Seminggu setelah perkenalanku dengan Isma, banyak hal yang aku dapat dari setiap obrolan kami. Entahlah aku sangat menikmati setiap hal yang kami bicarakan. Terutama mengenai Islam, agama yang selama ini sebenarnya sudah tercatat dengan gagah di setiap dokumen kependudukanku.
"Apa perasaan kamu setelah selesai mengerjakan sholat?" tanya Isma suatu waktu. Kala itu, kami tengah duduk-duduk di selasar kelas setelah sebelumnya kami berkutat dengan praktek bio-science di laboratorium.
"Umm... nothing!" aku menjawab sekenanya sambil mengedikkan bahu.
"Kamu tahu setelah kematian ada kehidupan lagi?" tanyanya kemudian.
"Umm...yup! Tapi kan itu hanya sekedar dongeng" jawabku asal. Sekilas aku melihat Isma menatapku dengan tatapan ngenes. Kepalanya yang terbalut kain panjang, menggeleng beberapa kali.
"Kapan terakhir kali kamu membaca kitab Al-Qur'an?" lanjut Isma lagi. Kali ini jemarinya disibukan dengan membuka setiap slide dari layar hologram yang terbuka tepat di depannya.
Dahiku mengernyit mengingat-ngingat kapan terakhir kalinya aku melihat kitab itu. Damn! Nyaris aku tak bisa mengingatnya.
Selama ini ayat-ayat Al-Qu'an yang aku dengar hanya sebatas dari postingannya channel Islamic Centre of World yang tersambung melalui earbud-ku. Itupun aku lebih sering men-skip-nya. Kedua orantuaku tak pernah mengajarkan hal apa saja yang harus aku lakukan berkaitan dengan ibadah. Bagi mereka, hubunganku dengan Tuhan, sudah diatur oleh penguasa bumi jadi mereka tak punya kewajiban untuk mengingatkan aku, anaknya.
Dan aku melakukan semua syariat ibadahku tak lebih dari sekedar mengerjakan kewajiban yang telah ditetapkan penguasa bumi. Itupun karena aku takut terdeteksi Police Religion Detector. Bagiku gurun Gorgonia adalah seburuk-buruknya tempat bagi orang yang tak mengerjakan sholat.
Pfiuuhh!Â
Mengingat hal itu, tanpa sadar aku bergidik. Padahal kata Isma, ada gurun yang lebih dahsyat panasnya sebagai tempat untuk menghukum orang-orang yang lalai mengerjakan setiap kewajiban dari Tuhan.