Mohon tunggu...
M Aziz Rapli
M Aziz Rapli Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Hubungan Internasional

Car enthusiast, Global politic enjoyer

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Krisis Suriah di Timur Tengah

7 Desember 2024   14:10 Diperbarui: 7 Desember 2024   14:23 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Latar Belakang

Krisis Suriah merupakan salah satu konflik terparah dan berkepanjangan di Timur Tengah.

Krisis Suriah telah berlangsung selama lebih dari satu dekade dan terus menjadi salah satu

konflik paling kompleks dan merusak di Timur Tengah. Konflik ini dimulai pada tahun 2011

dan telah melibatkan berbagai faktor sosial, politik, dan ekonomi yang kompleks. Krisis ini

berawal dari protes damai yang dimulai pada tahun 2011, terinspirasi dari pemerintahan

otoriter Bashar al-Assad yang telah berkuasa dari tahun 2000 setelah menggantikan ayahnya,

Hafez al-Assad, yang memerintah sejak tahun 1971. Kondisi ini memicu konflik dimana pada

masa itu terjadi banyak penangkapan sekelompok remaja yang menulis slogan anti

pemerintah, hal ini memicu protes yang meluas. (Pujayanti, 2013)

Penyebab utama konflik Suriah ini disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya adalah

rezim Assad yang dikenal karena penindasan terhadap kebebasan sipil dan politik. Korupsi

yang juga meluas hingga kurangnya penyediaan layanan dasar seperti Pendidikan, fasilitas

kesehatan turut menjadi pemicu ketidakpuasan masyarakat. Konflik ini meningkat menjadi

perang saudara yang ditandai dengan kekerasan meluas dan pelanggaran hak asasi manusia.

Kerusuhan awal terjadi di Deraa, dimana protes terhadap pemerintah disambut dengan

tindakan kekerasasan brutal yang mengarah pada perlawanan bersenjata dari pendukung

oposisi. Konflik berkepanjangan ini telah mengakibatkan ratusan ribu korban jiwa dan

menyebabkan ketidakstabilan politik di Suriah sendiri. (Kasanusi, 2022)

Organisasi internasional juga turut campur dalam konflik Suriah ini dan tidak lupa

negara-negara yang memiliki kepentingan di negara Suriah. PBB, melalui berbagai badan dan

Lembaga di dalamnya telah berusaha menangani krisis. Pada bulan Agustus 2011, Dewan

Hak Asasi Manusia membentuk Komisi Penyelidikan tentang Suriah untuk memantau

pelanggaran berat Hak Asasi Manusia yang terjadi. Badan ini, Bersama dengan majelis

umum, telah secara konsisten mengajukan resolusi yang mengutuk pelanggaran hak asasi

manusia dan mendesak Republik Arab Suriah untuk mengakhiri serangan terhadap warga

sipil. Selain itu, Dewan Keamanan telah menawarkan dukungannya yang dipelopori oleh

Utusan Khusus PBB-Liga Arab Kofi Annan, yang sampai saat ini dianggap sebagai

kesempatan terbaik untuk menyelesaikan konflik. Namun, tampilan terbaru dari kekerasan

tanpa pandang bulu, yang menewaskan lebih dari 100 orang, telah menunjukkan bahwa upaya masa lalu tidak cukup dan tindakan yang lebih tegas diperlukan. PBB dan Dewan

Keamanan khususnya, harus bergerak melampaui kecaman belaka dan fokus kepada aksi

nyata. Untuk mengakhiri penderitaan di Suriah, Dewan Keamanan harus mempertimbangkan

opsi yang diantaranya dapat berupad embargo senjata terhadap Suriah; Implementasi sanksi

yang ditargetkan kepada para pemimpin Suriah yang terlibat dalam pelanggaran HAM;

Rujukan situasi di Suriah ke Pengadilan Kriminal Internasional (ICC). (Barrow, 2024)

Uni Eropa (UE) juga turut serta dalam konflik ini berupa bantuan kemanusiaan dan Uni

Eropa merupakan salah satu pendonor bantuan terbesar dalam konflik di Suriah hingga saat

ini. Uni Eropa menggelontorkan dana sebesar 33 miliar euro sejak awal konflik ini terjadi. Ini

termasuk lebih dari 4,3 miliar dalam bantuan kemanusiaan untuk Suriah dan masyarakat

tuan rumah yang rentan di Suriah dan wilayah tersebut, termasuk lebih dari 1,7 miliar.

Sejak 2017, Uni Eropa juga menyelenggarakan konferensi Brussels tahunan untuk

mendukung masa depan Suriah dan kawasan untuk mendorong janji. Uni Eropa juga turut

aktif dalam mendukung negara-negara tetangga yang menampung pengungsi Suriah.

Meskipun banyak tantangan, Uni Eropa terus memberikan bantuan kemanusiaan yang tidak

memihak kepada mereka yang membutuhkan di seluruh Suriah sejak 2011. Uni Eropa,

bersama dengan Negara-negara Anggotanya, adalah donor terbesar untuk krisis Suriah.

(European Commission, 2020)

Dimensi Geopolitik

Krisis Suriah bukan hanya sekedar konflik internal namun juga menjadi arena pertarungan

geopolitik antara berbagai kekuatan global dan regional. Suriah telah menjadi titik perang

proksi antara kekuatan besar seperti negara Rusia dan Iran. Rusia memainkan peran penting

dalam mempertahankan rezim Assad dengan memberikan dukungan militer, seperti serangan

udara terhadap kelompok oposisi. Intervensi ini dilakukan atas undangan resmi dari Assad

dengan dalih memerangi ISIS. Selain itu, veto Rusia di Dewan Keamanan PBB telah

mencegah aksi internasional terhadap Assad, memberikan legitimasi pada rezimnya. (Kim

Hua Tan, 2019)

Namun, kepentingan Rusia bukan semata-mata untuk Assad, melainkan untuk memperkuat

pengaruh geopolitiknya di kawasan Timur Tengah dan menunjukkan kekuatan militernya di

panggung internasional. Bahkan, Rusia mengkritik ambisi Assad untuk merebut kembali

seluruh wilayah Suriah, menunjukkan bahwa dukungan Rusia tidak tanpa batas. Sama halnya

dengan Iran, Iran memberikan pelatihan militer, mengirim pasukan, dan memasok senjata kepada rezim Assad. Dukungan ini termasuk kehadiran pasukan elit seperti Korps Garda

Revolusi Islam (IRGC) yang membantu melatih dan mendukung pasukan Assad di lapangan.

Iran menyediakan dana yang sangat besar untuk menopang rezim Assad, bahkan di tengah

tekanan ekonomi global. Dukungan finansial ini diperkirakan mencapai miliaran dolar antara

2011 dan 2014. Iran menggunakan sekutu regionalnya, Hezbollah, untuk mengirim pejuang

guna membantu Assad. Hezbollah memainkan peran kunci dalam beberapa pertempuran

strategis, seperti di Aleppo dan wilayah lainnya, untuk mempertahankan wilayah yang

dikuasai Assad. Kedua negara tersebut memberi bantuan kepada rezim Assad dengan tujuan

mempertahankan pengaruh mereka di Timur Tengah dan melawan dominasi barat. Dukungan

tersebut memungkinkan rezim Assad memegang kendali penuh atas wilayah strategis di Suriah. (Kim Hua Tan, 2019)

Dampak Konflik

Konflik Suriah telah membawa dampak yang sangat besar, baik secara ekonomi maupun

sosial. Dari sisi ekonomi, kehancuran infrastruktur seperti jalan, jembatan, rumah sakit, dan

sekolah menghambat aktivitas ekonomi dan layanan publik. Biaya rekonstruksi diperkirakan

mencapai ratusan miliar dolar, yang menjadi tantangan besar bagi negara pascakonflik. Selain

itu, sektor industri, pertanian, dan pariwisata yang sebelumnya menjadi pilar ekonomi Suriah

hancur, menyebabkan pengangguran meningkat tajam. Kekeringan berkepanjangan pada

2006-2011 sebelum konflik memperburuk sektor pertanian, memaksa lebih dari satu juta

petani kehilangan mata pencaharian. Kekurangan pangan semakin meluas akibat gagal panen

dan blokade wilayah tertentu, sementara melonjaknya harga barang membuat banyak warga

tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar. Negara-negara tetangga seperti Lebanon, Yordania,

dan Turki juga terkena dampak, menghadapi tekanan ekonomi karena menampung jutaan

pengungsi, sehingga memengaruhi stabilitas ekonomi regional yang semakin bergantung

pada bantuan internasional. (Kasanusi, 2022)

Secara sosial, konflik ini menyebabkan dampak yang sangat serius. Lebih dari 12 juta orang

terpaksa meninggalkan rumah mereka, dengan 6,7 juta menjadi pengungsi internal dan 6,6

juta lainnya mengungsi ke negara lain. Arus pengungsi menciptakan ketegangan di komunitas

lokal negara penerima dan mengubah tatanan sosial. Di dalam negeri, perpecahan sektarian

antara Sunni, Syiah, dan kelompok minoritas lainnya semakin memperburuk konflik dan

memperdalam jurang perbedaan di masyarakat. Selain itu, ribuan sekolah hancur atau digunakan sebagai tempat perlindungan sementara, membuat jutaan anak kehilangan akses ke

pendidikan dan menciptakan risiko munculnya "generasi yang hilang." Trauma psikologis

juga meluas, terutama di kalangan anak-anak, yang menghadapi dampak kekerasan,

kehilangan keluarga, dan penghancuran komunitas mereka. Kekerasan seksual, pernikahan

paksa, dan eksploitasi perempuan serta anak-anak meningkat selama konflik, sementara

anak-anak juga direkrut sebagai tentara oleh berbagai kelompok bersenjata. Kombinasi antara

dampak ekonomi yang melumpuhkan dan kehancuran sosial yang mendalam menjadikan

konflik Suriah sebagai salah satu krisis paling kompleks, yang membutuhkan dukungan

internasional serta upaya rekonsiliasi dan pemulihan yang berkelanjutan. (Kasanusi, 2022)

DAFTAR PUSTAKA

(2020). Retrieved from European Commission.

Barrow, A. (2024, November 20). Retrieved from Peace Women:

http://www.peacewomen.org/e-news/article/summary-un-efforts-syria

Kasanusi, M. S. (2022). THE ROLE OF UNITED NATION IN ADDRESSING HUMAN RIGHTS VIOLATIONS

ON SYRIA'S INTERNAL CONFLICTS. Interdisciplinary Social Studies, 1757-1773.

Kim Hua Tan, A. P. (2019). The "Geopolitical" Factor in the Syrian Civil war: A Corpus-Based Thematic.

SAGE Open, 1-15.

Pujayanti, A. (2013). INTERNASIONALISASI KONFLIK SURIAH DAN PERAN INDONESIA. Info Singkat

Hubungan Internasional, 5-8.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun