Latar Belakang
Krisis Suriah merupakan salah satu konflik terparah dan berkepanjangan di Timur Tengah.
Krisis Suriah telah berlangsung selama lebih dari satu dekade dan terus menjadi salah satu
konflik paling kompleks dan merusak di Timur Tengah. Konflik ini dimulai pada tahun 2011
dan telah melibatkan berbagai faktor sosial, politik, dan ekonomi yang kompleks. Krisis ini
berawal dari protes damai yang dimulai pada tahun 2011, terinspirasi dari pemerintahan
otoriter Bashar al-Assad yang telah berkuasa dari tahun 2000 setelah menggantikan ayahnya,
Hafez al-Assad, yang memerintah sejak tahun 1971. Kondisi ini memicu konflik dimana pada
masa itu terjadi banyak penangkapan sekelompok remaja yang menulis slogan anti
pemerintah, hal ini memicu protes yang meluas. (Pujayanti, 2013)
Penyebab utama konflik Suriah ini disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya adalah
rezim Assad yang dikenal karena penindasan terhadap kebebasan sipil dan politik. Korupsi
yang juga meluas hingga kurangnya penyediaan layanan dasar seperti Pendidikan, fasilitas
kesehatan turut menjadi pemicu ketidakpuasan masyarakat. Konflik ini meningkat menjadi
perang saudara yang ditandai dengan kekerasan meluas dan pelanggaran hak asasi manusia.
Kerusuhan awal terjadi di Deraa, dimana protes terhadap pemerintah disambut dengan
tindakan kekerasasan brutal yang mengarah pada perlawanan bersenjata dari pendukung
oposisi. Konflik berkepanjangan ini telah mengakibatkan ratusan ribu korban jiwa dan
menyebabkan ketidakstabilan politik di Suriah sendiri. (Kasanusi, 2022)
Organisasi internasional juga turut campur dalam konflik Suriah ini dan tidak lupa
negara-negara yang memiliki kepentingan di negara Suriah. PBB, melalui berbagai badan dan
Lembaga di dalamnya telah berusaha menangani krisis. Pada bulan Agustus 2011, Dewan
Hak Asasi Manusia membentuk Komisi Penyelidikan tentang Suriah untuk memantau
pelanggaran berat Hak Asasi Manusia yang terjadi. Badan ini, Bersama dengan majelis
umum, telah secara konsisten mengajukan resolusi yang mengutuk pelanggaran hak asasi
manusia dan mendesak Republik Arab Suriah untuk mengakhiri serangan terhadap warga
sipil. Selain itu, Dewan Keamanan telah menawarkan dukungannya yang dipelopori oleh
Utusan Khusus PBB-Liga Arab Kofi Annan, yang sampai saat ini dianggap sebagai
kesempatan terbaik untuk menyelesaikan konflik. Namun, tampilan terbaru dari kekerasan
tanpa pandang bulu, yang menewaskan lebih dari 100 orang, telah menunjukkan bahwa upaya masa lalu tidak cukup dan tindakan yang lebih tegas diperlukan. PBB dan Dewan
Keamanan khususnya, harus bergerak melampaui kecaman belaka dan fokus kepada aksi
nyata. Untuk mengakhiri penderitaan di Suriah, Dewan Keamanan harus mempertimbangkan
opsi yang diantaranya dapat berupad embargo senjata terhadap Suriah; Implementasi sanksi
yang ditargetkan kepada para pemimpin Suriah yang terlibat dalam pelanggaran HAM;
Rujukan situasi di Suriah ke Pengadilan Kriminal Internasional (ICC). (Barrow, 2024)
Uni Eropa (UE) juga turut serta dalam konflik ini berupa bantuan kemanusiaan dan Uni
Eropa merupakan salah satu pendonor bantuan terbesar dalam konflik di Suriah hingga saat
ini. Uni Eropa menggelontorkan dana sebesar 33 miliar euro sejak awal konflik ini terjadi. Ini
termasuk lebih dari 4,3 miliar dalam bantuan kemanusiaan untuk Suriah dan masyarakat
tuan rumah yang rentan di Suriah dan wilayah tersebut, termasuk lebih dari 1,7 miliar.
Sejak 2017, Uni Eropa juga menyelenggarakan konferensi Brussels tahunan untuk
mendukung masa depan Suriah dan kawasan untuk mendorong janji. Uni Eropa juga turut
aktif dalam mendukung negara-negara tetangga yang menampung pengungsi Suriah.
Meskipun banyak tantangan, Uni Eropa terus memberikan bantuan kemanusiaan yang tidak
memihak kepada mereka yang membutuhkan di seluruh Suriah sejak 2011. Uni Eropa,
bersama dengan Negara-negara Anggotanya, adalah donor terbesar untuk krisis Suriah.
(European Commission, 2020)
Dimensi Geopolitik
Krisis Suriah bukan hanya sekedar konflik internal namun juga menjadi arena pertarungan
geopolitik antara berbagai kekuatan global dan regional. Suriah telah menjadi titik perang
proksi antara kekuatan besar seperti negara Rusia dan Iran. Rusia memainkan peran penting
dalam mempertahankan rezim Assad dengan memberikan dukungan militer, seperti serangan
udara terhadap kelompok oposisi. Intervensi ini dilakukan atas undangan resmi dari Assad
dengan dalih memerangi ISIS. Selain itu, veto Rusia di Dewan Keamanan PBB telah
mencegah aksi internasional terhadap Assad, memberikan legitimasi pada rezimnya. (Kim
Hua Tan, 2019)
Namun, kepentingan Rusia bukan semata-mata untuk Assad, melainkan untuk memperkuat
pengaruh geopolitiknya di kawasan Timur Tengah dan menunjukkan kekuatan militernya di
panggung internasional. Bahkan, Rusia mengkritik ambisi Assad untuk merebut kembali
seluruh wilayah Suriah, menunjukkan bahwa dukungan Rusia tidak tanpa batas. Sama halnya
dengan Iran, Iran memberikan pelatihan militer, mengirim pasukan, dan memasok senjata kepada rezim Assad. Dukungan ini termasuk kehadiran pasukan elit seperti Korps Garda
Revolusi Islam (IRGC) yang membantu melatih dan mendukung pasukan Assad di lapangan.
Iran menyediakan dana yang sangat besar untuk menopang rezim Assad, bahkan di tengah
tekanan ekonomi global. Dukungan finansial ini diperkirakan mencapai miliaran dolar antara
2011 dan 2014. Iran menggunakan sekutu regionalnya, Hezbollah, untuk mengirim pejuang
guna membantu Assad. Hezbollah memainkan peran kunci dalam beberapa pertempuran
strategis, seperti di Aleppo dan wilayah lainnya, untuk mempertahankan wilayah yang
dikuasai Assad. Kedua negara tersebut memberi bantuan kepada rezim Assad dengan tujuan
mempertahankan pengaruh mereka di Timur Tengah dan melawan dominasi barat. Dukungan
tersebut memungkinkan rezim Assad memegang kendali penuh atas wilayah strategis di Suriah. (Kim Hua Tan, 2019)
Dampak Konflik
Konflik Suriah telah membawa dampak yang sangat besar, baik secara ekonomi maupun
sosial. Dari sisi ekonomi, kehancuran infrastruktur seperti jalan, jembatan, rumah sakit, dan
sekolah menghambat aktivitas ekonomi dan layanan publik. Biaya rekonstruksi diperkirakan
mencapai ratusan miliar dolar, yang menjadi tantangan besar bagi negara pascakonflik. Selain
itu, sektor industri, pertanian, dan pariwisata yang sebelumnya menjadi pilar ekonomi Suriah
hancur, menyebabkan pengangguran meningkat tajam. Kekeringan berkepanjangan pada
2006-2011 sebelum konflik memperburuk sektor pertanian, memaksa lebih dari satu juta
petani kehilangan mata pencaharian. Kekurangan pangan semakin meluas akibat gagal panen
dan blokade wilayah tertentu, sementara melonjaknya harga barang membuat banyak warga
tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar. Negara-negara tetangga seperti Lebanon, Yordania,
dan Turki juga terkena dampak, menghadapi tekanan ekonomi karena menampung jutaan
pengungsi, sehingga memengaruhi stabilitas ekonomi regional yang semakin bergantung
pada bantuan internasional. (Kasanusi, 2022)
Secara sosial, konflik ini menyebabkan dampak yang sangat serius. Lebih dari 12 juta orang
terpaksa meninggalkan rumah mereka, dengan 6,7 juta menjadi pengungsi internal dan 6,6
juta lainnya mengungsi ke negara lain. Arus pengungsi menciptakan ketegangan di komunitas
lokal negara penerima dan mengubah tatanan sosial. Di dalam negeri, perpecahan sektarian
antara Sunni, Syiah, dan kelompok minoritas lainnya semakin memperburuk konflik dan
memperdalam jurang perbedaan di masyarakat. Selain itu, ribuan sekolah hancur atau digunakan sebagai tempat perlindungan sementara, membuat jutaan anak kehilangan akses ke
pendidikan dan menciptakan risiko munculnya "generasi yang hilang." Trauma psikologis
juga meluas, terutama di kalangan anak-anak, yang menghadapi dampak kekerasan,
kehilangan keluarga, dan penghancuran komunitas mereka. Kekerasan seksual, pernikahan
paksa, dan eksploitasi perempuan serta anak-anak meningkat selama konflik, sementara
anak-anak juga direkrut sebagai tentara oleh berbagai kelompok bersenjata. Kombinasi antara
dampak ekonomi yang melumpuhkan dan kehancuran sosial yang mendalam menjadikan
konflik Suriah sebagai salah satu krisis paling kompleks, yang membutuhkan dukungan
internasional serta upaya rekonsiliasi dan pemulihan yang berkelanjutan. (Kasanusi, 2022)
DAFTAR PUSTAKA
(2020). Retrieved from European Commission.
Barrow, A. (2024, November 20). Retrieved from Peace Women:
http://www.peacewomen.org/e-news/article/summary-un-efforts-syria
Kasanusi, M. S. (2022). THE ROLE OF UNITED NATION IN ADDRESSING HUMAN RIGHTS VIOLATIONS
ON SYRIA'S INTERNAL CONFLICTS. Interdisciplinary Social Studies, 1757-1773.
Kim Hua Tan, A. P. (2019). The "Geopolitical" Factor in the Syrian Civil war: A Corpus-Based Thematic.
SAGE Open, 1-15.
Pujayanti, A. (2013). INTERNASIONALISASI KONFLIK SURIAH DAN PERAN INDONESIA. Info Singkat
Hubungan Internasional, 5-8.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H