***
      Lembayung mewarnai pelupuk mega, saat Sulis dan Rambe akhirnya menghentikan langkah di ujung hutan yang dipenuhi deretan pohon aneka rupa. Semburat jingga bercampur magenta, saling berkolase di permukaan langit yang masih berpayung kelam. Begitu indah.
      Sulis menarik nafasnya panjang lalu perlahan menghembuskan sisa udara yang tadi berdesakan di dalam rongga dada. Bulir-bulir peluh membasahi raga, menyesap ke dalam balutan kebaya yang membungkus tubuh kurusnya. Rambe, pemuda tanggung yang sedari tadi mengekor di belakang Sulis, nampak terengah mengatur jalannya udara yang terasa begitu berat. Pangsi hitam yang ia kenakan, juga terlihat kuyup.
      Suasana sekitar pelan bersepuh terang, hingga deretan batang pohon yang berjajar rapat semakin terlihat nyata. Celah pohon-pohon itu, tertutup oleh rimbunan semak, suluran rotan serta onak yang saling bertaut tanpa tepi. Pakis hutan dan anggrek liar tumbuh sembarang memenuhi sebagian batang kayu yang rengas. Suara lengkingan jalak dan bekantan, semakin ramai terdengar di kejauhan. Cericit kenari bagai bernyanyi, riuh menyambut hari. Kabut pekat yang semalam membungkus belantara, kian lama mengudara menyisakan halimun di tepi daun.Â
      Sulis mengedarkan pandang ke sekeliling, berusaha memastikan tak ada orang lain selain dirinya dan Rambe di tempat itu. Sepi. Hanya silir bayu yang mengelus dingin rona pipinya. Hutan itu adalah hutan terakhir yang menjadi pembatas antara Kademangan Kulon dengan Kademangan Wetan. Tak jauh dari tempatnya berdiri, terbentang padang rumput yang dipenuhi ilalang dan semak kering.
      "Sepertinya sebentar lagi kita sampai, Rambe. Lihat, di sana ada sebuah gapura!"
      Sulis berseru. Tangannya menunjuk ke arah gapura yang menjulang di ujung padang. Rambe tak geming. Pemuda itu tetap berdiri waspada, meski bola matanya ikut tertuju ke arah gapura yang tadi ditunjuk Sulis. Benar saja. Di ujung padang rumput yang terbentang di hadapannya, Rambe melihat sebuah gapura, lengkap dengan dua bendera dan empat panji berwarna mencolok. Dari tempatnya berdiri, ia melihat gapura itu berdiri begitu megah.
      "Ayo... kita harus segera tiba di Kademangan Kulon, sebelum fajar selesai menyingsing!"
      Sulis kembali berseru. Tak lama ia kembali berlari cepat, diikuti Rambe.
      Sesampainya di depan gapura, mereka kembali berhenti. Gapura itu ternyata tak semegah perkiraan Rambe. Temboknya terbuat dari batu bata merah yang tersusun berundak. Di masing-masing pangkalnya, gapura itu dihiasi ukiran dan relief. Sayang, batu bata merah yang menyusun kedua sisinya, banyak yang terlepas hingga menyisakan lubang-lubang tak beraturan. Malahan, ada salah satu pucuk gapura yang hancur berkeping. Bongkahan batu bata itu nampak berserak di sekitar gapura. Beruntungnya, kedua bendera dan keempat panji yang tadi Rambe lihat di kejauhan, masih kokoh tertancap di masing-masing pucuk. Bendera dan panji-panji itu sama mengenaskannya dengan gapura itu sendiri.
      "Hmm... sampai gapura pun mereka hancurkan!" ucap Sulis setengah berbisik. Perlahan ia berjalan melintas di antara gapura. Tepat di tengah-tengahnya, langkah Sulis terhenti. Penuh kengerian, kedua matanya menyapu setiap sisi gapura sampai ke pucuk.