"Dadaaah Ibuuu... Assalamualaikum!"
Aku tertegun manakala terdengar suara lembut di balik teralis pagar yang memisahkan basement parkiran flying car dan flying bike dengan halaman apartemen tempat tinggalku. Sepertinya penghuni baru, batinku. Mataku penasaran mencari-cari sumber suara lembut itu. Tak nampak siapapun, hanya aku yang mematung sedari tadi.
Setelah dirasa pemilik suara lembut tadi tak bisa aku temukan, bergegas aku menyeret langkahku ke arah pintu lift menuju kamar apartemen.
"Goldy, lu ada di apartemen kan? Dalam waktu 5 menit, gue sampe ke situ ya!" suara Daru tiba-tiba terdengar melalui speaker kecil yang terhubung dengan earbud di kedua gendang telingaku.
Klikkk!Â
Dengan kasar aku mematikan tombol smartwatch yang melingkar di pergelangan tanganku, lalu beranjak menuju sofa di pinggir jendela.
Shutt!Â
Aku menekan tombol "on" di sisi smartwacth-ku, dan kembali layar hologram muncul di hadapanku.
"Heeeeyyy...lu punya tetangga baru yang cantik kok ga bilang-bilang siih!" seru Daru yang tak berselang lama sudah menerobos masuk melalui pintu otomatis apartemenku.
"Mau minum apa lu?" aku balik bertanya, tanpa mengalihkan pandangku dari layar hologram.
"Ga usah, nanti gue bisa ambil sendiri!" Daru bersungut saat melihatku yang tak acuh.
"Ssst...! Cewe di sebelah kamar lu, siapa namanya?" tanyanya berbisik sambil menyikutku. Muka konyolnya menyeringai, menampakkan deretan gigi yang berbaris tak beraturan. Aku mengedikan bahu, malas menanggapi pertanyaannya.
"Ya Tuhaaan... Lu tuh yaa, ada mutiara di sebelah mata ga lu sadari? Ngapain aja idup lu selama ini?" lagi-lagi Daru berseru, mata sipitnya membelalak heran. Daru terlihat gemas melihatku yang tak bergeming, lalu dia beranjak menuju water dispenser, menuangkan segelas air dan meneguknya cepat.
Cewe? Penghuni baru apartemen? Penghuni kamar sebelah? Aku termangu mengingat pertanyaan-pertanyaan Daru tadi. Jangan-jangan pemilik suara lembut di basement tadi adalah benar penghuni baru di apartemen ini? Batinku terlonjak girang.
"Wooyyy, kesambet lu? Kok tiba-tiba cengengesan?" seru Daru dari balik water dispenser manakala melihatku senyam-senyum tanpa sadar. Aku melengos tergagap, meski aku akui ada semburat merah yang berpedar menyelimuti raut wajahku.
*******
"Fa bi`ayyi l`i rabbikum tukaibn... Rabbul-masyriqaini wa rabbul-magriban..."
Lamat-lamat terdengar suara orang melantunkan ayat-ayat Al-Qur'an. Seketika aku tersentak lalu sontak melihat jam yang tertera di layar smartwatch-ku.
"3.30!" bisikku, mataku mengerjap menatap sinar yang terpantul dari layar smartwatch.
Dengan masih berselimut, aku berusaha bangun dari tidurku lalu duduk termenung. Kembali daun telingaku menangkap suara lembut di balik tembok yang memisahkan ruangan apartemenku dengan ruangan sebelah. Sepertinya suara lembut yang sama dengan yang kemarin aku dengar di basement apartemen. Tapi kali ini aku mendengar suara lembut itu begitu lirih merasuki ruang kalbuku yang tadi lena.
Hampir lima belas menit lamanya, suara lembut itu terus melantunkan ayat-ayat Tuhan. Hal yang tak pernah aku dengar secara langsung di era tahun 2127.
Oh iya...Hai, perkenalkan, aku Goldy!
Aku salah satu penduduk bumi yang hidup di peradaban tahun 2127. Tahun di mana modernisasi dan teknologi telah mengikis aspek religius dari setiap batok kepala penduduk bumi!
Aku akui saat ini di tahun 2127, kami penduduk bumi hidup nyaman dengan berbagai fasilitas yang sepenuhnya dijamin oleh penguasa. Tak ada lagi tindak kejahatan dan tak ada lagi kemiskinan. Di era tahun 2127, bukanlah hal yang aneh kalau kami penduduk bumi terbiasa mempekerjakan robot sebagai asisten rumah tangga. Semua robot-robot itu dibagikan secara cuma-cuma oleh penguasa bumi. Begitupun dengan flying car, flying bike, smartwatch seperti kepunyaanku, dan berbagai peralatan canggih lainnya dibagikan secara merata ke seluruh penduduk bumi. Semua peralatan tersebut dibuat dengan model dan warna yang serupa satu sama lain, sehingga tak ada alasan bagi penduduk bumi untuk saling iri dan saling pamer kekayaan.
Sayangnya saat ini di tahun 2127, suara adzan pun hanya terdengar melalui earbud pada masing-masing gendang telinga penduduk bumi yang terhubung dengan channel Islamic Centre of World (media keagamaan khusus agama Islam-red) yang di kendalikan oleh penguasa bumi. Ibadah yang dilakukan oleh penduduk bumi pun tak lebih hanya kewajiban mutlak dari para penguasa bukan kewajiban mutlak dari Tuhan. Semua penduduk bumi yang beragama Islam, wajib hukumnya menjalankan setiap rukun yang telah ditetapkan oleh penguasa. Ada hukuman cukup berat apabila penduduk bumi melakukan pelanggaran. Berkali-kali aku membaca berita, ada penduduk bumi yang terdeteksi oleh Police Religion Detector (polisi khusus yang mengawasi ibadah setiap penduduk bumi-red) karena tidak menjalankan rukun ibadahnya lalu diwajibkan membayar denda yang cukup tinggi dan diasingkan beberapa waktu di gurun Gorgonia, gurun terpanas di selatan bumi.
Tapi entahlah, semakin aku beranjak dewasa aku merasa sholatku, puasaku, zakatku dan hajiku, aku lakukan tak lebih hanya supaya aku tak terkena hukuman. Tak ada hakikat yang bisa aku ambil dari setiap syariat yang aku jalankan. Ada ruang kosong yang seolah lama tak berpenghuni nun jauh di sudut jiwaku Aku merasakan tak ada lagi hangat yang menyelimuti bumi. Menurutku, bumi semakin dingin bahkan nyaris membeku.
"As-sholaaatu Khoerum-minnanaaum..."
Tanpa aku sadari lamat-lamat terdengar suara adzan Subuh melalui earbud yang menempel di gendang telingaku. Dengan sedikit enggan, akhirnya aku benar-benar terbangun dan beranjak menuju kamar mandi untuk berwudlu.
******
Namanya Isma. Lengkapnya Ismandari Khairunnisa.
Akhirnya aku bisa mengetahui nama dari pemilik suara lembut yang sudah seminggu ini menjadi penghuni ruangan sebelah apartemenku. Dia baru saja keterima di Science of High School, salah satu sekolah di ibukota, tempat dimana aku juga bersekolah selama ini. Dia terpaksa hidup terpisah dari ibu dan ayahnya yang tinggal di suatu provinsi yang berjarak ribuan kilo, sebelah barat ibukota.
Dua hari yang lalu tanpa sengaja kembali aku mendengar suara lembut yang sebelumnya sempat aku dengar di basement apartemen, tengah berbicara melalui telecom yang tersambung pada earbud di gendang telinganya.
"Assalamualaikum, ibuu... Aah, ibu jangan khawatir... Isma, Alhamdulillah baik-baik saja disini, Bu!... Iya, ibuku yang cantik... Tentu saja Isma tak akan meninggalkan sholat... Siaaap komandan! Isma akan selalu mengingat semua pesan-pesannya... "
Klontaaaang!Â
Tak sengaja, ujung sepatuku menyenggol tumpukan kaleng yang tersusun di ujung trash container apartemen. Refleks aku membekap mulut dan merapatkan tubuhku di sela-sela tiang penopang trash container.
"... Ibu, sudah dulu yaa... Nanti Isma hubungi lagi... Dadaaah ibuu, Assalamualaikum...!"
Klik!Â
Terdengar suara lembut itu menyudahi pembicaraan lalu bergegas menutup sambungan telecom-nya. Jarak tempatku berdiri dengan pemilik suara lembut itu hanya terhalang tumpukan balok-balok kayu. Aku yakin, kalau saja badannya berputar pasti dia akan menemukan keberadaanku yang tengah mematung, menempel di sela tiang.
"Haiii... syukurlaaah, aku kira tadi tikus looh!" tiba-tiba suara lembut itu berseru ke arahku. Aku terhenyak, antara kaget dan malu. Sepersekian detik, aku merasa badanku memanas. Rasanya aku ingin berlari lalu membelah bumi untuk menyembunyikan rasa maluku.
"Kamu yang tinggal di kamar sebelah aku kan?" tanyanya kemudian. Sekilas aku melihat senyumnya mengembang, dan sinar matanya sangatlah bening. Bagai maling yang tertangkap basah, akhirnya aku keluar dari sela-sela tiang, menghampirinya dengan gugup.
Gadis itu berdiri membelakangi paparan lampu di atas plafon. Baju panjang dan kain yang menutupi tubuh dan kepalanya, membentuk siluet, seolah bidadari yang melayang. Aku tebelalak heran melihat penampilannya. Di tahun 2127 tak pernah aku melihat perempuan penduduk bumi yang berpakaian seperti itu.
"Haiii...kok malah bengong!" gadis itu mengibaskan tangannya di depan mukaku yang terkesima, lalu tertawa renyah dan lembut. Aku membalas tawa itu dengan senyum konyol dan muka kemerahan.
Begitulah, akhirnya aku bisa berkenalan tanpa sengaja dengan gadis pemilik suara lembut yang menjadi penghuni baru apartemenku.
******
Seminggu setelah perkenalanku dengan Isma, banyak hal yang aku dapat dari setiap obrolan kami. Entahlah aku sangat menikmati setiap hal yang kami bicarakan. Terutama mengenai Islam, agama yang selama ini sebenarnya sudah tercatat dengan gagah di setiap dokumen kependudukanku.
"Apa perasaan kamu setelah selesai mengerjakan sholat?" tanya Isma suatu waktu. Kala itu, kami tengah duduk-duduk di selasar kelas setelah sebelumnya kami berkutat dengan praktek bio-science di laboratorium.
"Umm... nothing!" aku menjawab sekenanya sambil mengedikkan bahu.
"Kamu tahu setelah kematian ada kehidupan lagi?" tanyanya kemudian.
"Umm...yup! Tapi kan itu hanya sekedar dongeng" jawabku asal. Sekilas aku melihat Isma menatapku dengan tatapan ngenes. Kepalanya yang terbalut kain panjang, menggeleng beberapa kali.
"Kapan terakhir kali kamu membaca kitab Al-Qur'an?" lanjut Isma lagi. Kali ini jemarinya disibukan dengan membuka setiap slide dari layar hologram yang terbuka tepat di depannya.
Dahiku mengernyit mengingat-ngingat kapan terakhir kalinya aku melihat kitab itu. Damn! Nyaris aku tak bisa mengingatnya.
Selama ini ayat-ayat Al-Qu'an yang aku dengar hanya sebatas dari postingannya channel Islamic Centre of World yang tersambung melalui earbud-ku. Itupun aku lebih sering men-skip-nya. Kedua orantuaku tak pernah mengajarkan hal apa saja yang harus aku lakukan berkaitan dengan ibadah. Bagi mereka, hubunganku dengan Tuhan, sudah diatur oleh penguasa bumi jadi mereka tak punya kewajiban untuk mengingatkan aku, anaknya.
Dan aku melakukan semua syariat ibadahku tak lebih dari sekedar mengerjakan kewajiban yang telah ditetapkan penguasa bumi. Itupun karena aku takut terdeteksi Police Religion Detector. Bagiku gurun Gorgonia adalah seburuk-buruknya tempat bagi orang yang tak mengerjakan sholat.
Pfiuuhh!Â
Mengingat hal itu, tanpa sadar aku bergidik. Padahal kata Isma, ada gurun yang lebih dahsyat panasnya sebagai tempat untuk menghukum orang-orang yang lalai mengerjakan setiap kewajiban dari Tuhan.
"Abi-ku pernah bilang, kita hidup di dunia ini hanya sementara. Setelah kematian, terus kita di kuburkan di Islamic Memorial Planet (planet khusus untuk menguburkan penduduk bumi yang meninggal, jaraknya ribuan tahun cahaya dari bumi-red) justru itulah awal dari kehidupan kita sebenarnya. Semuanya nyata dan pasti akan terjadi. Gak hanya sekedar dongeng, hikayat atau mitos. Dan kita wajib meyakininya, sebagaimana kita meyakini adanya Tuhan, malaikat, Al-Qur'an, nabi, hari akhir dan juga qada qadar..." jelas Isma panjang lebar.
"Jadi kalau kamu beranggapan, sholatmu dan semua ibadah yang biasa kamu lakukan itu hanya sekedar kewajiban antara kamu dengan penguasa bumi, itu salah banget! Justru kamu sedang mengerjakan kewajiban dengan Tuhanmu. Dan ada pengawas yang lebih keren di bandingkan Police Religion Detector, yaitu malaikat Raqib!" lanjut Isma kemudian. Seperti biasa, suaranya terdengar lembut.
Aku tergugu mendengar setiap penjelasan yang terangkai manis melalui celah bibirnya. Bahkan untuk menyela setiap ucapannya pun aku nyaris tak berdaya. Ada hal indah yang coba Isma paparkan, lalu terasa menyelusup memasuki sudut jiwaku yang selama ini kosong.
******
Wusss...wusss!
Samar-samar dari kejauhan aku mendengar suara flying car dan flying bike yang hilir mudik menembus untaian awan. Pandangku tak lepas dari layar hologram yang sudah hampir dua jam menemaniku di tengah senyapnya ruangan National Historical Library (perpustakaan sejarah nasional-red).
Sesekali aku mendengar suara kursi yang bergeser, hempasan orang-orang yang duduk dan bluukk! Suara hardcover buku yang tertutup. Selebihnya hanya hening dan helaan nafas yang saling menimpal.
"Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk (dalam semua kebaikan dunia dan akhirat); dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi (dunia dan akhirat)" (q.s al-A'raf, 178).
Sesaat aku tertegun pada sebuah tulisan yang muncul di beranda layar hologram-ku. Ada sejumput rasa hangat yang perlahan berpedar merasuki sukmaku.
Yaa!
Beberapa hari terakhir ini jiwaku seolah terusik. Aku tak kuasa menggambarkan rasa apa yang sekarang memenuhi setiap ruang di hatiku.
"Menjelang kiamat nanti, semua teknologi yang sekarang ada, semuanya akan hilang, Goldy!... Yes, menghilaaang!... Allah hanya cukup bilang kun fa yakn, maka semua yang Allah kehendaki pasti terjadi!.... Dan Allah adalah sebenar-benarnya penguasa atas langit dan bumi!"
Terngiang lagi beberapa kata yang keluar dari celah bibir Isma, yang langsung terpatri dalam ingatanku.
Aaahh!
Kemana saja aku selama ini? Nun jauh di sudut jiwaku, aku seolah tergugah dari koma berkepanjangan.
I think, this is the sign from Allah to me!
*******
(cerpen ini pernah diikutsertakan pada lomba menulis cerpen yang diselenggarakan oleh AMIKOM POINT tahun 2022)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H