Mohon tunggu...
Maureen Assyifa Agnimaya
Maureen Assyifa Agnimaya Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Saya seorang pelajar di salah satu SMA negeri di Bandung. Sebenarnya cita-cita saya adalah menjadi seorang fashion designer karena saya suka sekali menggambar. Saya juga suka menulis cerpen, dan beberapa kali pernah menjadi juara menulis cerpen di berbagai lomba. Di media ini, saya akan menitipkan cerpen-cerpen yang pernah saya ikut sertakan dalam lomba menulis. Semoga menjadi inspirasi buat siapapun yang mencari referensi menulis cerita yang sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tiga Ksatria

27 November 2023   11:23 Diperbarui: 27 November 2023   12:04 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sekali lagi, Sulis menilik secara teliti rangkaian huruf-huruf yang tersusun secara acak di bilah batu yang tadi dilemparkan Uguh.  Tak ada satupun yang ia mengerti. Tak pernah sekalipun ia melihat huruf-huruf itu sebelumnya.

            "Segera letakan batu ini di dinding gua yang tak jauh dari lereng Gunung Sanghyang Sunda. Aku akan menyelesaikan urusanku dengan Ki Midang di pendapa Kedemangan!"

            Perintah Uguh untuk terakhir kalinya, setelah melemparkan batu itu ke arah Sulis. Tak lama, laki-laki berperawakan tegap itu kembali berlari lalu hilang ditelan pekat. Sulis masih mendekap batu itu. Erat, seolah memeluk sebongkah permata.

            "Lantas, apa yang harus kita lakukan sekarang Sulis?" tanya Rambe memecah hening.

            Lamat-lamat di kejauhan, suara burung hantu terdengar saling menimpal. Sulis masih bungkam. Pikirannya melayang, mengangkasa tak berarah. Entahlah. Sulis tak yakin dengan apa yang ada dalam benaknya saat ini. Inginnya dia menghilang atau tiba-tiba tertelan bongkahan tanah. Sejujurnya ia takut. Namun besarnya tanggung jawab, membuat dia harus membuang rasa itu jauh-jauh.

            Haaahh!

            Sulis menarik nafas dalam. Selaksa uap menyembur dari lubang hidungnya. Malam ini udara tak begitu dingin, hanya saja kabut nampak serentak bergelayut di pokok pohon dan menjejaring di sela-sela daun. Sekali lagi maniknya menatap lekat bilah batu yang sejak tadi ia dekap. Di antara celah awan yang berarak, tersembul rembulan yang temaram dengan malu-malu. 

            "Sebaiknya kita segera pergi dari sini, sebelum murid-murid Ki Midang datang menangkap kita!"

            Suara Sulis pelan, nyaris tak terdengar. Lalu tangannya meraih secarik kain yang melilit batang tombak. Dengan gemetar, ia bentangkan kain itu lalu bilah batu yang tadi dilemparkan Uguh, ia bebat penuh hati hati. Ruas jemarinya sekali lagi mengelus bungkusan itu, sebelum kemudian pelan-pelan memasukannya ke dalam koja yang tersandang di bahu.

            "Ayo, Rambe...sebelum matahari meninggi, kita sudah harus sampai di lereng gunung!"

            Ajak Sulis ke arah Rambe yang sedari tadi tetap teguh berdiri di dekatnya dengan penuh waspada. Rambe mengangguk. Tak lama, mereka berlari cepat, melesat di sela-sela rumpun bambu yang tumbuh berderet. Derap kaki mereka, gemerisik menimpa dedaunan kering yang terhampar. Dalam sekejap, tempat di mana Sulis dan Rambe tadi berdiri, kini kembali senyap. Kunang kunang mulai berkejaran. Sementara satu dua tikus hutan, kembali berlarian di antara akar dan belukar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun