak, terinjak tanpa pernah berteriak memaki. Secangkir es kopi sesuatu yang tidak biasa untuk mengubah suasana hati, menyapu tenggorokan kering di siang hari penuh debu beterbangan mengganggu pandangan menjadikan buram berkabut.

"Maaf Bapak, kenapa Bapak harus sholat?"

"Mas, Sholat membuat Bapak sukses dan Bahagia. Sholat mencegah bapak dari batas yang telah ditentukan."

***

(Jika rencana itu benar, belum jadi sekalipun Allah akan kawal, Allah akan jaga. Maka tugas kita hanyalah menjaga hati. Jangan biarkan berjalan dengan kehampaan, jangan biarkan kosong. Tak usah ragu atau terganggu datangnya, jangan terbelenggu dan menghentikan langkah untuk menerima kebenaran. Dan barangkali itu sesungguhnya adalah Jalan Cahaya.)

(Telinga dan mata adalah pintu pembuka hati. Hati memuat apa yang di dengar telinga. Sedangkan hati pula memuat apa yang dilihat oleh mata. Sesungguhnya apa yang didengar telinga dan yang dilihat mata mempengaruhi hati).

"Dengan kekuatan hati aku pergi. Yakinkan hati temani langkahku" Febri mencoba berfikir membuka diri. Sesuatu tentang kalimat yang sekali lagi coba dia cerna. Mencoba berdialog, memainkan logika, berdamai dengan logika dalam satu taruhan dengan alam pikirannnya. Masuk akal atau tidak, atau hanya sekedar halusinasi belaka.

Pada kesempatan yang sama dipacu motornya kembali ke arah tempo hari. Yang lalu. Mencoba berlaku sadar. Sungguh bukan kegilaan belaka, melainkan hanya untuk bertanya mencari jawab kepada Bapak yang ditemui di Hik tempo hari yang lalu.

Tapi tiba-tiba "Tut...tut...tut" HP berdering. Febri dengan terpaksa menepi. Menahan laju motornya dengan hentakan rem tangan perlahan dan smoth. Berhenti dan mengangkatnya " Yaa Pak...siap Pak. Harus sekarang. Siap".

Karena harus sekarang "Asem sial-sial" Gumannya. Dilanjutkan febri, untuk sementara di pending dulu untuk ketemu Bapak yang dimaksud dalam angan. Besuk lepas dari Karanganyar Solo akan datang kembali menemui. Karena harus ke Karanganyar Solo, big Boss sedang ada di Karanganyar Solo dan ingin ketemu di Cabang Solo.

(Berbicara tentang ilmu cahaya, mengisi jiwa. Tentang bagaimana mempelajarinya dan menguasainya. Bagaimana melihat cahaya dari bilik gelap tanpa cahaya itu sendiri. Dalam cahaya ada kebenaran, sebagaimana kebenarana selalu dibawakan dengan tenang dan hanya dalam prasangka yang baik.) Kalimat yang ternyiang di telinga Febri sekali lagi melalui Bapak di Hik.

Bapak itu bilang "Lihatlah cahaya. Lihatlah cahaya dalam gelap biar kelihatan terang benderang". Simpel tapi sarat makna."Juga bikin jarak, jangan terlalu dekat biar dirimu paham melihatnya dengan jelas. Terlalu dekat kau akan silau sendiri!"

***

Malam ini juga Febri terbang rendah di atas aspal, naik bus. Melintas jalanan berpacu dengan waktu tersisa. Tidak seperti biasa, dia menolak pesawat. Entahlah, hari ini Febri ingin bebas mengatur waktunya sendiri. Entahlah, memang akan memakan waktu tapi sepertinya itu yang dapat menghampirinya. Rasa berbeda mungkin yang Febri maksud untuk mengartikannya. Entahlah...

Terlihat malam semakin meninggikan waktu. Meredupkan terang. Makin malam, makin bertanya dalam perbedaan.

Dan biarlah selamanya, tidur membawa bermimpi. Biarlah raga menjaga. Dan keabadian akan membawa kepada fajar, walaupun sesungguhnya fajar sendiri buka rupa-rupa keabadian.

***

Solo, lebih tepatnya di Kota Karanganyar... kenapa tidak Jogja sekalian. Tanggung. Hanya singkat-singkat aja bertemu dengan Big Boss. Tidak ada yang urgent dengannya, hanya ingin dan minta ditemani bakar-bakar sate Kelinci dan Ngopi di Bukit Sekipan Tawangmangu. Dingin dan sejuk. Selebihnya tidak ada yang urgent dengan pekerjaan Febri.

Negoisasi belaka...

 Febri selepasnya berteduh sebentar. Sebentar nanti mampir jogja rencananya. Bernostalgia mencari pesona Hik yang konon kabarnya jauh bermula dan berkembang dari dan di Kota Jogja. Kota Jogja, kota dengan sarat nama-nama dan perumpamaannya.

***

"Bapak, yakin tidak perlu diantar...cukup naik ojek online? Jauh Pak. Dari Tawangmangu turun sampai Solo." Kata sopir kantor.

"Terima kasih mas. Pengin ganti suasana aja. Bahkan rencana saya langsung Jogja mampir dolan sebelum pulang. Besuk Sabtu juga libur!"

"Nginep Jogja?"

"Belum tahu, bisa jadi langsung pulang. Bus ke arah Timur sewaktu-waktu ada!" Yaa, jika seandainya ambil perjalanan malam ke arah timur, setidaknya sepanjang perjalanan berjalan di sisi pantai sebelah utara, di saat di ujung Lelah dapat tersinar sinar matahari pagi yang beranjak. Setidaknya sisi pohon bakau cukup menawarkan pesono dengan burung dan satwa beraneka ragam menikmati alam bebas tanpa keterikatan.

"Tapi juga masalahnya ojek online agak jarang. Bahkan cenderung tidak ada. Sulit nyantol!"

Febri bakal tunggu. Bakal tunggu satu jam atau dua jam bukan masalah. Selama masih ada kopi, candunya bikin betah. Belum lagi alam mengajarkan kearifan membuat hati yang beku menjadi cair luluh oleh lembutnya alam Tawangmangu. Waktu memang takkan pernah berhenti di Tawangmangu, tetapi Tawangmangu mampu memangku langkah yang merapuh.

***

Dua roda bergulir. Salam satu aspal...

Pelan bukan berarti tanpa kecepatan. Tidak perlu juga berpaju dengan waktu. Seseduhan menuruni Tawangmangu. Pasti...

Beribu perbincangan tercipta selama perjalanan Febri dan Mas Ojek Online. Tawangmangu bercerita tidak hanya tentang Grojogan Sewu. Ada pula Kawasan teh di Kemuning menawarkan pemandangan sedap di mata.

Lain pula dengan Telaga Sarangan mengitari Telaga alami dengan kapal boat atau setapak berkuda. Atau tour dengan Jeep 4x4 memacu Adrenalin. Dan yang pasti jangan lupa mencicipi sate kelinci kuliner khas. Sedikit cerita tentang Tawangmangu dan Gunung Lawu.

Kembali...Tawangmangu bukan tempat asing bagi Febri. Dulu, dulu sekali waktu masih kuliah (Lupa semester berapa) di Jogja, sering ke Kawasan Tawangmangu. Dulu dan sekarang berbeda dengan segala perubahannya.

"Mas sampeyan asli Tawangmangu?"

"Iya Mas. Tapi saya ngebitnya di Solo Mas!"

"Ceritanya pas mudik ini Mas!"

Ketawa Kecil Mas Ojek "Iya mas, kemarin malam saya pulang. Kangen anak mas, ini ceritanya mau balik ke Solo."

"Kebetulan sekali yaa mas. Saya tidak nunggu lama tadi!" Sahut Febri

"Nggak mas, biasanya saya ke Solo turun dari Tawangmangu kosong. Jk pun nanti ada yang nyantol paling di sekitar Karanganyar. Kebutulan nggak juga, semua sudah diatur. Kulo dan panjenengan sekedar menjalani mas."

Sesaat Febri terdiam "Tidak ada yang kebetulan" alias sudah di atur. Sebegitukah hidup ini? Sesederhanakan hidup ini? "Tapi kenapa kepalaku sering pusing? apa yang kurang di hidupku?" Kosong...

Mas Ojek"Saya pulang tidak tentu, bisa 3 hari sekali atau tergantung kepentingan. Kepentingan keluarga juga kepentingan isi dompet (seraya tertawa tipis)."

Ada hal yang menarik, menarik perhatianya.

"Berarti Kost mas di Solo!"

"Nggak mas, saya bisa istirahat di mana saja. Bisa di SPBU, bisa di Masjid atau di mana saja. Oia mas, Jogja masih jauh. Dan ini baru mau masuk Kota Solo. Dan ini udah jam sebelas lebih...

***

Masjid Sheikh Zayed Solo. Tepatnya di Jl. Ahmad Yani Gilingan Banjarsari Surakarta atau Solo. Hari Jumat. Febri duduk menunggu bersandar di bangku bawah pohon. Dada berdetak awalnya normal, kian waktu mendekat tersirep makin kencang. Hanya itu yang disampaikan, selebihnya keringat mulai mengucur. Dingin, rasa terasa tidak terucap tanpa piranti.

Febri berguman menadah untuk menelaah "akal disentuh untuk menyaring yang mata lihat. Akal pula disentuh untuk menyaring yang telinga dengar. Untuk disaksikan hati, sesungguhnya apa yang dilhat mempengaruhi hati. Untuk disaksikan hati, sesungguhnya apa yang didengar mempengaruhi hati. Selanjutnya hidup ini merembes tenang."

Seteguh air mineral diteguk. Mata dan telinga di acak sedemikian rupa. Sepasang mata menyaksikan puluhan bahkan ratusan hingga ribuan derap kaki (terdengar telinga) ilir-ilir sumilir menuju serambi Masjid. Menuju ke dalam Masjid Sheikh Zayed yang megah.

Bukan sekedar soal bagaimana lautan manusia tersebut datang dengan mobil, motor atau jalan kaki. Lebih dari itu cuci tangan, cuci kaki, cuci muka melepaskan sandal dan segala atribut yang di bawa. Tanpa alas merendahkan kepala serendah-rendahnya memangku tangan tetangisan. Febri bertanya, adakah tempat yang lebih rendah lagi selain bersujud?

"Tidaklah tentang dunia!" seperti mendengar bisikan di telinga kanannya." Jika kau percaya, tidak usah mencari dunia, dunia yang akan menemukanmu. Tapi sebaliknya, jika kau menolak percaya, jika kau memaksa mencari dunia, maka kau akan tersesat." Bisik laki-laki tua bergaun putih perlahan menghilang bergabung dalam kerumunan.

Febri semakin bimbang dan ragu. Apa maksudnya?

***

"Mas, aku takut!" Febri menggigil

"Makan dulu mas, ada Jumat Berkah. Kayaknya mas kurang sehat."

"Mas saya sehat, sangat sehat sekali hari ini!" Tiba-tiba tubuh Febri Lunglai memeluk Mas driver ojek online. "Demi langit yang mempunyai hujan, demi bumi yang mempunyai tumbuhan. Langit dan sesuatu yang datang pada malam hari, bintang yang sinarnya menembus...Demi Sang Pencipta Langit dan Bumi!"

"Maksud Mas?"

"Mas baru hari ini aku lihat dengan mata batinku. Hanya dengan satu seruan, tanpa perintah, tanpa aba-aba dan hitungan.....tiba-tiba barisan menjadi lurus. Hanya hitungan detik. Orang-orang mengikuti tiap Gerakan sama. Tanpa peduli pejabat, pedagang dan lain-lain luruh sujud ke lantai tanpa alas. Memuji 1 hikmat. "

Lanjut Febri "Ini bukan agama biasa, ini bukan agama buatan manusia. Ini adalah agama Ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Tolong tuntun aku untuk memeluknya...tolong mas!"

"Masya Allah...Alhamdullilah!" Mas Driver Ojok Online mendekap Febri erat-erat "Mari saudaraku Se-Iman, mari kuantar ke dalam untuk lafalkan dua kalimat syahadat "Asyhadu an laa ilaaha illallaahu, wa asyhaduanna muhammadar rasuulullah"

***

Seiring perjalanan waktu Febri Resign dari tempat kerja yang menjanjikan kemewahan dunia. Dan dia terus berharap dalam doa untuk dipertemukan kembali dengan sahabatnya Rio.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun