"Ini!"
      Pandita Guru menyerahkan sebongkah batu cadas berwarna hitam kepada Uguh. Sedikit bimbang, Uguh menerima batu itu.
      "Terimalah!"
      Sorot mata Pandita Guru menatap Uguh dengan lembut. Segaris senyum tersungging di raut rentanya.
      "Terimalah!" ucap Pandita Guru sekali lagi, berusaha menyakinkan anak muda itu untuk tak ragu. Uguh mengangguk.
      Dengan bergetar, Uguh menerima batu pemberian Pandita Guru dengan hati-hati. Batu itu berbentuk lempengan pipih yang di salah satu permukaannya terukir huruf-huruf berbentuk aneh. Uguh belum pernah melihat huruf itu sebelumnya.
      "Batu ini berisi mantra...," kata Pandita Guru, saat melihat Uguh termangu heran.
      "Rangkaian huruf itu bernama aksara Devanagari. Kuil-kuil di Aryavarta banyak menulis doa dan hikayat dengan aksara Devanagari. Dan yang tertulis di batu ini, merupakan mantra penyerahan diri kepada Sang Hyang Tunggal. Kelak mantra yang tertulis di batu ini, akan melepaskan angkara yang selama ini memasung negeri..." jelas Pandita Guru.
      "Coba kamu telusuri setiap huruf yang terukir dalam batu itu!" perintah Pandita Guru kemudian. Pelan, jari-jari Uguh menyentuh permukaan batu.
      "Konon katanya, huruf-huruf itu ditulis menggunakan ruas telunjuk Paduka Sri Jayabuphati, sesaat setelah ia menyelesaikan pertapaannya di puncak Gunung Perbakti..." Suara Pandita Guru mengalir bersama jemari Uguh yang menelusuri setiap huruf dengan luapan takjub.
      "Sanghyang ya patyananta ya kamung hyang denta patiya siwak wekasaken pranantika. Sri sunda umade- makna kadarman ing samangkana wekaet Paduka sanggum nti ring kulit i kata kamanah ing kanang. Sanghyang tapak makatepa liwah watesnya hulu, hilir mahingan i-rikang. Umpi ing wungkal gde kalih. I wruhhanta kamung hyang kabeh..."