Mohon tunggu...
Maureen Assyifa Agnimaya
Maureen Assyifa Agnimaya Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Saya seorang pelajar di salah satu SMA negeri di Bandung. Sebenarnya cita-cita saya adalah menjadi seorang fashion designer karena saya suka sekali menggambar. Saya juga suka menulis cerpen, dan beberapa kali pernah menjadi juara menulis cerpen di berbagai lomba. Di media ini, saya akan menitipkan cerpen-cerpen yang pernah saya ikut sertakan dalam lomba menulis. Semoga menjadi inspirasi buat siapapun yang mencari referensi menulis cerita yang sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tiga Ksatria

27 November 2023   11:23 Diperbarui: 27 November 2023   12:04 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sekali lagi, Sulis menilik secara teliti rangkaian huruf-huruf yang tersusun secara acak di bilah batu yang tadi dilemparkan Uguh.  Tak ada satupun yang ia mengerti. Tak pernah sekalipun ia melihat huruf-huruf itu sebelumnya.

            "Segera letakan batu ini di dinding gua yang tak jauh dari lereng Gunung Sanghyang Sunda. Aku akan menyelesaikan urusanku dengan Ki Midang di pendapa Kedemangan!"

            Perintah Uguh untuk terakhir kalinya, setelah melemparkan batu itu ke arah Sulis. Tak lama, laki-laki berperawakan tegap itu kembali berlari lalu hilang ditelan pekat. Sulis masih mendekap batu itu. Erat, seolah memeluk sebongkah permata.

            "Lantas, apa yang harus kita lakukan sekarang Sulis?" tanya Rambe memecah hening.

            Lamat-lamat di kejauhan, suara burung hantu terdengar saling menimpal. Sulis masih bungkam. Pikirannya melayang, mengangkasa tak berarah. Entahlah. Sulis tak yakin dengan apa yang ada dalam benaknya saat ini. Inginnya dia menghilang atau tiba-tiba tertelan bongkahan tanah. Sejujurnya ia takut. Namun besarnya tanggung jawab, membuat dia harus membuang rasa itu jauh-jauh.

            Haaahh!

            Sulis menarik nafas dalam. Selaksa uap menyembur dari lubang hidungnya. Malam ini udara tak begitu dingin, hanya saja kabut nampak serentak bergelayut di pokok pohon dan menjejaring di sela-sela daun. Sekali lagi maniknya menatap lekat bilah batu yang sejak tadi ia dekap. Di antara celah awan yang berarak, tersembul rembulan yang temaram dengan malu-malu. 

            "Sebaiknya kita segera pergi dari sini, sebelum murid-murid Ki Midang datang menangkap kita!"

            Suara Sulis pelan, nyaris tak terdengar. Lalu tangannya meraih secarik kain yang melilit batang tombak. Dengan gemetar, ia bentangkan kain itu lalu bilah batu yang tadi dilemparkan Uguh, ia bebat penuh hati hati. Ruas jemarinya sekali lagi mengelus bungkusan itu, sebelum kemudian pelan-pelan memasukannya ke dalam koja yang tersandang di bahu.

            "Ayo, Rambe...sebelum matahari meninggi, kita sudah harus sampai di lereng gunung!"

            Ajak Sulis ke arah Rambe yang sedari tadi tetap teguh berdiri di dekatnya dengan penuh waspada. Rambe mengangguk. Tak lama, mereka berlari cepat, melesat di sela-sela rumpun bambu yang tumbuh berderet. Derap kaki mereka, gemerisik menimpa dedaunan kering yang terhampar. Dalam sekejap, tempat di mana Sulis dan Rambe tadi berdiri, kini kembali senyap. Kunang kunang mulai berkejaran. Sementara satu dua tikus hutan, kembali berlarian di antara akar dan belukar.

***

            Lembayung mewarnai pelupuk mega, saat Sulis dan Rambe akhirnya menghentikan langkah di ujung hutan yang dipenuhi deretan pohon aneka rupa. Semburat jingga bercampur magenta, saling berkolase di permukaan langit yang masih berpayung kelam. Begitu indah.

            Sulis menarik nafasnya panjang lalu perlahan menghembuskan sisa udara yang tadi berdesakan di dalam rongga dada. Bulir-bulir peluh membasahi raga, menyesap ke dalam balutan kebaya yang membungkus tubuh kurusnya. Rambe, pemuda tanggung yang sedari tadi mengekor di belakang Sulis, nampak terengah mengatur jalannya udara yang terasa begitu berat. Pangsi hitam yang ia kenakan, juga terlihat kuyup.

            Suasana sekitar pelan bersepuh terang, hingga deretan batang pohon yang berjajar rapat semakin terlihat nyata. Celah pohon-pohon itu, tertutup oleh rimbunan semak, suluran rotan serta onak yang saling bertaut tanpa tepi. Pakis hutan dan anggrek liar tumbuh sembarang memenuhi sebagian batang kayu yang rengas. Suara lengkingan jalak dan bekantan, semakin ramai terdengar di kejauhan. Cericit kenari bagai bernyanyi, riuh menyambut hari. Kabut pekat yang semalam membungkus belantara, kian lama mengudara menyisakan halimun di tepi daun. 

            Sulis mengedarkan pandang ke sekeliling, berusaha memastikan tak ada orang lain selain dirinya dan Rambe di tempat itu. Sepi. Hanya silir bayu yang mengelus dingin rona pipinya. Hutan itu adalah hutan terakhir yang menjadi pembatas antara Kademangan Kulon dengan Kademangan Wetan. Tak jauh dari tempatnya berdiri, terbentang padang rumput yang dipenuhi ilalang dan semak kering.

            "Sepertinya sebentar lagi kita sampai, Rambe. Lihat, di sana ada sebuah gapura!"

            Sulis berseru. Tangannya menunjuk ke arah gapura yang menjulang di ujung padang. Rambe tak geming. Pemuda itu tetap berdiri waspada, meski bola matanya ikut tertuju ke arah gapura yang tadi ditunjuk Sulis. Benar saja. Di ujung padang rumput yang terbentang di hadapannya, Rambe melihat sebuah gapura, lengkap dengan dua bendera dan empat panji berwarna mencolok. Dari tempatnya berdiri, ia melihat gapura itu berdiri begitu megah.

            "Ayo... kita harus segera tiba di Kademangan Kulon, sebelum fajar selesai menyingsing!"

            Sulis kembali berseru. Tak lama ia kembali berlari cepat, diikuti Rambe.

            Sesampainya di depan gapura, mereka kembali berhenti. Gapura itu ternyata tak semegah perkiraan Rambe. Temboknya terbuat dari batu bata merah yang tersusun berundak. Di masing-masing pangkalnya, gapura itu dihiasi ukiran dan relief. Sayang, batu bata merah yang menyusun kedua sisinya, banyak yang terlepas hingga menyisakan lubang-lubang tak beraturan. Malahan, ada salah satu pucuk gapura yang hancur berkeping. Bongkahan batu bata itu nampak berserak di sekitar gapura. Beruntungnya, kedua bendera dan keempat panji yang tadi Rambe lihat di kejauhan, masih kokoh tertancap di masing-masing pucuk. Bendera dan panji-panji itu sama mengenaskannya dengan gapura itu sendiri.

            "Hmm... sampai gapura pun mereka hancurkan!" ucap Sulis setengah berbisik. Perlahan ia berjalan melintas di antara gapura. Tepat di tengah-tengahnya, langkah Sulis terhenti. Penuh kengerian, kedua matanya menyapu setiap sisi gapura sampai ke pucuk.

            "Ssst... kamu dengar Rambe? Tak jauh dari sini, aku mendengar rintihan..."

            Sekonyong-konyong Sulis berseru. Namun kali ini, suaranya tercekat. Ia membekap mulutnya sambil melirik ke arah Rambe. Sontak ia mematung, dengan daun telinga yang berdiri tegak. Sekuat tenaga Sulis berusaha memicingkan dengar. Senyap. Jalan yang membentang dari ujung gapura menuju pendapa Kademangan Kulon, nampak gersang tak berpenghuni. Tak ada siapa-siapa, selain semilir angin yang menari, menyisakan suara ramai di dedaunan. Selebihnya, Sulis hanya mendengar suara degup jantungnya yang hiruk pikuk.

            Melihat Sulis yang nampak cemas, Rambe semakin waspada. Kedua kakinya yang telanjang, spontan memasang kuda-kuda. Sementara tangannya, sigap mencengkram bilah tombak yang tersampir di belakang punggung.

            "Ssshhhhhh..."

            Sayup-sayup kembali terdengar rintihan dari arah yang tak begitu jauh dari tempat mereka berdiri. Kali ini Rambe pun mendengar.

            "Kamu dengar kan?" tanya Sulis.

            Rambe mengangguk. Tanpa suara, ia berjalan ke arah semak yang tak jauh dari sisi gapura sebelah kanan.  

            "Sssshhhhhh..."

            Suara rintihan itu semakin jelas terdengar. Sesaat, Rambe menghentikan langkahnya. Pandangnya beredar, menjelajah belukar kering yang ada di hadapannya.

            "Siapa itu?" tanya Rambe berteriak. Sepi. Tak terdengar lagi suara. Namun tak lama...

            "Arrrgghhh...!"

            Suara rintihan itu berubah menjadi erang kesakitan. Langkah Rambe semakin mendekat. Secepat kilat tangannya menarik bilah tombak dari belakang punggungnya. Mata tombak yang runcing, nampak mengkilat terkena matahari.

            "Siapa itu?" kembali Rambe berteriak. Ujung tombaknya menyingkap belukar yang ada di depannya.

            "Tool...oongg...!"

            Dari balik belukar, Rambe melihat ada tangan penuh darah yang melambai. Tanpa pikir panjang, Rambe menarik tangan itu. Terlihat seorang laki-laki penuh luka dengan baju tercabik, menggelepar kesakitan saat Rambe menyeretnya ke arah gapura. Sesampainya di samping gapura, Rambe menyuruh laki-laki itu untuk duduk.

            "Tol...oong...!"

            Laki-laki itu kembali merintih dengan suara terbata. Tubuhnya masih terbujur tanpa daya. Sulis yang sedari tadi diam mematung, perlahan menghampiri laki-laki itu.

            "Siapa kamu?" tanya Sulis sambil berjongkok di sampingnya.

            "Kalian...hh-haruus segg-gera ke pp-pendappa ...!" laki-laki itu berseru pelan.

            "Demm-mang Ww-wiratt-tmaja semm-malam terr-rtangkpp kk-komplott-tannya Kk-ki Mm-midaang!"

            Tak lama, laki-laki itu tak lagi bergerak. Kepalanya terkulai di atas puing tembok gapura.

***

            "Ini!"

            Pandita Guru menyerahkan sebongkah batu cadas berwarna hitam kepada Uguh. Sedikit bimbang, Uguh menerima batu itu.

            "Terimalah!"

            Sorot mata Pandita Guru menatap Uguh dengan lembut. Segaris senyum tersungging di raut rentanya.

            "Terimalah!" ucap Pandita Guru sekali lagi, berusaha menyakinkan anak muda itu untuk tak ragu. Uguh mengangguk.

            Dengan bergetar, Uguh menerima batu pemberian Pandita Guru dengan hati-hati. Batu itu berbentuk lempengan pipih yang di salah satu permukaannya terukir huruf-huruf berbentuk aneh. Uguh belum pernah melihat huruf itu sebelumnya.

            "Batu ini berisi mantra...," kata Pandita Guru, saat melihat Uguh termangu heran.

            "Rangkaian huruf itu bernama aksara Devanagari. Kuil-kuil di Aryavarta banyak menulis doa dan hikayat dengan aksara Devanagari. Dan yang tertulis di batu ini, merupakan mantra penyerahan diri kepada Sang Hyang Tunggal. Kelak mantra yang tertulis di batu ini, akan melepaskan angkara yang selama ini memasung negeri..." jelas Pandita Guru.

            "Coba kamu telusuri setiap huruf yang terukir dalam batu itu!" perintah Pandita Guru kemudian. Pelan, jari-jari Uguh menyentuh permukaan batu.

            "Konon katanya, huruf-huruf itu ditulis menggunakan ruas telunjuk Paduka Sri Jayabuphati, sesaat setelah ia menyelesaikan pertapaannya di puncak Gunung Perbakti..." Suara Pandita Guru mengalir bersama jemari Uguh yang menelusuri setiap huruf dengan luapan takjub.

            "Sanghyang ya patyananta ya kamung hyang denta patiya siwak wekasaken pranantika. Sri sunda umade- makna kadarman ing samangkana wekaet Paduka sanggum nti ring kulit i kata kamanah ing kanang. Sanghyang tapak makatepa liwah watesnya hulu, hilir mahingan i-rikang. Umpi ing wungkal gde kalih. I wruhhanta kamung hyang kabeh..."

            Lalu, Pandita Guru melafalkan sebuah mantra. Suaranya terdengar lembut dengan nada yang begitu lirih. Sepertinya Pandita sedang membaca mantra yang terukir pada batu ini, pikir Uguh. Sebanyak tiga kali, Pandita Guru melafalkan mantra itu. Tak lama ia berhenti lalu mengubah posisi silanya menjadi duduk bersimpuh. Kedua matanya tertutup sedangkan tangannya terlihat bersedekap di depan dada. Sekitar sepuluh menit lamanya, Pandita bersikap seperti itu. Dan selama itu pula, Uguh tak melihat Pandita menarik nafas sekalipun.

            Sesaat kemudian, terlihat Pandita Guru menghela nafasnya sambil membuka mata. "Haahhhh..."

            Uguh menyaksikan uap lembut yang menyembur melalui celah hidung Pandita, terpantul oleh pelita. Hening. Suasana syahdu terasa menjerat vihara di malam ini. Sebenarnya, kerap kali Uguh menikmati perasaan syahdu itu dengan suka cita. Tapi rasanya, malam ini semua terasa janggal. Ada kegamangan yang sulit ia jabarkan. Debar di dadanya yang tak berhenti bertalu semenjak tadi, semakin terdengar menderu. Keringat dingin membanjiri sekujur tubuhnya, meski dingin malam terasa kian membeku.

            "Sekarang saatnya tugas mulia, aku sandangkan kepadamu, anak muda!"

            Pandita Guru berkata pelan. Kepalanya yang semula menunduk, perlahan mendongak lalu menatap lembut ke arah Uguh.

            "Sudah cukup rasanya aku mengajarimu berbagai ilmu. Engkau adalah seorang anak muda yang cekatan. Budi pekertimu baik. Dalam segala hal engkau rajin dan pandai. Selama ini belum pernah engkau mengecewakan. Segala pekerjaanmu boleh dikatakan selalu menyenangkan. Oleh karena itu, peliharakanlah namamu yang baik selama ini. Bekalmu untuk menjaga negeri ini, aku rasa sudah cukup memadai..."

            Uguh terpekur mendengar rangkaian kata yang terucap dari bibir Paduka Guru. Ia merasa, ucapan Paduka Guru terlampau menyanjungnya. Ada beban teramat berat yang kini harus ia sandang. Sudah mampukah ia berlaga di medan tandang, melawan angkara murka yang sewenang-wenang? Usianya belum genap 19 di tahun ini. Masih banyak hal yang Uguh rasa belum ia kuasai dengan benar.

            "Hilangkan bimbang di hatimu, nak!" ucap Paduka Guru kemudian. Jemari uzurnya, pelan menepuk bahu Uguh.

            "Jiwa ksatria tidak terlahir dari berapa lamanya hidup seorang manusia. Jiwa ksatria terbentuk karena tempaan, halang dan rintang yang kerap hadir dalam kehidupan. Jiwa ksatria tak akan tenggelam meski selama hidup ia harus rela menjadi akar. Coba engkau perhatikan! Akar pohon tak pernah mengeluh meski ia terbenam sepanjang hari di dalam tanah. Ia rela berbagi dengan ranting, batang dan daun. Akar pohon tak pernah mati meski ranting, batang dan daun di tebang satu-satu. Saat hujan kembali menyapa, akar akan kembali menggeliat, menumbuhkan batang baru yang terus bertumbuh. Begitulah harusnya seorang manusia yang berjiwa ksatria. Tak harus terlahir dari rahim seorang ratu, para ksatria bisa tumbuh dari sudut-sudut kampung, dari atas gunung bahkan dari dalamnya palung"

            "Di saat kesewenang-wenangan yang diciptakan oleh Ki Midang dan komplotannya sudah meresahkan negeri, aku rasa ini saatnya jiwa ksatria yang terbenam dalam ragamu, mulai ditunjukan. Pergilah anak muda! Ajak kedua adikmu untuk sama-sama berjuang. Negeri dan rakyat Kademangan menaruh harap begitu besar kepadamu..." 

            Panjang lebar, kembali Paduka Guru bertutur. Setiap nasihat yang ia ucapkan, tepat mengena dalam sanubari Uguh. Sulit rasanya bagi Uguh untuk mengelak.

***

            Hampir sepuluh purnama, Kademangan Kulon dan Kademangan Wetan harus terpisah dengan paksa. Padahal, selama bertahun-tahun kedua wilayah ini bersatu di bawah kekuasaan Demang Wiratmaja yang adil bijaksana. Wilayah Kademangan Kulon dan Kademangan Wetan terletak di lembah yang tak jauh dari Gunung Sanghyang Sunda. Takdir Tuhan menciptakan wilayah Kademangan Kulon berada tepat di kaki gunung, dengan tanah yang subur dan gembur. Udara lereng yang sejuk, menambah makmurnya wilayah Kademangan Kulon. Hal ini berbanding terbalik dengan kondisi di wilayah Kademangan Wetan. Letak wilayah Kademangan Wetan, berada di lembah tandus yang cukup jauh dari lereng Gunung Sanghyang Sunda. Antara kedua wilayah dipisahkan oleh hutan yang dinamakan hutan Sanghyang Jati. Hutan itu membebat sebuah bukit kecil yang menjadi pemisah antara lembah batu di Kademangan Wetan dan lereng gunung di Kademangan Kulon.

            Selain kondisi wilayah, masyarakat yang tinggal di kedua wilayah itu juga sangat berbeda. Warga Kademangan kulon hidup lebih sejahtera dibanding dengan warga di Kademangan Wetan. Tandusnya alam yang menghiasi Kademangan Wetan, menciptakan karakter warganya yang keras dan pemberani. Berbeda dengan karakter orang yang tinggal di wilayah Kademangan Kulon yang lebih santai dan kerap berleha-leha. Namun begitu, selama Demang Wiratmaja memerintah, masyarakatnya di kedua wilayah ini hidup guyub dan bertenggang rasa.

            Hingga kemudian, keonaran mulai kerap terjadi di wilayah Kademangan Wetan. Setiap harinya, ada saja kabar buruk yang tersiar dari warga. Bermula dari ternak warga yang dicuri. Lalu lumbung padi yang dibobol. Hingga suatu hari ditemukan seorang petani yang tewas di atas pematang sawah. Menurut warga, petani itu tewas terbunuh setelah sebelumnya ia mempertahankan sekarung padi yang baru saja di panen.

            Tak hanya berhenti di situ, kegaduhan lainnya mulai muncul satu persatu. Di beberapa kampung mulai sering terlibat tawuran. Rasa waswas yang berlebih, memantik curiga yang tak beralasan. Di tambah munculnya orang-orang yang memperkeruh keadaan. Bagai mengail di air keruh, para provokator itu kerap terbahak setiap kali ada yang bertikai. Kejadian itu terus berunut dan semakin meresahkan warga.

            "Sebaiknya Ki Demang harus segera mengirimkan pasukan keamanan ke Kademangan Wetan..." suara Ki Ronggoseni terdengar berat, memenuhi ruangan pendapa. Usul Ki Ronggoseni disambut baik oleh beberapa pejabat Kademangan yang hadir di pendapa saat itu.

            "Dan segera tangkap otak yang membuat keonaran selama ini!" salah satu pejabat Kademangan berseru dengan lantang.

            Di atas singgasana, Demang Wiratmaja duduk termenung. Ia tak menyangka, di bawah kepemimpinannya, Kademangan Kulon dan Kademangan Wetan harus diwarnai dengan kegaduhan.

**

            Ki Midang, selaku pupuhu padepokan Barata Wani, tersenyum lebar. Sesekali cangklong yang digenggamnya, ia sesap penuh nikmat. Tak lama, nampak asap kelabu mengepul berhamburan, berjejalan memenuhi dinding joglo yang berdiri megah di tengah padepokan. Lelaki tua itu duduk bersilangkan kaki di sebuah bangku kayu berukir. Mukanya berhiaskan kumis tebal kelimis. Sorot matanya menyala tajam, dengan ekspresi tengik dan arogan.

            "Aku dengar, pasukan si Wiratmaja akan dikirim kemari?" tanya Ki Midang memecah sunyi. Ada tiga murid kepercayaannya yang kala itu bersama dengannya.

            "Benar, Ki!" Salah satu murid Ki Midang menjawab.

            "Hahahaa... cari mati dia!" seru Ki Midang, diikuti tawanya yang terbahak. Ketiga murid Ki Midang saling tatap, lalu ikut terbahak bersamanya.

            Tiga hari selepas itu, seorang murid Ki Midang tertangkap warga saat sedang mencuri seekor kambing di sebuah kampung. Warga mengikat orang itu, setelah sebelumnya beramai-ramai menghadiahinya dengan satu dua tinju. Di depan kuwu, orang itu mengaku kalau selama ini murid-murid padepokan Barata Wani diperintahkan oleh Ki Midang untuk membuat keonaran di wilayah Kademangan Wetan. Ia juga mengaku jika Ki Midang berencana untuk menyerang Kademangan Kulon dengan maksud merebut kekuasaan Demang Wiratmaja.

**

            Terlambat!

            Sebelum Demang Wiratmaja memerintahkan pasukannya bergerak ke wilayah Kademangan Wetan, murid-murid Ki Midang sudah terlebih dulu menyerbu Kademangan Kulon. Tak lama setelah ia mendengar anak muridnya tertangkap warga, Ki Midang murka. Tanpa babibu, lelaki tua itu segera mengerahkan murid-muridnya untuk menyerang Kademangan Kulon.

            Tak ayal, banyak warga Kademangan Kulon yang menjadi korban. Tak hanya itu, Demang Wiratmaja dan pejabat Kademangan lainnya, berhasil ditawan oleh Ki Midang di sebuah gua tak jauh dari lereng gunung.

            Semenjak saat itu, otomatis kedua wilayah Kademangan Kulon dan Kademangan Wetan hidup di bawah perintah Ki Midang. Kesewenang-wenangan yang kerap dipamerkan oleh Ki Midang dan anak buahnya, membuat warga di kedua wilayah semakin menderita. Jika ada yang berani membantah, maka siap-siap nyawa akan melayang.

            Akhirnya, tak ada satu pun warga yang berani melawan. Terlebih saat mereka tahu, kalau Ki Midang memiliki ilmu kanuragan yang membuatnya kebal dan berumur panjang. Di saat purnama bersinar penuh, Ki Midang kerap melakukan ritual menyucikan diri dengan darah ayam cemani. Perjanjiannya dengan setan alas penghuni hutan Sanghyang Jati, berhasil melambungkan harapnya untuk menguasai negeri.

            Namun sayang... Ki Midang lupa kalau di atas langit, masih ada langit. Menurut penuturan Paduka Guru kepada Uguh di malam itu, kesaktian Ki Midang akan hilang jika lempeng batu berisi mantra penolak bala, ditempelkan pada dinding gua yang ada di lereng Gunung Sanghyang Sunda. Oleh sebab itulah, di suatu malam, Uguh beserta kedua adiknya Sulis dan Ramb, mengatur strategi untuk balik menyerang Ki Midang dan komplotannya sesuai petunjuk Paduka Guru.

            Berhasil. Uguh akhirnya bisa melumpuhkan Ki Midang, tepat setelah Sulis sukses meletakan lempeng batu ke dinding gua di lereng gunung, yang juga tempat Demang Wiratmaja beserta yang lainnya ditawan.

**

            "Terima kasih Uguh! Kalian anak muda yang hebat dan pemberani. Kalian tiga ksatria yang berhasil menyelamatkan negeri. Berkat kalian, akhirnya wilayah Kademangan bisa kembali hidup tentram,"

            Demang Wiratmaja menepuk bahu Uguh dengan tulus. Rasa bahagia karena akhirnya wilayah kekuasaannya bisa terselamatkan, ketara jelas dari raut mukanya. Uguh dan kedua adiknya tersenyum lebar. Kelegaan sontak menghancurkan beban yang beberapa hari ini menjejali pikiran.

            Dengan keberanian dan strategi yang tepat, Uguh berhasil mengalahkan Ki Midang dan murid-muridnya.

**

(Tokoh dan karakter dalam cerita pendek ini adalah fiktif dan tidak berhubungan dengan sejarah atau tempat tertentu)

(cerpen ini pernah diikutsertakan pada lomba menulis cerpen tingkat KCD VII Dinas Pendidikan Jawa Barat tahun 2023)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun